>

Kamis, 06 Juni 2013

RINJANI TRACKING

KATA PENGANTAR


Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Azza Wajalla atas limpahan Rahmat dan Magfirah-Nya, sehingga buku cerita pengalaman pribadi penulis dalam melakukan pendakiannya ke gunung Rinjani bisa hadir ke tengah-tengah pembaca walau dalam kurun waktu yang panjang.

Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada keluarga, kerabat, serta teman-teman yang tidak hentinya memberi support sehingga penulis terpacu untuk menyelesaikan buku cerita yang berjudul  "RINJANI TRACKING Bagian Pertama" ini.
Tentunya judul itu penulis pilih dikarenakan cerita ini direncanakan berlanjut sampai Bagian Kedua, Ketiga dan Keempat, sesuai dengan jumlah perjalanan saya ke gunung Rinjani.

Penulis sangat menyadari bahwa buku cirita ini dibangun berdasarkan pengalaman pribadi penulis yang dilakukan sejak belasan tahun silam, dimana tentunya akan sangat berpengaruh terhadap ingatan akan detail kejadian yang sesungguhnya dan ini tentunya penulis sangat sadari jika sewaktu-waktu isi cerita ini akan menuai kritik dari tokoh-tokoh yang ada dalam cerita ini sendiri, karena sebagian besar mereka hingga kini masih hidup di Kumbung. Namun bermodalkan semangat untuk menceritakan suasana emosional penulis saat melakukan perjalanannya penulis berimajinasi sendiri pada beberapa dialog antar tokoh dalam isi cerita ini.
Di samping itu, sebagai pemula tentunya keterbatasan pengalaman dan kosa-kata yang dimiliki penulis pada susunan kata maupun kalimat di dalam penulisan cerita ini sangat jauh dari harapan pembaca, untuk itu saya dengan lapang dada dan sangat mengharapkan kritik dan saran pembaca untuk kelanjutan penulisan cerita berikutnya.

Akhirnya harapan saya semoga cerita singkat ini bisa bermanfaat bagi para pembacanya. 


Mataram, 22 Mei 2013

Penulis,



ARDIE ARRAHMA





LATAR BELAKANG


Sudah tidak terbantahkan lagi jika Gunung Rinjani menjadi magnet terbesar yang diandalkan 'pulau pedas' ini untuk menarik wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Panorama alam eksotik yang disajikan sepanjang perjalanannya tidak akan pernah habis untuk dibahas dan akan selalu terkenang sepanjang masa.
Penulis sendiri terkahir kali melakukan perjalanannya lebih dari tujuh tahun silam, namun kenangan indah akan perjalanannya masih membekas hingga sekarang dan selalu mengusik saya untuk melakukannya lagi, namun sayang karena masalah pekerjaan yang tidak pernah bisa penulis tinggalkan sehingga keinginan itu sampai saat ini belum tergapai. Hingga akhirnya berinisiatif untuk menuangkannya ke dalam sebuah cerita agar kenangan itu makin lekat dan menjadi penawar kerinduan saya pada gunung yang menjadi salah satu destinasi pariwisata dunia itu.

Di samping itu setidaknya dengan hadirnya cerita ini akan menjadi travel guide atau petunjuk arah bagi para pecinta alam yang buta sama sekali akan kondisi alam di gunung rinjani terlebih bisa menggugah lebih banyak lagi wisatawan yang ingin berkunjung ke gunung Rinjani.

Have enjoy your travel!





RINJANI TRACKING
Bagian Pertama


Hari Pertama

Sekitar satu jam ba’da sholat Jum'at mobil engkel (angkutan umum antar Provinsi) yang telah kami carter akhirnya menampakkan moncongnya dari arah selatan setelah molor hampir setengah jam lebih dari perjanjian. Meski digelayuti rasa dongkol kami pun suka-cita menyambut kedatangannya, mobil pun langsung mengambil haluan memutar balik ke arah datangnya. Sorak sorai dan rona ceria terpancarkan dari wajah-wajah kami. Tanpa dikomando kami pun bergegas menaikkan barang-barang perlengkapan gunung dan berkemah yang jauh hari kami persiapkan setelah mobil berwarna merah tua itu menghentikan lajunya tepat di depan masjid kebanggan kami. Jenor, Jupri dan Saep dengan cekatan naik ke atas kup mobil ikut membantu sang kenek mengatur dan mengikat barang-barang bawaan. Tidak butuh waktu lama, setelah semua barang dinaikkan dan ditata rapi dan diikat kencang, barulah satu persatu rombongan berjumlah 15 orang, semuanya terdiri dari kaum adam plus 1 orang wanita naik. “Geseran angkak, dekte kesedeng bai nih” ucap Eka, merupakan satu-satunya perempuan yang ikut dalam petualang ini, tubuhnya yang tegap dan gempal memaksa kami harus berbagi tempat dengannya, kursi deretan paling belakang yang kami pilih inipun terpaksa hanya diisi 4 orang saja. Saya, Jenor, dan Jupri serta tentu saja Eka mulai larut dalam perbincangan, bercanda ria menghalau gundah menunggu waktu berangkat.
Semua kursi sudah terisi, masing-masing deret terdiri dari 3 hingga 4 orang, mobil pun terasa sesak dan pengap, meski demikian hati kami selalu riang dan gembira. "Jam berapa uru" tanyaku mengarah pada Guru Mursidin untuk memastikan waktu berangkat. "Emm... jam 2.15" jawabnya singkat sambil mengangkat lengan kirinya yang hampir menempel di matanya. "Terima kasih" jawabku singkat dan kembali larut dalam perbincangan penuh canda tawa bersama rekan-rekan sebangku ku.
"Berarti magrib doang wah kenene tedateng Torean" ujar Nas yang duduk di depan kami ikut nimbrung dalam pembicaraan kami. "Aok ane piran-piran wah, siq penting te nyampe wah dait selamet" timpal Kak Soha mengheningkan suasana sejenak.
Sementara suasana berbeda terlihat di luar mobil, beberapa sanak kerabat dan warga yang kebetulan ada di lokasi terlihat intim satu sama lainnya. Setelah bersalam-salaman dengan beberapa sanak kerabat, kami pun bertolak meninggalkan desa kelahiran tercinta. “Pade onyak-onyak ntane aok, nendek sare-sare porok gawek tone, tetep ingetang sembahyang dait Ijan jagak endah adikme aok” nasehat Inaq Johar pun lambat laun tertelan angin seiring mobil yang kami tumpangi berbelok dan orang-orang yang melepas kami pun hilang di balik tikungan.
"Ah kayak pelepasan jamaah haji aja" batinku menerawang mengingat-ingat suasana pelepasan jamaah haji di kampungku, dimana semua warga berjejer mulai dari masjid hingga sepanjang jalan kampung untuk disalami oleh jamaah yang akan berangkat menunaikan ibadah rukun islam yang ke lima itu, suasana haru menyesaki seluruh isi kampung.
Kepalaku terbentur ke belakang kursi, sadarkanku dari lamunan.
Laju mobil pelan menghindari bebatuan dan lubang yang lebih mirip kubangan yang tersebar di sepanjang ruas jalan di kampungku. Beberapa kali kepalaku terbentur ke belakang kursi, untung sofanya empuk sehingga tidak sampai mencederaiku. Tiba di perbatasan kampungku mobil belok haluan ke arah kanan, jalanan pun agak bagus walau lubang-lubang kecil masih tersisa di sana-sina sehingga memudahkan perjalanan kami.
Sorak sorai dan canda ria teman-teman seolah enggan mempedulikan kondisi jalan atau hanya sekedar cara untuk mengusir rasa dongkol akibat terlalu lama menunggu atau mungkin juga saking girangnya bisa melakukan petualang ini, maklum walau ini merupakan ritual saban taun, namun dua belas bulan tentu bukanlah waktu yang singkat, terlebih ritual ini belum tentu juga bisa diikuti oleh masing-masing orang, sehingga bisa jadi ini merupakan bentuk dari luapan ekspresi kami yang bisa melakukan perjalanan taun ini.
Apalagi teman-teman yang nangkring di atas mulai mengeluarkan suara emasnya dengan lantang, diiringi suara tetabuhan dari apa saja yang ada di depannya ditambah deru mesin serta sesekali diselingi suara klakson yang sengaja dipencet agak lama oleh Sabri sang sopir, menambah semarak perjalanan.
Tak peduli orang-orang yang ada di sepanjang jalan yang kami lalui memandang aneh tingkah laku kami, ada juga yang agak sinis, namun begitu kami terus bernyanyi dengan lantangnya seolah ingin mengumumkan pada mereka 'nih Kanak Kumbung akan pergi mendaki ke gunung Rinjani'.

Belum setengah jam berjalan mobilpun tiba-tiba menghentikan lajunya menepi di sisi kiri jalan tepat di depan toko obat yang cukup terkenal seantero kecamatan di seberangnya pasar umum ibu kota kecamatan Masbagik yang selalu ramai oleh lalu lalang kendaraan maupun pengguna jalan yang keluar masuk pasar. Suara kamipun kalah riuh oleh orang-orang seisi pasar. Tidak heran memang jika kemudian pasar ini menjadi salah satu barometer perekonomian ibu kota kabupaten paling timur pulau ini. Kamipun terdiam dan lebih memilih menikmati keramaian yang ada.
Pak Syamsuddin terlihat turun dari kendaraan menyusul Kak Irjan di belakangnya. Keduanya merupakan senior yang paling sering dan hampir tidak pernah absen berkunjung ke Rinjani. Saya bersama Eka, Jenor dan Jupri merupakan wajah baru dalam rombongan ini tergiur untuk ikut dalam pendakian kali ini pun atas ajakan dan ceritanya akan keindahan dan pesona Gunung Rinjani, gunung kebanggan masyarakat Sasak.
Ternyata kami singgah untuk melengkapi persediaan kami yang akan menjadi bekal selama berada di gunung nanti. “Kak titip lilin 2 bungkus dan ekstra joss 3 kotak ya”. Akupun tidak mau melewatkan moment ini seraya menyerahkan uang lembaran kertas 100-an ribu. “Ayo cepet makanya, entar kemaleman di jalan, udah sore ini” ucap sang sopir dengan nada galau.
"Kak Ijan Gudang garam filter lima bungkus" teriakku pada kak Irjan dari dalam mobil yang sudah jauh meninggalkan tempat kami parkir. "Kak Ijan Baterai ABC lima biji" teriak Jenor yang juga tidak mau melewatkan kesempatan ini.
Tak lama berselang Kak Irjan dan Pak Syamsuddin pun muncul dari balik keramaian dengan belanjaannya, mereka pun bergegas naik ke atas mobil. “Ayo pak sopir jalan!” perintah Soha yang sedari tadi terlihat gelisah sambil menghisap lintingan rokoknya yang terbuat dari tembakau racikan. "Ya ayok berangkat" sambut Pak Mursidin dan Kak Soha hampir bersamaan "Nanti kemaleman kita di jalan" Lanjut Kak Soha.
Seakan mendapat rekomendasi dari semua penumpangnya, tanpa ragu pak sopir pun memacu kendaraannya dengan kecepatan penuh, tangannya yang cekatan dengan sigap menguasai laju kendaraan, seakan hapal betul jalan ini, maklum saja trayek jurusan Labuhan Lombok - Mandalika ini menjadi tempatnya mengais rezeki sehari-harinya. Ada juga yang masih bertahan kembali berdendang, sebagian lainnya lebih memilih tidur walau hanya dalam posisi duduk.

Setelah terombang-ambing satu jam lebih kembali sopir menepikan mobilnya di pertigaan jalan labuhan Lombok tepat di depan tukang tambal ban yang mangkal di pinggir jalan depan pasar umum Labuhan Lombok. Rupanya roda belakang agak kempis sehingga perlu ditambahkan angin. Setelah itu perjalanan pun kami lanjutkan, jalanan yang relative sepi semakin memudahkan sang sopir untuk memacu kendaraannya. Tidak lagi terdengar lagu riang atau gelak tawa teman-teman yang sedari tadi tidak henti-hentinya bernyanyi. Mungkin kehabisan bahan nyanyian atau mungkin kecapean entahlah…??, Perjalanan pun terasa membosankan, hanya Saep yang duduk di deretan depan kami kulihat masih sibuk menghembuskan asap pekat dari mulutnya, sambil memejamkan mata sibuk dengan lamunannya sendiri. Aku pun yang mulai diserang kantuk berusaha menyandarkan kepala ke belakang kursi yang mentok dengan pantat mobil, melonjorkan kaki di antara besi-besi penopang deretan kursi di depanku, menyelip di antara Eka dan Jenor yang lebih dulu membaringkan badannya, sejurus kemudian akupun tenggelam dalam buaian alam bawah sadarku.
“We pade tures ane, he... tures... turess!” Suara Amaq Har lamat laun terdengar semakin jelas, menyadarkan aku dari tidurku. “Te pade sembahyang juluq, waktu ashar wah kari semendak ni” sambungnya. Akupun melongok ke luar jendela mobil, mendongak ke atas memicingkan mata, matahari sudah mulai condong ke barat, samar-samar kulihat teman-teman lainnya sedang sholat, ada pula yang duduk sambil menghisap rokok di sebuah surau kecil di pinggir jalan yang kami lewati. 
“Ah, ternyata belum nyampai juga” batinku sambil menggosok-gosok kedua belah mata ku. Setelah menggeliatkan badan dan merentangkan tangan ke atas akupun berusaha bangun menyusul suara Eka dan Jupri yang terdengar dari atas mobil bercanda ria dengan Jenor. Tidak henti-hentinya aku menguap sisa kantuk masih menggodaku untuk kembali merebahkan badan, tapi suara disana tidak hentinya memanggil namaku, maklum kita harus bergegas untuk melanjutkan perjalanan, kami hanya singgah untuk melaksanakan kewajiban kami sebagai Muslim.
Dengan sisa kantuk akupun berjalan malas keluar mobil langsung menuju sebuah pancuran untuk mengambil air wudhu’. Kubasuh mukaku, airnya yang bening dan dingin menyegarkan kembali badanku, kantuk yang masih menggelanyut seakan sirna dibilas tetesan-tetesan air alami pegunungan.
Usai sholat kamipun langsung tancap gas kembali melanjutkan perjalanan, rona muka teman-teman kembali mengguratkan keceriaan, mungkin karena perjalanan udah semakin dekat atau badan sudah kembali fit setelah sejenak beristirahat tadi. Aku, Jupri , dan Jenor pindah ke atas kup mobil, bergabung dengan rekan-rekan lainnya yang kembali bernyanyi ria. Betul saja nampaknya persinggahan kami di sebuah surau tadi yang belakangan saya tau desanya bernama Pedamekan merupakan persinggahan terakhir kami karena tidak sampai satu jam perjalanan kamipun sudah tiba di tempat tujuan. Meski demikian perjalanan kali ini cukup menegangkan dan menciutkan nyali, betapa tidak jalan yang kami lalui sempit, terjal penuh kelokan dan tanjakan pula, namun itu tidak menjadi kendala yang berarti, karena nampaknya sopir yang kami pakai sudah sangat berpengalaman dan faham betul medan yang kami lalui. Beberapa kali kami harus menahan nafas dalam-dalam manakala kami berpapasan dengan mobil dari arah berlawanan di tikungan, jurang dalam di sisi kanan kami selalu siap mengintai kami, keganasan ombak laut lepas Bali menjilat bibir pantai dengan rakusnya, menyapu apa saja yang ada di bibir pantai, abrasi pantai terlihat di sana-sini, menyiratkan betapa ganasnya laut lepas sebelah utara pulau ini.
Banyak kisah yang selalu menarik untuk diceritakan dan sayang untuk dilewatkan, salah satunya saat berada di sebuah tanjakan yang orang-orang menyebutnya 'Jaran Kurus', tanjakan ini berada tepat setelah berbelok dari jembatan Kokok Putik, Tingginya tanjakan dan sempitnya badan jalan ditambah kelokan di sana-sini memaksa kami menghela nafas panjang dan hampir semua rekan-rekan tidak henti-hentinya bertasbih, memohon keselamatan atau untuk menenangkan diri. Laju kendaraan merangsek dengan pelan dan hati-hati. Dasar sungai Kokok Putik nampak bagaikan bentangan kantong plastik kecil dari dalam mobil demikian pula mobil-mobil yang ada di bawah tanjakan ini bak mobil-mobilan mainan anak-anak. Namun demikian lagi-lagi kami mampu melewatinya. “Alhamdulillah…” suara kami terdengar hampir bersamaan seolah melepas semua kekhawatiran yang menyelimuti setiba kami di ujung tanjakan. Laju kendaraan kembali normal, gesit melewati tikungan-tikungan kecil yang mungkin saja bagi sang sopir hal yang lumrah, namun tetap saja terselip kekhawatiran bagi kami.
Tak lama berselang sebuah plang papan nama berukuran cukup kecil kutemukan terselip diantara rimbunnya pepohonan yang hampir menutupinya di sebuah sekolah dasar. Kalau tidak jeli mungkin saja plang papan nama itu terlewatkan begitu saja, namun aku yang sedari tadi memang mencari informasi tentang daerah-daerah apa yang kami lewati tidak mau melewatkan setiap jengkal daerah yang kami lewati dengan mencari sumber informasi entah berupa papan nama yang ada di setiap bangunan yang tersebar di sepanjang pinggir jalan yang kami lalui ataupun sekolah, begitu juga masjid dan kantor-kantor, pokoknya setiap ada tulisan tidak luput dari pandanganku, maklum saja baru kali ini saya menjejakkan kaki ke lokasi ini. Walau cat pada tulisannya banyak mengelupas namun tulisan "SDN Torean" masih bisa dibaca dengan jelas yang menginformasikan bahwa kami sudah berada di Desa Torean. Betapa senang hati ini, karena setelah terguncang dan terombang-ambing sekitar 3 jam lebih akhirnya sampai jua fikirku. Karena Desa Torean ini menjadi tujuan akhir dari perjalanan kami hari ini sebelum besoknya melanjutkan pendakian ke Rinjani.
Kini mobil yang kami tumpangi berbelok arah ke kiri, menyusuri badan jalan sempit dan sedikit menanjak, laju kendaraan semakin pelan dikarenakan kondisi jalan yang kami lalui sangat rawan. Walau pemerintah sudah mengusahakan untuk pengerasan jalan, namun jalan ini kembali ke bentuk aslinya, sisa-sisa aspal tergerus air hujan hanya teronggok berserakan di pinggir jalan, hampir tidak ada lagi aspal yang melekat pada badan jalan. tanahnya sangat labil, lubang menganga di sana sini, bongkahan-bongkahan batu besar menghadang laju kami. “Ya Allah ni pengorong ape kokok si” gerutu sebagian isi kendaraan. "Aok kenangke jaq leq bale doang taokne meni, ni jaq parah jamaqne" gerutu Saleh yang juga baru kali ini ikut petualangan mendaki gunung Rinjani. "Lasingan mbe jaq taoqte ni" sergah Sadri ikut meramaikan obrolan "Kan jaq gawah" lajutnya menegaskan yang langsung diiringi gelak tawa teman-teman lainnya.
Sementara itu beberapa kali sopir atret, memundurkan mobilnya untuk mencari celah menghindari lubang agar ban mobil tidak terperosok kedalam kubangan. Ruhi sang kenek pun tidak berdiam diri, dengan gesit melompat turun dari mobil, mencari bongkahan-bongkahan batu yang cukup besar untuk mengganjal ban agar mobil tidak mundur manakala mobil tidak lagi kuat menerjang bongkahan batu yang menghadang saat berada di tengah-tengah tanjakan. Entah untuk yang ke berapa kalinya mobil ini kembali atret perlahan menuruni tanjakan, setelah mencoba kembali, lagi-lagi mobil kembali perlahan menuju titik semula. "Sang ye bis minyakne jage pak sopir" ucap Pak Mursidin setengah bergurau, "Ndek Pak Guru (panggilan untuk Pak Mursidin, red) Ye lupak jauq gigi ke empatne jage" timpal Sadri yang memang kami kenal paling suka membanyol.
Akhirnya betapa pun sang sopir tampak begitu hebat setidaknya tiga jam sebelumnya, kali ini ia pun terpaksa harus mengakui ketidakberdayaannya. Setelah menghentikan kendaraannya dan mematikan mesinnya, ia pun mengajak kami untuk bernegosiasi. “Sebenarnya saya tidak tega membiarkan kalian harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki terlebih waktu hampir mulai gelap, tapi coba lihat…” ucap sang sopir membuka perbincangan seraya menunjuk bongkahan batu besar yang terpancang di tengah jalan puncak tanjakan. Kami pun turun dari kendaraan melihat situasi yang digambarkan sang sopir, memang betul sebongkah batu berukuran cukup besar berdiameter + 100 inci tergeletak begitu saja di tengah-tengah badan jalan yang kami lewati. “Tidak mungkin ada orang yang mau atau sekedar iseng meletakkan batu itu selain kekuatan alam” ucapku setengah berbisik pada diri sendiri, terpesona menyaksikan fenomena alam ini. "Taun saq Julu jaq ndekne araq bae batu senikne" ucap Pak Syamsuddin yang menghampiriku. "O... menu jarine, berarti dekne arak jalq laek" timpalku menegaskan ucapannya. "Aok angkak ye ampok ke bengak, lain taun lain doang perubahanne" sambungnya lagi. "Mun menu jaq berati telampak nane, maseh jaok jaq" tanyaku. Ye doang angkak, guan ndekne siq jaok laloq jaq". balasnya. "Aok mun menu jaq, sapin ate ape yaqte ongkat" ujarku menutup pembicaraan.
Tidak ada jalur alternatif yang dapat kami tempuh karena di sisi kiri jalan barisan pohon besar berjejer rapat seolah menjadi pagar alami jalan ini di samping itu jika memaksa, lereng cukup curam di antara pephonan tidak mungkin untuk dilalui demikian pula dinding-dinding terjal lereng sebelah kanan jalan tidak mungkin kami tembus. "Nane jaq lampak tepade kanak" ucap Kak Soha yang baru saja turun dari kendaraan setelah ikut menyaksikan suasana. "Ane pade batur, ntun keq, kande pade nyagroq doang ten, wah nane jaq ngkahte bemontor, tepade lampaq karingan" perintah Kak Irjan dari luar mobil. Kami pun yang memang sudah penat setelah 3 jam hanya duduk saja turun dari mobil, ikut menyaksikan suasana. Setelah melihat fakta yang ada kami pun legowo dan sepakat untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
"Masih jaoq ke angkak Kak Ijan" tanya Eka pada Kak Irjan "Ado kari semendak siq adiq" ucap Pak Syam yang berdiri di depanku malah mejawab pertanyaan Eka. "O..ooo" ucap Eka diikuti anggukan pelan.
Pak Syam memerintahkan kami membantu kenek menurunkan barang-barang yang diikat di atas kup mobil, Akupun, bersama Muhamad segera mengikuti perintahnya. Setelah memastikan tidak ada satupun yang tertinggal, kamipun membuat kesepakatan dengan Pak sopir untuk dijemput pada hari Kamis sore ditempat yang sama seraya memberikan uang muka sebagai jaminan untuk dijemput dengan kesepakatan apabila lewat dari hari itu, maka kami akan mencari tumpangan lain.
Seiring mobil yang kami tumpangi berbalik arah, kami melanjutkan perjalanan, barang-barang yang kami bawa kami angkut sendiri-sendiri.
Saya, Jenor dan Eka memang sedari rumah telah menggabungkan barang-barang perbekalan dalam satu tas keril yang berukuran besar untuk memudahkan perjalanan, sehingga telah menjadi kesepakatan kami akan pikul secara bergiliran.
Aku yang mendapat giliran pertama segera melilitkan keril ke pundak, ukurannya yang besar seolah menelan tubuhku yang mungil, sedangkan perbekalan lainnya seperti air mineral botolan, dan beberapa barang lainnya yang tidak muat dalam tas dibawa oleh mereka berdua. Kami pun mulai berjalan sambil menghindari lubang-lubang kecil dan bebatuan yang terhampar di sepanjang jalan.
Beratnya bawaan membuat langkahku semakin pelan, jarak tempuh kurang lebih 1 kilo tidak seperti yang di ungkapkan kak Irjan seakan lebih panjang. Beberapa kali kami berhenti hanya sekedar untuk memperbaiki tali sepatu yang lepas atau memindah posisi ransel, atau bahkan minum. Bilamana sudah tidak kuat lagi, maka keril akan berpindah ke Jenor, atau Jupri yang kali ini membawa sendiri pakaian dan perbekalannya menggunakan tas kecil. Hanya sesekali Eka terpaksa harus turun tangan juga merasakan beratnya beban tas keril.
Kaki sudah tidak kompromi lagi mengayunkan langkah, air penambah stamina yang kami minum pun seolah tidak bereaksi tidak seperti yang digambarkan iklan-iklan yang gencar mempromosikannya, meski demikian cuaca dingin yang menyambut seolah menghapus peluh dan keringat yang seharusnya mengucur deras. Bersama Pak Mursidin, senior kami dan Kak Soha yang baru saja melewati tanjakan yang lumayan menguras tenaga, mengikuti kami berhenti sejenak, duduk menyandar di bawah pohon sambil menikmati udara sejuk pegunungan seraya meluruskan kaki, mengurut bagian-bagian yang terasa kaku. “Itu ada orang lewat, coba tanya tinggal seberapa jauh kita akan sampai!” ucap Muhamad tiba-tiba setengah memberi perintah, seraya menutup botol Remason, obat oles penghilang nyeri. Aku pun bangkit mendekati lelaki setengah baya yang kebetulan melintas di jalan ini. Pundaknya sarat dengan buah nangka segar yang mungkin dipetik di ladangnya. “Pak te nyodoq beketuan sekali, masih jauq ke balen Inaq Her” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Orang itupun menghentikan langkahnya tanpa melepaskan bebannya. “Oh, kari semendaq gati, adik” jawabnya singkat, tidak ada sedikitpun raut capek di wajahnya meski tubuhnya yang kurus dan tanpa sedikitpun mengenakan alas kaki terhimpit barang bawaannya. “Oh makasih pak” ucapku sambil menjulurkan tangan untuk bersalaman.
Setelah stamina agak pulih kamipun melanjutkan perjalanan, lama berjalan dehidrasi kembali menyapa kami namun apa yang kami tuju tidak kunjung tiba, sedangkan dari belang nampak Budin, Cilung dan Nas menyusul kami, “Iye ngakalang dengan toak nukne” gerutuku mengingat perkataan orang tua tempat kami bertanya tadi. “Iye masak wah kejaok lainte lampak ndekmante bae sampe” Kak Soha yang sedari tadi hanya terdiam menimpali. “Aok, kan jaq kari semendaq unine. Kengonekte lampak ndeqte man bae sampe” nada yang sama juga dikeluhkan Nas dengan nafas tersengal-sengal meski baru saja bergabung.
Selorohan ceplas-ceplos kedua orang ini terus menjadi bahan perbincangan kami sepanjang perjalanan manakala rasa capek kembali menyerang, hingga tak terasa akhirnya kami pun tiba di ujung jalan ini.
Sadri dan Rudin teman kami yang lainnya baru saja keluar dari sebuah masjid kecil desa ini, rona wajahnya nampak segar. “Langsung wah ojok kiri tene, tie leq bale saq paling beleq tiakne” sambut mereka sambil menunjuk rumah sederhana yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Perempuan paruh baya berusia sekitar 35-40 tahun dengan ramah menyambut kedatangan kami. “Silaq niki langsung tipaqde, tokolang wah barang-barangde leq drike” sambutnya penuh ketulusan sambil mengantar kami ke sebuah ruangan besar dimana sudah menumpuk barang-barang bawaan teman kami yang lainnya.
“Terima kasih, nggeh silaq bae de lanjutang pegaweande, bareh kami periri ye” ujar kami, “Silaq menu jaq, ndaq sungakn-sungkan, anggep bale mesaq wah” tutupnya seraya meninggalkan kami menuju dapur.
Setelah melepas semua beban yang melekat di pundak, tanpa menghiraukan capek, kamipun keluar menuju sebuah beranda di depan rumah ini, dimana rekan-rekan lainnya sudah berkumpul asyik bercakap-cakap membahas perjalanan yang baru saja kami lewati diselingi canda-canda ringan.
Sambil menikmati kopi hangat yang dihidangkan perempuan sang empunya rumah, yang tak lain ternyata bernama Inaq Her, merupakan salah satu kerabat kami dari silsilah ibu saya, yang kini bermukim di desa ini. Ku tuang sendiri kopi racikan diisi pada sebuah nako plastik berwarna hijau tua. Ku seruput perlahan sambil menikmati citarasanya yang pas sekali untuk menghalau lelah, hangatnya mampu mengusir cuaca sejuk yang mulai terasa dingin. Temen-temen lain di belakang pun berdatangan hingga semua personil sudah lengkap sembari menanti malam menjelang.
Kabut tebal berarak turun menyelimuti desa paling ujung ini, semilir angin gunung menambah dingin cuaca, gelap malam pun datang mengganti matahari yang terjaga sepanjang siang hari tadi, pekat, tidak ada listrik penerang malam, hanya lampu templek dan lampu petromak yang digantung di atas langit-langit berugak setidaknya menerangi malam yang semakin pekat. Dinginnya cuaca membuatku malas melangkahkan kaki bahkan sekedar untuk sholat pun, aku harus cepat-cepat mengambil air wudhu’. Setelah sholat Magrib kamipun berbincang sejenak menunggu masuknya waktu isya’ agar segera terbebas dari kewajiban kami sebagai seorang Muslim.
Mungkin karena lelah seharian berjalan setelah sholat isya’ kamipun beranjak menuju peristirahatan sambil menghimpun tenaga sebagai bekal perjalanan esok pagi. Sebagian ada yang ke berugak di depan rumah, sebagian lainnya tetap tinggal di ruang keluarga rumah tempat dimana kami ditampung untuk beristirahat, hawa dingin khas pegunungan yang menyapa kami sejak malam beranjak sungguh menusuk tulang. Padahal tidak ada bagian badan ini yang kubiarkan terbuka. Mulai dari ujung kepala ditutupi vakani, topi sejenis topeng yang sering digunakan para perampok hingga terlihat hanya mata, sampai ujung kaki terbungkus kaos kaki ditambah jaket dan selimut tidak juga mampu menghangatkan badan. Namun penatnya badan berkelahi mengalahkan waktu. Dengan alas seadanya kami pun larut dalam pelukan malam sepi nan pekat di kaki perbukitan gunung Torean.


Hari Kedua

Suara azan lamat-lamat terdengar dari seberang rumah, membangunkan hampir seisi rumah bedek berlantai tanah itu menandakan bahwa kami harus berkemas dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Namun kulihat jam yang terpajang di atas pintu menunjukkan pukul 02.45 pagi, akupun sempat ragu apakah jam dinding itu mati, namun setelah bertanya pada Amaq Her suami sang empunya rumah, ternyata memang benar jam dua lebih empat puluh lima. Kami pun menyadari bahwa kami tidak sendirian bertamu di desa ini, rupanya ada rombongan pendaki lain yang menginap di seberang rumah tempat kami ditampung yang bertujuan sama seperti kami. Suara azan yang diperdengarkan tadi hanya sebagai isyarat untuk melakukan sholat sunnah malam. “Uh…am” mulutku menganga lebar menguap mengusir kantuk, “Ternyata belum subuh” gerutuku sambil memperbaiki selimut.
Aku pun kembali melanjutkan tidurku. Namun dinginnya malam ini sungguh-sungguh menderaku. Kami yang tidak biasa dengan cuaca seperti ini sangat merasa menderita, tidurpun tidak bisa nyenyak, sesekali suara hewan malam di seberang terdengar sungguh menyeramkan. Berkali-kali aku terjaga hanya untuk memperbaiki selimut, namun hawa dingin ini terlalu perkasa untuk dikalahkan.
Suara jam beker berdering cukup keras kembali membangunkan kami. Pak Syamsuddin yang lebih dahulu terjaga membangunkan kami. “Ane sai saq mele pada nyampah pade nyampah juluq, atau saq mele kelak mie beleang ite api leq pawon juluq, mae tearuan joq masjid trus pade sembahyang”, ucapnya seraya membangunkan kami. “Kari-kari setenge jam jaq araqne waktu” lanjutnya.
Akupun masih terlalu malas untuk bangun, sementara yang lainnya terdengar sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, ada yang kebagian menanak nasi, ada pula yang memasak air. Namun kebanyakan hanya sibuk ngobrol tanpa mau menanggalkan selimutnya. Tidak banyak yang masih asyik berbaring meski mata sudah tidak bisa lagi terpejam seperti aku misalnya.
“Ah… akhirnya udah waktu subuh” ucapku sambil terbangun menyingkirkan selimut, saat mendengar suara azan yang kembali terdengar dengan jelas dari arah masjid. “Ayo bangun…, bangun, bangun semua, Ayo, kita harus berkemas kita sholat dulu baru kita jalan” pintaku pada teman-teman yang yang masih malas melepaskan selimutnya. Tanganku sibuk merogoh kantong tas keril dimana kusimpan roti kering. "Nih pade bagi, sai saq ndek mele nyampah kadu mie araq roti ni" ucapku setelah mendapatkan apa yang kucari.
Setelah makan-makan, kami pun langsung mengemas semua bawaan dan peralatan yang dibawa. Usai makan, ngopi sembari menunggu giliran sholat subuh.
Akhirnya setelah berpamitan pada tuan rumah sembari memberi bingkisan ala kadarnya sebagai ucapan terima kasih, kami pun melanjutkan perjalanan membelah pagi buta nan sunyi. Berbekal senter dan api obor yang kami buat dari potongan bambu dan minyak tanah yang diberi serabut kelapa kering sebagai sumbunya kamipun dengan tekad bulat menyusuri jalan setapak yang dibuat warga sekitar menuju ladang-ladang mereka yang banyak tersebar di kaki perbukitan ini. Hawa dingin yang seakan tidak mau lenyap dari kami terus merasuki, sungguh menjadi hambatan dan tantangan tersendiri dalam perjalananan ini. Rimbunnya pepohonan dan lebatnya tanaman jagung diselingi pohon gandum tumbuh liar bersama ilalang, menghalangi jarak pandang kami. Untuk mengetahui posisi teman-teman, kami pun memanggil menggunakan kode mirip suara monyet, sesekali mereka yang ada di depan bersorak bersahutan memecah keheningan pagi nan buta di tengah ladang, kami pun menyambutnya dengan cara yang sama. Perjalanan panjang dan melelahkan ditambah jarak pandang yang pendek sungguh menguras tenaga, yang tua sebentar-bentar berhenti, istirahat sejenak hanya untuk memulihkan tenaga, sedangkan yang muda mengandalkan kekuatan tenaganya melaju kencang tanpa memperdulikan rombongan yang tua. Tak terasa sudah hampir setengah jam lebih kami berjalan menyusur mengitari ladang membuat anggota kami pecah menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 yang didominasi anak-anak muda sudah tidak dapat lagi kami dengar suaranya, entah sudah sampai dimana mereka. Sedangkan kelompok 2 yang kebanyakan dari senior-senior masih tertatih-tatih melangkahkan kaki.
Saya sendiri bersama Jupri sebenarnya berada diantara kedua kelompok itu, tiba di persimpangan membuat kami kebingungan memilih jalur mana yang akan kami tempuh, untuk menunggu rombongan yang tua jaraknya terlalu jauh, sedangkan yang muda sudah tidak kami ketahui lagi jejaknya. Akhirnya kamipun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan memilih jalur lurus yang memang lebih besar jalurnya, tanpa berbelok ke kiri. Ternyata jalur yang kami pilih jalannya menanjak, kami pun makin kebingungan karena jalan yang kami tempuh kembali bercabang, lagi-lagi kami harus memilih, sempat ragu untuk melanjutkan dan ingin balik ke titik semula, namun setelah berembuk kamipun sepakat untuk melanjutkan perjalanan dengan memilih jalur kiri. Semak-semak yang tumbuh subur di kiri-kanan jalan menutup sebagian alur yang kami lewati, cukup membingungkan. Namun dengan tekad bulat kami pun terus melangkah. Tidak banyak yang mampu kami kisahkan dalam kondisi jalan gelap gulita ini, hanya rasa was-was yang terus menghinggapi.
Seiring berjalannya waktu pagipun menyambut, jalur setapak yang kami lalui berangsur-angsur mulai terlihat dengan jelas membuat kami semakin yakin untuk melanjutkan perjalanan. Wajah mentaripun tampak ceria perlahan menampakkan diri di balik bukit yang berjejer rapi di sisi kiri kami, suara-suara burung dengan riang menyambut pagi nan ceria, terbang dan hinggap dari satu dahan ke ranting lainnya, bernyanyi riang bersahut-sahutan. Sesekali suara keras hewan-hewan yang bergelantungan ikut meramaikan suasana pagi ini.
Setelah beristirahat sejenak sembari meneguk minuman pendongkrak stamina, Saya dan Jupri pun melanjutkan perjalanan, jaket pun sudah saya tanggalkan dimasukkan dalam tas ransel biar memudahkan gerak dan langkah menyelip menghindari daun rumput gajah yang tumbuh subur di sepanjang perjalanan.
Dan buah dari keyakinan kami berujung manis setelah mendengar ocehan rekan-rekan lain yang sudah menunggu di sebuah rumah-rumahan yang dibikin oleh empunya ladang yang kami singgahi, sambil ngemil makan riangan. Setelah mengisi air sembari membasahi badan yang dibanjiri keringat yang mulai bercucuran di penampungan saluran yang mengarah ke perkampungan saya pun menyusul teman-teman untuk melanjutkan perjalanan tanpa menunggu para senior yang tidak kunjung tiba.
Perjalanan terasa lebih bersemangat, berkumpul kembali bersama teman-teman sebaya tidak saja memberi gairah untuk mengalahkan hambatan dan tantangan dalam perjalanan ini, canda tawa dan bincang-bincang ringan diselingi cerita-cerita lucu seakan menjadi penyemangat melebihi minuman pendongkrak stamina yang hanya akan bereaksi manakala waktu direguk saja.
Tak terasa setelah turun-naik dari satu ladang ke bukit lainnya menuju ladang selanjutnya, membelah sisi lereng dan lembah-lembah yang ada diantara ladang-ladang, akhirnya kami pun tiba di sebuah bukit yang lumayan tinggi, pohon-pohon tumbuh rapat di sepanjang bukit, tidak lagi tampak tanaman-tanaman yang sengaja dipelihara para petani ladang, yang ada hanya pohon-pohon hutan belantara berukuran sangat besar, diselingi semak dan pepohonan liar yang tumbuh tak beraturan di atas gundukan lereng dan lembah bukit ini. Kali ini kami harus mengencangkan ikat pinggang karena meski hanya satu bukit namun ukurannya yang besar dan cukup tinggi memaksa kami harus berjalan mendaki.
Tanjakan yang terjal ditambah kerikil-kerikil tajam yang berserakan di sepanjang jalan membuat kami harus jeli memilih tempat memijakkan kaki jika tidak ingin terpeleset, karena jika salah berpijak jalanan akan menjadi licin oleh batu-batu kerikil ini.
Tak kuat menopang tubuh, saya pun berhenti sejenak, kusandarkan ransel pada sebongkah batu berukuran cukup besar, permukaannya yang pipih dan rata seolah membentuknya menjadi meja yang sengaja disiapkan bukit ini untuk memanjakan para pendaki yang melaluinya. Setelah mengeluarkan sebilah pisau dari dalam ransel lalu kuletakkan tasku diatas batu yang tempatku berhenti, setelah memastikan posisinya tidak akan jatuh ke dalam jurang, kuambil sebatang rokok dari dalam jaketku, kuamati pohon-pohon kecil yang tumbuh disisi jalanku sambil menghisap rokok gudang garam filter yang telah kusulut, ah… nikmatnya “Nah yang ini kayaknya pas buat dijadikan tongkat” ucapku, ngomong sendirian karena yang lain sudah lebih dulu meninggalku. Letak pohon itu memang agak sedikit sulit, harus menuruni gundukan kecil di sisi kanan, setelah batang pohon kupegang, dengan beberapa kali tebas dan memotong bagian ujungnya kemudian sedikit merapikan bagian bawahnya akupun kembali naik ke tempat tasku diletakkan, yah sebatang tongkat sekiranya cukup membantu untuk menopang tubuhku agar bisa menaklukan tanjakan yang memang cukup terjal ini.
Tiba di atas, Kak Soha bersama Amaq Har dan Rudin pun menyusul langkahku, “La melente endah, cobaq bauang ite juluq ane” ucap Amaq Har dengan nafas tersengal-sengal setibanya di tempatku. “Aku endah menu jak” timpal Kak Soha yang sedari tadi hanya memegangi dadanya dengan ucapan terbata-bata. “Side endah Udin, sekalian” tanyaku pada Rudin yang sudah terbaring di atas batu pipih itu sambil menyeka keringat yang mengucur deras dari badannya. Kulihat dia hanya membuat anggukan kecil tanpa bersuar dan kembali merebahkan tubuhnya. Akupun kembali menuruni tempat aku mengambil batang pohon yang tadi, meninggalkan mereka yang beristirahat menghilangkan lelah.
“Uah ni, pileq wah pade, mbe-mbe saq kanggokde” ucapku setibanya di hadapan mereka yang sedang menikmati roti kering yang dibawanya. “Aok lepas ye wah tene, nane juluq, ane ni kaken juluq araq poteng endah jauqke ni” ucap Amaq Har menawarkan ku perbekalan yang dibawanya untuk bergabung.
“Aok mae, terima kasih" ucapku sambil meraih kresek hitam yang disodorkannya padaku, "Alhamdulillah… munte wah pade ganjel tian jaq, kan araq sangunte tinjal bukit setiakne” ucapku pada mereka, “Mae te pade lanjutangye, menu jaq” pintaku kepada yang mereka.
Teriknya mentari untungnya terhalang rimbunnya pepohonan di bukit yang memang masih jarang dijamah manusia ini, diselingi banyolan-banyolan ringan dan suara monyet-monyet yang bergelantungan ke sana ke mari nun jauh di pucuk pahon-pohon besar, akhirnya kamipun tiba di pos 2. Terletak di tengah-tengah bukit ini, itu artinya pos 1 semakin dekat tinggal terus mendaki puncak bukit lalu menuruninya. Demikian yang diucapkan “Pak Mursidin yang tiba-tiba saja sudah bergabung dengan kami bersama Pak Syamsuddin dan Saleh beberapa menit yang lalu. Merasa masih segar dan sanggup untuk lanjut kamipun meneruskan perjalanan tanpa singgah. Dugaan kami pun tidak sesuai dengan yang kami pikirkan, terjalnya perjalanan dan berliku ditambah sedikit licin membuat perjalanan sangat melelahkan dan cukup menguras tenaga, namun Pak Syam yang memang sudah sangat berpengalaman pada pendakian ini tidak hentinya menyemangati kami. “Lanjut aja tinggal sedikit koq” ucapnya penuh semangat.
Langit nampak begitu dekat mengintip dari balik pucuk dedaunan, sinar mentari menembus dari celah-celah batang dan ranting-ranting pohon, membentuk bulatan-bulatan kecil menerpa tanah, seakan menunggu kami untuk meraihnya manakala puncak bukit sudah terlihat dengan jelas dan tinggal beberapa langkah saja. “Andaikan aku bawa kamera, tentu aku akan mengabadikan pemandangan yang menakjubkan ini” batinku setelah menyadari kebodohanku tidak membawa alat potret untuk mengabadikan gambar itu.
Menuruni bukit perjalanan semakin sulit setelah tiba di sebuah jalan yang terputus akibat longsor, akhirnya harus melewati titian kecil yang menghubungkan jalur yang akan kami lalui, Titianpun hanya terbuat dari dua bilah bambu dan satu batang pohon yang dirajut dengan akar-akaran sejenis tali yang memang banyak tersedia di hutan bukit ini. Entah siapa yang membuatnya, karena jalur ini memang salah satu jalur favorit bagi orang-orang yang mencitai petualangan. Keseimbangan badan harus dijaga jika tidak ingin terperosok ke dasar jurang. Jalan pun harus ekstra hati-hati, sambil berpegangan kuat pada akar-akar pohon yang menjutai seolah memang sudah dipersiapkan untuk membantu kami menaklukkan titian ini.
Selepas melewati titian, tidak ada lagi hambatan yang berarti yang kami temukan, hingga akhirnya hati semakin riang setelah tiba di sebuah persimpangan persis yang dikatakan Pak Syam. Suara kelakar diantara gemercik air semakin jelas terdengar, membuatku semakin semangat menapakkan kaki memacu langkahku. Ya sebuah pancuran kecil terbuat dari bilah bambu yang di pecah dua mengalirkan air yang sangat jernih, hawa dinginnya pun mengalahkan terik mentari yang mulai bergeser ke arah barat.
"Alhamdulillah... ya Allah, akhirnya kita sampai juga" ucapku sambil menoleh ke arah Rudin dan Kak Soha yang tepat berada di belakangku, sedangkan Pak Syam dan Pak Mursidin entahlah sejak di persimpangan tadi kami terpisah.
"E... wah pada datengme, ite jaq wah pendaqte mentelah" ucap Jupri yang datang dari arah berugak seraya membawa panci hendak mengisi air. "Mae aku juluq, ke isiq aiq doang, kekadu kelaq mie ni" ucapnya mendahului langkahku menuju pancuran.
"Wah ane, pade mandik pepa juluq ten ne" ucapnya seraya meninggalkan kami. "Aok" jawabku singkat ditambah anggukan seraya bergegas menuju pancuran, kubasuh mukaku, berharap semua penat dan letih segera hilang larut bersama air. Airnya yang bening menggodaku untuk meminumnya, haus dan dahaga ku pun hilang oleh segarnya air pegunungan yang sama sekali belum terkontaminasi oleh benda-benda modern.
"Wah angkaq mae ite karingan. Kengonekme makaq-makaq jaq" sergah Kaq Soha yang sedari tadi berdiri di belakangku bersama Rudin menunggu giliran. "I..iya, maaf, lasingan kemaiq idapne" elak ku. "Mun me wah jaq, jauq bae tas-tas tiakne sekalian ojok berugak" pinta Rudin yang terlihat tidak sabar menunggu giliran.
Karena masih merasa letih aku pun memanggil Jenor dan Saep yang kulihat sedang menikmati makanan ringan. "Enor...!, Aep...!" panggilku berteriak pada mereka. "Tulung ite juluq sekali mae" ucapku kemudian. Merasa dirinya dipanggil mereka pun bergegas menghampiri. Dan kami pun membawa tas-tas itu ke berugak yang ada di pos 1, meninggalkan mereka yang sedang menikmati segarnya air pancuran itu. Pak Syam dan Pak Mursidin pun kulihat baru saja bergabung bersama mereka.
Rupanya kami tidak sendirian beristirahat di pos ini, ada kelompok lain yang sudah lebih dulu beristirahat di sini, untungnya mereka nampak sudah berkemas-kemas mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan lagi, Suasana di pos semakin rame karena kelompok lainnya baru saja datang, "Saya kira mereka tidak datang dari arah Torean bersama kami". batinku bertanya pada diri sendiri. "Mbe langan ne dateng saq tiaqne jaq, perasaanke dekte wah bareng kan leq Torean?" tanyaku pada Nas yang duduk di sampingku. "Nah, munte ndek wah bareng jaq, badekte Sambik Elen, sih" sahutnya memperkirakan "Aok ye wah" ujar Kak Irjan yang ikut nimbrung dalam percakapan kami, "O... iya wah" sambung Nas meyakinkan sambil menghisap rokok kreteknya. Ada sekitar belasan orang dalam kelompok ini membuat suasana berugak semakin sesak, terpaksa kami harus berbagi tempat dengan mereka.
Eka pun tidak mau berdiam diri dengan cekatan memperlihatkan sisi kewanitaannya menanak nasi dan merebus air yang akan dijadikan sebagai air untuk menyajikan mie instan yang sudah kami persiapkan sesuai selera masing-masing. Ada yang mengeluarkan mie goreng, ada juga mie rebus dengan cita rasa soto. Aku pun mengeluarkan mie instant rebus rasa ayam bawang kesukaanku yang dalam pendakian ini saya persiapkan satu dus.

Usai sholat dan makan-makan kami pun berkemas mempersiapkan diri untuk menyusul kelompok sebelumnya yang mungkin saja belum terlalu jauh di depan kami.
Memberi ruang kepada kelompok yang baru saja sampai agar lebih leluasa beristirahat, karena setelah makan dan solat kami pun sudah kembali merasa lebih kuat untuk melanjutkan perjalanan. Belakangan setelah beramah-tamah kami pun tau bahwa kelompok ini berasal dari Kopang, Lombok Tengah tanpa memperinci alamatnya.

Meninggalkan pos 1, perjalanan menghadapi tantangan yang tak kalah serunya, sama seperti kondisi di pos 2 kali ini pun langsung harus mendaki bukit terjal, untungnya tenaga belum banyak terkuras sehingga terasa lebih mudah menaklukkannya walau sebenarnya sama aja.
Satu moment penting yang tak akan pernah saya lupakan, mungkin juga bagi teman-teman lainnya dimana saat menjejakkan kaki di tempat batu berukuran raksasa terpancang kokoh di tengah-tengah bukit ini, berada di sisi kiri jalan. Saya tidak tahu pasti diameternya, mungkin sekitar 4 atau 5 m persegi dengan tinggi yang sama dengan lebarnya. Kami pun tidak mau melewatkan begitu saja moment ini, singgah sejenak hanya sekedar untuk menikmati dan melepas takjub akan kuasa Sang Pencipta.
Kaki pun kembali harus melangkah, perjalanan masih panjang dan akan lebih sulit, sebagaimana yang diucapkan Sadri. Tentu saja kami percaya semua ucapannya, karena dia sudah seringkali ke sini bahkan saban tahun hampir tidak pernah absen.
Kali ini pun perjalanan masih bisa dibilang ringan jika dibandingkan dengan trek-trek sebelumnya, masih bisa bernyanyi pula, pepohonan dan ilalang yang tinggi masih bisa menghalau trik mentari sehingga tidak langsung menerpa badan. Udara yang sejuk juga sangat membantu mengurangi kucuran keringat ditambah pemandangan-pemandangan luar biasa yang tersaji sepanjang perjalanan, semisal air terjun Mayung Putik yang berada di sela-sela dua bukit nun jauh di gunung seberang masih jelas terlihat aliran airnya bermuara langsung ke sungai Peropok, sementara di dasar jurang kilatan aliran sungai Peropok yang tertimpa sinar mentari menyilaukan mata.

Perjalanan kami pun telah tiba di sebuah sungai kering yang mungkin hanya akan berair manakala musim hujan dan alirannya langsung mengarah ke sungai Propok yang tepat berada di bawah lintasan kami. Kaki berusaha mencari pijakan yang tepat di antara batu-batu cadas yang berukuran besar dan licin. Harus menyeberangi sungai dengan melakukan lompatan yang lumayan cukup panjang. Palingan kalo jatuh gak akan terlalu beresiko sih karena dasar sungainya juga gak terlalu dalam dari batu yang kami lompati. Atau kalau tidak mau repot tinggal mencari jalur yang nyaman untuk mencapai dasar sungai, lalu kembali menaiki jalur yang ada dengan sedikit bergelantungan mengandalkan akar-akar rumput.
Rupanya lompatan kami melewati sungai itu merupakan lompatan kami menuju rintangan selanjutnya yang lebih berat. Tanjakan curam kembali menghadang rimbun dan lebatnya pepohonan pun sudah tidak lagi melindungi kami dari sengatan sinar mentari yang semakin terasa seolah tepat di atas kepala, yang ada hanya rumput pegunungan yang cukup tinggi, cukup bisa memang dijadikan tempat berteduh namun sayangnya harus merebahkan badan terlebih dahulu. Keringat mengucur deras, meski angin sejuk berhembus spoi-spoi.
Dengan kemiringan bukit sekitar 60o kami berusaha melewatinya, tenaga terkuras, sebentar-bentar berhenti sambil menoleh ke sisi kiri yang langsung berhadapan dengan jurang yang sangat curam di mana arus sungai Propok mengalir deras di bawah sana sangat jelas terdengar meski kami berada  mungkin sekitar 200 hingga 300 meter di atasnya. Sementara di sisi kanan, gunung Torean berdiri kokoh, puncaknya menjulang ke angkasa seolah hendak mencakar langit yang tampak begitu terang hari ini. "Allahuakbar, hah" teriakku melepas lelah dan nafas tersengal yang membuncah dalam dada. "Cobaq sekediq juluq aik tiakne Andor!" pintaku pada Jupri ('Andor' berasal dari kata Mandor adalah panggilan beken untuk Jupri di kampung kami) setelah melihatnya meminum air berwarna kuning yang terisi dalam botol Aqua. "Aik Ape jaq setiakne?" tanya Eka padaku selesai mereguknya "Ekstra Joss" jawabku sembari menyodorkannya pada Jenor.
Seteguk air yang kuminum cukup mampu memulihkan stamina yang mulai keteteran, sambil merangkak pelan, kami terus merangsek membelah bukit menuju puncaknya. Entah sudah berapa kali kami istirahat, kondisi fisik yang drop membuat ingatanku turut jeblok. Memulai langkah selanjutnya, Eka tampak begitu semangat menyongsong puncak bukit yang sudah terlihat. Langkahnya lebih ringan melaju meninggalkan kami yang masih sibuq memperbaiki tali tas yang terbuka. "Angkak pade becatan, lasingan, cobaq me pade gitaq ye ni" ucapnya dari atas bukit. Kami pun menjadi semangat mengikuti jejaknya.
Sesampai di puncak, melihat turunan yang menghubungkan ke bukit selanjutnya tidak terlalu curam membuat kami semangat menuju bukit selanjutnya. Seolah tanpa beban, dengan berlari kecil, langkah kami tak terasa melintasi kedua sisi bukit ini. Aku hanya heran sendiri setelah melihat lebih detail kedua bukit yang sudah kami taklukkan dan lintasan-lintasan yang sudah kami lalui. Subhanallah.... ya karim. Alhamdulillah.... ya Allah ya Robbi. "Kok bisa ya saya sampai di sini" batinku sambil tak lepas mengucap kalimat tasbih.
Tak lama berselang iring-iringan rombongan orang yang turun dari danau muncul di balik bukit menghentikan langkah kami karena harus berbagi jalan dengan mereka, kusandarkan badanku ke dinding gunung Torean. "Assalamu'alaikum" tegur mereka, sambil menjulurkan tangan, "Wa'alaikum Salam" jawab kami hampir berbarengan seraya menyambut uluran tangan mereka sambil bersalam-salaman.
Setelah rombongan itu berlalu, kamipun langsung tancap gas menyusul teman-teman lainnya. Dan tak lama selepas itu akhirnya kami pun bisa menyusul mereka. Rupanya mereka sedang asyik bersenda gurau seraya merebahkan badan di antara batu-batu cadas. "Ane batur, saq mele bedo'a, pade pasang niat juluq tene leq pelawangan" ucap Kak Irjan menjelaskan seraya menunjukkan posisi pelawangan. "Masak pelawangan datengte ni wah Kak Ijan" sergahku, "Kenangke jaqne bagus aloq aran pelawangan senukne" lanjutku sedikit heran.
Rupanya pelawangan ini tidak seperti yang saya bayangkan, tadinya saya fikir akan ada gapura atau sejenisnya di tempat ini. Namun nyatanya yang ada hanya Sebongkah batu besar, yang mirip seperti pintu, dimana bongkahan besar batu itu menjorok ke tebing sementara lereng gunung Torean menjulang tinggi di sisi lainnya, sehingga jika baik yang akan masuk maupun keluar harus menyelip melewati batu ini. 
"Aok ane menu jaq pade, maeh te pade berniat adengne mulus dait selamet kelampante", pinta Eka pada yang lainnya agar bangkit dari duduknya.

"Bukak Tas de angkak Uru, adengde molah, nane bait ye" pinta Jenor pada guru Mursidin agar melepaskan tas ranselnya untuk bisa melewati pelawangan ini. Karena walau hanya jaraknya beberapa meter saja, namun kondisinya sangat mengerikan terlebih bagi orang yang pobia ketinggian.
Lagi kali ini kerjasama tim sangat diperlukan untuk bisa melewati pelawangan ini, terlebih dengan menenteng tas ransel yang besar tentu akan menjadi sangat sulit untuk bisa menembus jalan ini.
Setelah mengumpulkan segenap keberanianku pada saat giliranku tiba, akupun mengawali langkahku dengan tidak lupa membaca basmalah. Tanganku sibuk mencari pegangan yang kuat di celah-celah bebatuan, setelah merasa yakin bahwa batu tempatku berpegangan akan kuat menopang tubuhku, akupun membalikkan badan dan segera bergelantungan sembari kakiku sibuk meraba-raba pijakan yang tepat, setelahnya melompat ke sisi bukit, untuk berjalanpun tidak bisa langsung menghadap ke depan karena jalanan setapak inipun hampir habis tergerus air hujan, saya harus bersandar pada dinding lereng, sembari mengeser kaki satu-persatu, dasar jurang sangat jelas terlihat dari sana, tidak ada pepohonan di antara tebing-tebing ini, malah yang ada hanya bebatuan dan rumput saja. Nyali siapapun pasti akan ciut jika melihat situasi ini, Namun berbekal cerita akan ketangguhan kak Irjan saat menuruni lereng ini hanya sekedar untuk mengambil tasnya yang terjatuh sungguh menginspirasiku untuk bisa menaklukkan setiap tantangan dan kendala yang ada.
"Alhamdulillah" ucapkan seraya menghela napas panjang sesampaiku di ujung titik rawan pelawangan ini.
"Nteh menu jak tepade lanjut lamune wah ndekne arak maseh leq Mudi" ucap kak Irjan memberi komando.
Kamipun kembali melanjutkan perjalan, menyusuri jalan setapak yang ada di punggung gunung ini.

Satu lagi lokasi persinggahan yang tidak mungkin akan dilupa siapapun yang melewati jalur ini adalah sebuah titik yang walaupun tidak ada tempat yang pasti untuk beristirahat, namun adanya sumber mata air menjadi daya tarik tersendiri bagi siapaun untuk tidak melewatinya begitu saja.
Aliran air sebenarnya tidak begitu besar, bahkan tidak lebih besar dari tetesan air yang mengalir dari ceret. Namun bagi yang kehabisan air tentu ini merupakan berkah tersendiri, karena sepanjang perjalanan selepas berangkat dari pos 1 tidak ada satupun kami temukan titik air.
Aku segera melepaskan tas keril yang melekat di punggungku sejak dari pelawangan tadi disusul Jenor, Jupri serta Eka, mengambil posisi masing-masing untuk merebahkan badan di dinding lereng. Sejenak kami merehatkan badan meregangkan otot-otot, sambil mengeluarkan botol-botol mineral yang memang sudah hampir habis isinya. Sementara pandangan mataku tertuju ke seberang, aliran sungai peropok sudah semakin jelas terlihat, ada banyak rombongan yang terlihat sedang beristirahat di sana, ada pula yang sedang menunaikan ibadah shalat ashar, sebagian lainnya terlihat sedang memasak dan sisanya duduk-duduk santai.
"Lah kemaik aik senikne", ucap Jenor yang sudah berada di mulut pancoran, membangkitkan gairah kami untuk segera mereguknya. Kami bangun hampir bersamaan menuju tepi pancuran. Dan memang benar apa yang dikatakan Jenor, airnya memang terasa nikmat sekali, lebih nikmat dari air mineral pabrikan manapun di dunia ini, bahkan lebih segar dari air kulkas sekalipun.

Usai memastikan semua botol yang kami bawa terisi penuh, kami berempat segera bertolak meninggalkan pancuran ini yang kebanyakan orang menyebutnya banyu urip. Perjalanan pun terasa lebih ringan dari sebelumnya, tidak lagi terdapat jalur yang tajam dan menanjak, hanya tinggal menuruni sisi gunung ini. Tiba di dasar gunung hamparan pohon pinus dan ilalang tinggi tumbuh lebat hingga tepi bibir sungai. Rombongan monyet menyambut kedatangan kami memasuki hutan tepi sungai ini, mengiri langkah kami, riuh suaranya seolah mengajak kami bercanda, akupun sebenarnya ingin juga mengambilkan sisa roti yang kubawa, namun aku teringat pesan pak Syam, agar jangan memberi mereka makanan, terlebih kalau mereka bergerombol karena bisa jadi jika kita mereka makan, gerombolan lainnya akan muncul mengharapkan untuk diberi makan juga. Akhirnya akupun mengurungkan niatku dan lebih memilih berhati-hati karena sewaktu-waktu mereka bisa jadi agresif dan tentu saja akan sangat berbahaya bagi kami.
Kami sibuk mencari celah yang aman untuk bisa menyeberang sungai, karena walau dangkal aliran airnya cukup deras, batu batu besar yang tidak bisa hanyut oleh derasnya air kiranya cukup menjadi pijakan, walau harus beberapa kali melompat dari titik batu satu ke batu yang lain. Namun jika tidak ingin bersusah payah untuk melompat, cukup hanya dengan menanggalkan sepatu aja dan menyingsingkan celana, sambil berusaha melawan derasnya arus. Sesampainya di seberang sungai, kami langsung menyusur bantaran sungai mencari rekan-rekan lainnya yang sudah lebih dulu sampai di sana untuk bergabung.
Ternyata rombongan yang kami cari sedang duduk-duduk di balik batu yang cukup besar berlindung dari teriknye mentari. ada juga yang mengaso berusaha memejamkan mata.
"La kengonekme pade, jangke sange te anteh me pade, mbe guru-guru nukne jaq?" ucap Sadri menyambut kedatangan kami. Walau terdengar agak saklek kami tidak sedikitpun tersinggung akan ucapannya, karena kami tau memang dia sedang bergurau. "Ah guru-guru nukne jaq marak kelampan teres lasing, ite bae lelah anteh selangan-langan endah, ye ampokte telat. "Mbe jaq ye angkak nane?" ucap Saleh menegaskan kembali apa yang ditanyakan Sadri. "Angkak ndekke taok, leq onek ndekte wah bae bareng endah, sewahante leq pelawangan nukne", ucapku menjawab pertanyaan Saleh.

"Nu kan tie ye barukne ntun, tandaqke kelampane pade" ucap Kak Soha menunjuk iringan orang nun jauh di seberang.
"Ao sang iye jage tiakne", ucap Nas. "Aok iye wah tiakne, mune ijo tasne jaq ndekne arak lain wah malik" kata Amaq Har meyakinkan dugaan kami.
"Wah ane cobaqte pade anteh ye bae, itung-itungte pade mentelah, kan begak-begak jari sangunte tinjal gunung setiakne" ucapan bijak kak Irjan menutup perbincangan kami, dan masing-masing kembali sibuk dengan urusannya. Akupun menuju bibir sungai untuk mengambil air wuduk.

Agak lama juga akhirnya kami beristirahat di tempat ini dimana merupakan pertemuan antar dua sungai yang hanya dipisah oleh satu bukit yang tinggi yang akan menjadi lintasan kami berikutnya.

Sekitar jam 16.40 Wita barulah kami kembali melanjutkan perjalanan setelah menemani rombongan yang terakhir tadi beristirahat memulihkan staminanya.
Setelah menyeberang sungai kami langsung dihadapkan dengan medan yang paling berat dari medan-medan lain sebelumnya.
"Enor mae aku jauq tas tiakne" pintaku pada Jenor mengharap agar langkahnya bisa lebih ringan mendaki bukit yang sangat terjal ini, "Ado aku wah, Insya Allah masehke si sanggup idapne" ucapnye dengan nada tersengal-sengal, bareh saq ke lelah ampokke beng, kelalahte endah ngerise, wah kedungne taket idapne ni leq bongkorke" sambungnya setelah menemukan tempat sandaran. "Aok ane kamu bae siq" ucapku sambil mengulurkan tangan untuk, membantunya naik melewati bebatuan yang lumayan besar. "Menu jaq ni tegel imengke, mae ke anton" ucapku menawarkan.
Walau hanya satu bukit, namun terjalnya jalur yang harus kami lewati, memaksa kami sering beristirahat, sekedar untuk menghela nafas panjang berharap stamina kembali pulih. Seteguk air kiranya mampu menjadi penawar keletihan. "Andor, masehne ekstra joss saq piakme onek nukne" tanyaku pada Jupri memintanya untuk memberiku air penambah stamina itu. "Mah, manjuran wah bis, e kelueqne onek gerayang ye, aku bae jangke hampir ndekke mauq endah" jawabnya panjang lebar menjelaskan, "cobaq tie le Saep sangne maseh araq aiq Kuku Bima ne" sambungnya sambil menoleh ke belakang pada Saep yang masih berada di bawahnya. "Aok ni masehne, ni selonjok ye" pinta Saep pada Jupri sambil menyodorkan botol mineral ukuran tanggung yang berisi tinggal setengahnya.
"Arow angkak areang ite, ite bae melet te ni" pinta Jupri padaku dengan nada khawatir akan kehabisan jatah. "Ado maseh lueq ni Andor, Jenor bareng Eka bae masehne bau tie" lanjutku. "brembe kamu endah Enor" tanya Jupri pada Jenor yang berada di atas kami, seusai menutup tutup botolnya. "Aok mae ite bae goro idap blongte endah", ucap Eka yang juga menunggu gilirannya.
Karena saking hausnya mungkin, sehingga sisa air penambah stamina itu pun langsung habis oleh kami berlima.
Setelah tenaga agak mulai pulih, kami pun tidak mau berlama-lama memanjakan diri beristirahat di tengah perjalanan, terlebih walau sudah hampir senja, namun sisa terik mentari yang sudah mulai condong ke barat, masih sangat kuat menyengat kulit ini. Berbekal air yang kami minum kami kembali merayap membelah bukit.

Setelah berjuang selama hampir setengah jam, menapaki langkah demi langkah walau dengan langkah terseok-seok, kami sampai juga akhirnya ke puncak bukit walau menyisakan nafas tersengal. Saya pun segera menuju salah satu dari dua pohon besar yang seolah menjadi pintu bukit ini. Tanpa menghiraukan tas ransel yang masih melilit tubuh ini, aku langsung membaringkan badanku, beralaskan rumput yang tumbuh dibawahnya. Kepalaku pusing, pandanganku berkunang-kunang bumi seolah berputar kencang. "Waduh gawat ini, aku harus segera memejamkan mata sejenak" batinku menerawang ditengah ketidak berdayaanku, semilir angin pegunungan berhembus sepoi-sepoi, berpadu gemericik aliran deras air Peropok masih nyata terdengar dari puncak bukit, yang lambat laun seolah menjadi terapi yang memulihkan kembali kondisiku.
Hampir 10 menit berlalu badanpun mulai terasa segar kembali, saya melepaskan tas ransel dari punggungku, mencari makanan-makanan ringan yang terselip di kantong ransel. "Ah sepotong roti ini, kiranya bisa menjadikan kondisiku benar-benar pulih" batinku berharap agar sebungkus roti pisang yang kumakan bisa menjadi bekal perjalanan selanjutnya.
"Brembe wah ngaseme" ucap Eka menghampiriku. "Maik gati penidemme, jangke ndekke bani dodokme baruk, kenangke jaq me kembe-kemba" lanjutnya. "Aok la pinengke baruq, bengke lapah endah" jawabku. "Lasingan mie doang onek isin tianme, cobaq me mele sedak nasiq endah onek" ucap Jupri menimpaliku. "Aok le nyesel ke ndek mele onek Andor" ucapkan mejawab perkataan Jupri.
"Trus, brembe nane wah baunte lanjutang perjalanante ni, Saef Wah onekne bejulu lampak kanca Saleh dait Soha" ucap Jenor memastikan kondisiku "Terus sai maseh leq bawak" tanyaku pada mereka "Aro karingan guru-guru nukne doang siq, maseh jaq taokne laine" ucap Jupri menimpaliku. "Aok nte menu jaq" ucapku mengiyakan ajakan mereka.
Walau kondisi masih kurang fit namun akupun memaksakan diri untuk kembali melanjutkan perjalanan, untungnya jalur yang kami tempuh selanjutnya tidak ada rintangan dan hambatan yang berarti, hanya sedikit tanjakan, itupun setelah berjalan datar agak lama baru kembali menemukan titik tanjakan yang tidak terlalu menguras tenaga.
Mataku tertambat pada keelokan pemandangan di bukit seberang, sebuah air terjun cukup besar mengalirkan air bak kelambu yang menghias dinding gunung. Saya tidak tahu pasti apa nama air terjun ini, karena kami berempat baru pertama kali ke sini, tidak ada tempat bertanya karena kami terpisah dengan para senior, sebagiannya sudah melaju di depan kami sebagiannya lagi masih di belakang kami. Kami pun bergegas menuju bibir tebing agar melihat pemandangan yang sungguh menakjubkan ini dengan lebih jelas.
Tidak mau menyia-nyiakan waktu, setelah puas memandangi setiap sudut air terjun kami terus menyusur alur yang terhampar sepanjang bukit hingga akhirnya kami menemukan simpang kecil di antara lereng bukit, tertutup rimbunnya dedaunan semak belukar yang tumbuh lebat di sekitarnya. Jalan setapak inipun sebenarnya hampir saja terlewatkan, untungnya jalur setapak yang kami ikuti membingungkan karena tidak ada jejak kuat yang dapat kami ikuti sehingga kami kembali menyusuri tepi tebing, mencari jejak-jejak untuk dapat kami ikuti. 
Terselip di antara rerimbunan, jalan setapak inipun menjadi satu-satunya akses menuju dasar bukit. Kamipun kembali harus mengandalkan kekuatan tangan untuk menuruninya dan tentu saja dengan tetap bekerjasama sedikitnya dapat meringankan langkah kami. Karena untuk bisa turun, kami harus langsung bergelantungan. Banyaknya akar-akaran yang cukup kokoh untungnya banyak membantu pergerakan kami, walau tidak jarang harus melompat agak dalam untuk bisa sampai ke persinggahan yang rata.
Meski tanpa hambatan yang berarti, namun demikian tindakan cermat dan penuh hati-hati tentu saja tetap dikedepankan, karena jika sedikit saja lengah atau salah berpijak saja, tentu permukaan dasar jurang siap menyambut tubuh kami.

Hanya kurang dari seperempat jam, kami pun sedah tiba di dasar jurang. Semak belukar dan rimbun pepohonan yang tumbuh di atas aliran air menghadang laju kami, tidak ada lagi jejak yang dapat kami ikuti karena sepanjang dasar jurang dialiri air. Kami mengikuti alur aliran air yang bermuara di tepi jurang sebelah kiri kami. Dari bibir jurang kami amati sekeliling dasar jurang, sepi tidak ada satupun orang yang kami harapkan berada di bawah sana untuk bisa mencari keterangan kemana langkah kami selanjutnya, yang terlihat hanya selembar kain putih usang yang tertambat di atas semak, di sebelah kiri bawahnya sisa sesajen dan kemenyan nampak masih baru karena dupa yang tertancap ditengahnya masih mengepulkan asap kecil. "La badekke jaq arak dengan leq bawak Enor" ucapku pada Jenor yang turut melihat-lihat situasi. "Te turun bae nte" ajakku pada Jenor "Guan mbe te langan" tanya Jenor padaku "Na Eka, Andor! cobak kamu pade pete langan leq bat, aku bareh bareng Jenor pete langan lek timuk" ucapku pada Jupri dan Eka sekenanya menunjuk arah di depanku yang kuasumsikan sebagai barat sementara di belakangku adalah timur. Setelah menemukan jalan turun saya dan Jenor bergegas menuju dasar jurang.
Hari beranjak gelap, hawa dingin langsung merasuk persendian.
Memang tidak ada siapa-siapa di sini, yang ada hanya sebuah goa berukuran kecil, bahkan untuk masuk ke dalam goa harus melalu dua mulut goa yang sangat sempit, satu vertikal satunya lagi horizontal. Antara penasaran dan takut tapi saya ingin sekali mencoba masuk karena sudah sampai sejauh ini tentu saja hal-hal yang kuanggap istimewa tidak ingin saya lewatkan begitu saja. Rasa penasaranku mengalahkan takutku akhirnya menuntun langkahku untuk masuk ke dalam goa. Setelah melepas semua yang melekat di badan dengan menyisakan hanya celana kolor saja, saya berusaha masuk ke dalam goa melalui pintu masuk horizontal. Harus masuk dengan merebahkan badan dengan posisi punggung di bawah. Anggota badan pertama yang saya masukkan adalah kaki, dan terakhir adalah kepala. Namun sesampai di dalam, sejenak kepalaku langsung pusing, dingin, pengap hampir tidak ada udara, dan gelap untungnya sebuah penerang bersumber dari lilin yang memang sengaja ditaruh orang yang mungkin tidak lama ini berada di sini bersinar redup, tidak ada apaun di sini hanya bebatuan yang menempel di dinding goal mengalirkan tetesan air yang mungkin merembes dari atas sana bermuara pada satu kolam kecil, airnya dingin sekali, bulu kudukkan berdiri semua entahlah mungkin karena kedinginan atau bisa saja makhluk halus sedang bermain-main denganku. Aku merinding dan bergegas keluar dari dalam goa, saya berusaha mencoba jalur lainnya yakni mulut goa vertikal namun setelah mengeluarkan sebelah kaki kiriku kepalaku tidak bisa menembus dinding mulut goa yang terlalu sempit.
Aku makin panik, segera kutarik kakiku dan kembali ke arah mulut goa horizontal, dan Alhamdulillah akhirnya saya pun bisa keluar dari dalam goa dengan selamat.

"Oe...!" suara keras dari atas jurang menggema ke seantero lembah memantulkan suara bergelombang di dinding-dinding lereng, mengejutkan kami. Spontan kami mencari arah sumber suara, samar-samar terlihat tiga orang di tepi jurang. "Ape pade anukme ndot ten, wah yakne magrib ni bareh ndekte tandak langante" ucap suara di atas sana yang rupanya Pak Sam bersama Guru Mursidin dan satu lagi entahlah saya kurang jelas karena sedang terduduk, mungkin Nas fikirku. "Becatan siq pade taek mae, telanjut jok Gua Susu" perintahnya pada kami untuk segera naik.

Baru saja sampai di atas lereng kami harus bergegas menyusul langkah ketiganya yang hampir hilang dibalik rumput yang tumbuh rapat lebih tinggi dari kami, berjalan melawan arus aliran sungai ini, tidak jauh memang hanya sekitar 100 meter mungkin kami suah bisa melihat kerumunan orang diantara beberapa tenda yang sudah terpancang di beberapa permukaan yang agak datar, namun rapatnya rumput yang tumbuh subur di permukaan sungai ini dan tidak adanya jejak karena yang ada hanya aliran sungai yang membuat beberapa cabang kecil tentu saja membingungkan bagi pemula seperti kami. Kami menghentikan langkah di tepi kolam kecil yang berada di persimpangan yang satu sisinya menuju atas bukit dan jalur lainnya ke Goa Susu. Uap air menyembur dari dalam kolam menggoda hasratku untuk sedikit merasakan kehangatannya, terlebih badan yang mulai dirasuki hawa dingin membekukan seluruh persendian, setidaknya akan bisa menghangatkan badan. Belum juga puas menikmati kehangatannya kami harus bergegas ke perkemahan sebelum gelap malam menutup pandangan. Berbekal penerang seadanya yang dipancarkan dari senter baterai dua milik Jenor kami menyusur sebuah gundukan berbentuk seolah anak tangga yang tak berujung tertutup kabut "Oi... sangat mirip sekali dengan gambar pada cover-cover buku dongeng" batinku menikmati pemandangan yang tersaji.
Permukaannya begitu licin bahkan lebarnya tidak lebih dari seukuran 2 badan orang dewasa, air belerang yang mengalir di kedua sisinya tidak jarang meluber ke permukaannya sehingga itu mungkin yang membentuknya seolah bagaikan anak tangga sebuah pelataran. Batinku tak hintinya berdecak kagum menikmati pemandangan yang ada, hingga akhirnya tak terasa sudah berada di permukaan yang agak datar, di mana di sekelilingnya sudah berdiri tenda-tenda mungkin sekitar 6 hingga 8 atau bisa juga lebih, saya tidak begitu memperhatikan waktu itu. Tenda yang kami cari dipancang tepat dibawah gundukan yang lumayan tinggi yang menjadi salah satu akses ke bukit yang ada di belakang kami. Terpisah tidak begitu jauh dari kelompok besar yang mendirikan tenda-tenda mereka tepat di bawah dua buah goa. Setelah meletakkan tas ke dalam tenda, membuka sepatu dan jaket, saya segera menuju sebuah pancuran yang berada disudut bawah salah satu goa untuk mengambil air wuduk mengingat waktu magrib sudah hampir habis. Sekelompok rombongan menuruni tebing di atas pancoran hanya bermodal penerang seadanya nekat menuruni tebing. "Kenapa malem-malem mas, gak takut jatuh ato terpeleset gitu" sapa ku pada salah seorang rombongan yang saya perkirakan seorang mahasiswa setelah berada di depanku.
"Iya agak telat tadi berangkatnya dari danau" jawabnya singkat seraya mencari tempat sandaran yang pas sambil menunggu teman-temannya yang lain sampai di bawah.  "Oooo.... kalau begitu mas duluan ya" basa-basiku padanya dan langsung meninggalkannya.
Usai shalat magrib saya ikut nimbrung bersama rekan-rekan lainnya yang sedang menikmati aneka snak seraya menunggu waktu isya' tiba. Membahas serunya perjalanan yang telah kami lalui sepanjang hari tadi tidak ada habisnya. "Masak ke Soha jaq potokan rokokne ndekne kasak" cerita Sandri nampak berapi-api disambut gelak tawa kami memecah sunyi malam nan pekat di lembah ini. "Arow, side jaq araq-araq bae" ucap Saleh sambil menahan perutnya "Laguk ni malik seruan" timpal Nas ikut meramaikan bahan perbincangan kami "Arak cerite dengan berawekan tas kance Inaq rari Pituriah" (Inaq rari Pituriah adalah nama lain dari monyet yang kami pelesetkan dari kata Pitu dalam bahasa sasak) cerita Nas melanjutkan. Merasa disinggung Muhamad yang sedari tadi tak henti-hentinya terpingkal-pingkal menampik ucapan Nas. "Timbang kamu malik, sok jari pahlawan, siqme kejer godek nukne, wah jaq ne menu tulak malik begeduk tekejer siq baturne, paranne ndekne bedoe kance jage godek nukne" tutupnya. Cerita Muhamad kali ini betul-betul mengocok perutku. Cerita sahut bersahut teman-teman tak terasa menghantarkan waktu ke pukul 8.15 menit. "Ado ceritanme doang pade ndekne iniq tutuk-tutuk, mae te pade sembahyang juluk wah araq waktu isya ni, suwahan senukne ampokte pade mandik leq gua susu nte" Ajakku kepada yang lainnya membubarkan perbincangan kami.

Dengan hanya mengenakan celana kolor saya menuju goa susu, di sana sudah menunggu Jupri, Jenor dan Kak Irjan yang sudah berdiri di depan mulut goa. "Na ni barukne aran mandik saona Andor adekme taokya doang" ucap Sadri yang sudah berada di dalam goa, sedang asyik memjamkan mata di sebuah kolam seukuran satu orang. "Mikiq ni atasan lainte Ri, la masak jamaq idapke" ucap Saleh yang nangkring di puncak goa. "Wah angkak dendek ngonek laloq tene kotong lengesme bareh ndekme tetandak laun isiq batur-batur leq bale" sindirku pada Saleh agar segera memberiku ruang untuk ikut merasakan mandi sauna ala gunung Rinjani.
Permukaan telapak tangan mengeriput akibat terlalu lama di dalam goa, hawa panas yang dihembuskan dinding-dinding goa lama-kelamaan membuat aku tidak tahan berlama-lama di sana. "Nte aku bejuluan aok, la ndekke tahen jamaq ni" ucapku pamit pada yang lainnya.
Sementara di luar goa cuaca berbanding balik 180 derajat langsung menyapa begitu keluar dari mulut goa, hawa ekstrim dari hembusan angin yang bertiup dari celah-celah bukit-bukit yang melingkari lembah langsung menusuk raga, embun malam membasahi rumput-rumput tempatku memijak langkahku, kabut pekat tidak luput turut serta memberi andil membentuk cuaca yang begitu dingin pada malam yang beranjak larut. Hening tidak ada lagi orang yang beraktivitas, hanya segelintir orang yang masih bertahan di salah satu kolam hangat yang ada di depan mulut goa dan lainnya lebih memilih menghangatkan badan dari perapian yang dibuat dari batang-batang kayu serta dahan dan ranting kering. Aku pun hijrah ke salah satu tenda terdekat dari tempat kami bermalam, hanya untuk mencari sedikit kehangatan sebelum beranjak ke peraduan. Tuan rumah dengan ramah menyambutku, "Mari mas, udah dari goa ya" sapanya ramah seraya menggeser badannya untuk memberi ruang padaku. Akupun lalu duduk ditempat yang disediakan, membuat lingkaran di tepi api unggun. Lama kami bercakap-cakap sambil menikmati segelas kopi, hingga tak terasa waktu sudah lewat dari pukul 2.00 pagi. "Monggo mas, aku tak istirahat dulu" ucapku sedikit berbasa-basi dengan bahasa Jawa seadanya setelah mengetahui mereka dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Malang dan Surabaya. "Oh ya, monggo-monggo" jawab mereka mengiri langkahku menuju tendaku.
Teman-teman lainnya rupanya sudah balik pula dari goa susu, tertidur saling tindih tidak tentu arah kaki dan kepala. "Wah nggak kebagian tempat aku ini" batinku gelisah. Tidak ingin menghabiskan malam di luar tenda aku menyelip di dekat pintu tenda di antara kaki-kaki entah siapa mungkin, karena begitu gelap dan karena tidak satupun yang menampakkan muka, semua anggota badan tertutup rapat selimut. Ah lumayan lah, biarpun tidak nyaman dengan bau menyengat yang keluar dari kaki-kaki yang berseliweran ke sana-kemari, tidak jarang juga mendarat di kepalaku, namun sedikit tidak dengan berbaring walau tidak lelap badan akan terasa segar menyongsong pagi.

Sang surya akhirnya menampakkan diri dari celah-celah awan tebal, walau belum begitu terik, namun cukup lumayan untuk mengusir selimut yang enggan kulepas  selepas shalat subuh tadi. Walau begitu aku masih begitu malas untuk meninggalkan sisa-sisa bara api yang hampir padam dari tungku.
Sementara dari tenda-tenda lainnya sudah nampak aktivitas para penghuninya, ada yang ke pancuran mengambil air untuk menanak nasi atau direbus untuk membuat kopi, ada juga serombongan orang sudah berangkat meninggalkan tempat ini, sementara di dalam dua kolam yang berjejer berukuran lumayan besar nampak puluhan orang sedang menikmati mandi air hangat begitu juga di dalam goa mulai ramai orang mandi uap. Rombongan kami pun tidak ingin berdiam diri, masing-masing berbagi tugas menyiapkan perbekalan menuju danau. Ada yang mengemas barang-barang bawaan, aku dan Jenor bertugas membongkar tenda sementara Eka kebagian tugas menanak nasi dan merebus air.

Mie segala rasa (istilah yang saya berikan sendiri, karena kami mengeluarkan mie masing-masing untuk direbus Eka dalam kuali besar, sehingga melebur jadi satu) menjadi lauk utama sarapan ditambah sambal kacang-kacangan yang kami bawa sendiri menjadi bekal perjalanan kami menuju Segara Anak. Seperti biasa kami berempat hampir tidak pernah terpisah satu sama lainnya dan lebih banyak menjadi yang terakhir berangkat, ya karena kami memang usia kami rata-rata masih jauh lebih muda dibandingkan mereka-merka jadi porsi tugas yang dibebankan pada kami lebih banyak. Tubuh Kak Irjan baru saja tenggelam di balik tikungan yang langsung menanjak bukit itu. Dia menjadi anggota rombongan terakhir mendahului kami yang masih  merapikan dan memasukkan tenda yang kami bongkar ke dalam tas keril. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal kami bergegas menyusul mereka. Untuk dapat segera menyusul mereka saya mengajak mereka bertiga melalui jalur bay pass yang digunakan para mahasiswa yang berasal dari Jawa tadi malam.


Jalur berat seperti mendaki tebing terjal seperti ini membuat kami makin terbiasa dan akrab karena sejatinya disanalah terselip rasa bangga dan puas, kami merasa bagaikan pendaki sungguhan seperti film-film petualangan yang kerap ditayangkan stasiun-stasiun tv. Tangan kami mulai terampil menggapai dan mencari celah-celah yang tepat untuk berpijak dan Alhamdulillah walau sedikit licin akibat rembesan air yang mengalir ke pancuran di bawahnya, kami tiba di puncak tebing berketinggian sekita 10 meter ini dengan selamat. Ternyata rombongan kami yang lainnya belum juga sampai, lumayan bisa istirahat sejenak sambil menunggu mereka pikirku, tak lama berselang rombongan yang kami tunggu pun satu persatu muncul dari jalur setapak yang dipenuhi tumbuhan liar dan belukar. "La kebecatme pade dateng te aranne kanak" ucap Sadri dengan nafas sedikit tersengal "Lasingan ite deturutang" jawab kami sedikit berbangga "Yoh mbe jak pade langanme taek" tanya Saleh penasaran "Arow ndekme taok aku bedoe ajian saipi angin, lasingan Leh" jawab Jupri sedikit berkelakar. "Adow kan tiye lasingan langante Aleh" sambut Eka menjawab pertanyaan Saleh yang mulai kebingungan dengan jawaban Jupri sambil menunjuk jalur pendakian kami. "Aok lasingan pak Sam nikne ulakne tejak ite muter-muter, cobaqte langan tiakne dong onekte sampe" ucap Saleh kemudian menyesali diri "Ado, kamu tetaok ndekme bau isiqme langan tiakne ampokme tetejak langan te, kamu noak doang. Munme melet lalok jak alo tulak cobaang langan tiakne" omel Amaq Har "Nte te lanjutang perjalanan bae, doang becat te pade istirahat leq segare" lanjutnya. "Aok begaan maukte mancing pepe endah" timpal Soha yang menenteng wales di tangan kirinya.
Dan akhirnya kami pun sepakat melanjutkan perjalanan "Aok lasingan ndekne barak ite arak langan olek tene doang maukte milu endah" ucap Saleh padaku yang nampaknya masih penasaran dengan jalur yang kami lalui, "Arow tedok wah ane, tie bae ane kan marak ape pendait kelampante nane" jawabku menunjuk jalur yang akan kami tempuh selanjutnya. Benar saja rupanya tebing terjal yang kami lalui tadi tidak ada apa-apanya dibandingkan jalur terjal yang menghadang langkah kami. "Saya harus meralat ucapan saya sebelumnya tentang jalur terjal yang ada di bukit setelah Peropok tadi" pikirku. "Ane ke Aleh, kamu sak noak doang leq onek kan me maseh nyagrow doang olek batu tiak" ucap Sadri di atas sana, "Aok Ri nane juluk lah wah yakne pegat idap nyawangke ni" jawab saleh terpatah-patah sambil membaringkan punggung di bebatuan itu, "Dakak menu raosme doang angkak perikak" timpal Amaq Har merasa menang. "Aok nte pade bilinye wah kan jak masehne arak kanak-kanak tiakne bareh urus ye" ajak Soha melanjutkan perjalanan. Merasa diberi tanggung jawab kami berempat terpaksa harus menunggu Saleh yang masih terbaring lemas, memberinya minuman dan mengambil alih sebagian barang bawaannya untuk meringankan langkahnya. Setelah merasa kuat, Saleh mengajak kami untuk melanjutkan perjalanan, beberapa kali kami harus menuntunnya agar bisa sampai dari satu pijakan ke pijakan lainnya. Maklum saja bukit ini seolah tegak lurus dengan kemiringan sekitar 70-80 derajat ditambah tinggi menjulang tentunya menjadi kendala dan tantangan berat bagi siapapun yang melewatinya. Untungnya sarapan dan istirahat cukup semalaman menjadi modal utama untuk menaklukkannya. Walau dengan upaya susah payah, akhirnya kami tiba jua di permukaan bukit yang cukup landai. Dari balik bukit sudah terlihat air danau yang sejuk terpotong oleh pohon-pohon pinus yang tumbuh berjejer di bukit-bukit dan gundukan-gundukan.

Perjalanan terasa makin ringan dengan sedikit berlari akhirnya kami tiba dipersimpangan membuat pemandangan semakin menakjubkan karena hampir semua bagian dari danau sudah terlihat dengan jelas. Tenda-tenda didirkan berjejer rapat di tepi danau mengesankan suasana pasar malam, demikian juga para mancing mania terlihat sibuk dengan kail masing-masing.
Rupanya kawan-kawan sudah mendirikan kemah agak jauh dari bibir danau, di sana pun sudah berdiri tiga tenda lainnya, satu tenda kulihat beranggotakan dua turis mancanegara bersama guide dan dua orang porter.
Barang-barang hanya letakkan begitu saja di atas gundukan bekas bangunan pos penjagaan yang sudah runtuh, yang tersisa hanya seng dan beberapa bilah kayu saja. Sebagian teman lainnya sudah menuju danau untuk memancing.
 
Cukup lama aku hanya terpaku, duduk menyandar pada satu-satunya tiang yang masih utuh di atas puing sisa-sisa bangunan... penat, letih dan takjub berpadu mengekang segala rasa dan raga ku, memandang barisan lereng gunung yang berlapis-lapis mengitari danau dengan airnya yang tenang, semilir angin pagi singgah di pucuk-pucuk daun pinus menciptakan suara yang membuat bulu roma ku bergidik, kabut tipis masih enggan pergi di beberapa lereng, sementara di ujung mata memandang sebuah gunung berdiri tegak membelah danau, masih mengepulkan asap tipis di puncaknya dan sebuah lekukan menganga lebar, mungkin sisa dari letusannya masih membekas di badan gunung. "Heit...!" hardik Amaq Har menepuk pundak ku dari belakang. "Momot doang, alo keq bauang ite juluk empak nukne, dong arak te kandoq mangan tengari" lanjutnya. Kehadirannya tidak kusadari sama sekali, membuyarkan semua lamunanku. "Aok ndot juluq angkak, kan wah lueq pade mancing endah jaq, maseh ke kemomotan gitaq ruen tadah gunung senikne tuak" bela ku menjawab ucapan Amaq Har.
Sementara hilir-mudik orang-orang menenteng jerigen dan botol-botol kosong berseliweran di jalur setapak yang ada di depan ku. "La meni sarinan Uak, mbe botol-botol kosong nukne mae sugulang ite, dore ye bae wah tenne leq tas-tas setiakne, side ndot juluq tenne tunggu barang-barang senikne aku yaq ke milu kance dengan-dengan sak jauq botol tiakne lalo bait aik, brembe" tanyaku pada Amaq Har "Aoq kenaq maseh, laguq pete kance ntanne endah adeknne lueqan jauqme botol" Tanpa pikir panjang aku pun memanggil Jupri yang terlihat sibuk menenteng ikan-ikan hasil tangkapan teman-teman. "Andor, lepas juluk empak tiakne, beng Eka tie jauq ye, mae tulung ite juluq ni" teriakku dari tempat ku berdiri. "Arak ape jaq angkak" ucapnya sesampainya di hadapanku. "Nteh bentek botol-botol tiakne te lalo bait aik, bareh aku jauq galon setiakne jaq" pintaku padanya. "Guan mbe taokte bait aik nane" tanyanya padaku "Tie kan dengan-dengan tiakne teturut, yaqne bait aik maseh nie" jawabku sambil mengajaknya mengikuti langkahku.
Botol-botol diisi ke dalam kain yang disulap menjadi tas untuk memudahkan kami mengangkutnya. Mengikuti jejak orang-orang yang menuruni lembah yang ada di belakang kami di mana limpahan air danau mengalir ke dasar lembah. Beberapa tenda dibangun simpang siur di dasar lembah, sebuah kolam besar di sesaki orang-orang yang menikmati mandi air hangat, di atasnya lagi terdapat kolam. Kami hanya mengamati aktivitas orang-orang di bawah sana di tepi jurang karena kami harus menuju sumber mata air yang akan kami jadikan sebagai perlengkapan kami memasak. Sumber mata air terletak sekitar ratusan meter dari atas lembah itu, melewati semak belukar. Harus ekstra hati-hati berjalan di sini, bukan karena jalurnya yang berbahaya, namun kaki harus peka menghindari kotoran-kotoran manusia yang membuang hajatnya di balik rimbunnya semak belukar yang menutupi jalan. Pancuran kecil dialirkan dengan sebilah bambu. Aliran airnya pun tidak begitu besar, bahkan untuk mengisi satu botol aqua berukuran besar saja butuh waktu hingga 5 menit, untungnya ada dua pancuran. Tapi kami tidak sendirian, dua orang yang kami ikuti tadi saja masih menunggu gilirannya. "Andor! kamu wah juluq anteh ye tene, melet ke ojok aik ni" pintaku pada Jupri "Manjuran aku bae melet ke endah, becatan isiq aok" jawabnya "Mun menu jaq, tebareng nteh" balasku "Arow kamu wah juluan maseh baune siq ke tahen ye, guan becatan doang ndak ndot tone" pesannya pada ku. Karena saking kebeletnya aku segera berlari meninggalkan Jupri sendirian mengantre giliran. "Eit salaq lainme tie, kiri lai tene, kan tie leq bawaq pemandian aik kalaq tiakne taok kokok" ucap Jupri sambil berteriak pada ku karena jarak kami sudah hampir 50-an meter. "Aok angkak taokke siq" jawabku melanjutkan lariku.
Aku harus pelan kali ini batu-batu cadas berukuran raksasa menjadi dinding tepi jurang "Ah kurang ajar, kenapa tidak turun aja ke sungai, padahal tinggal sedikit aja" gerutuku melihat kotoran manusia berserakan di mana-mana. Untungnya tebing yang harus saya lewati agak landai sehingga memudahkanku untuk menuruninya, namun tetap saja harus harus hati-hati karena ada saja bagiannya yang licin. Setelah tengok kiri-kanan "Untungnya lagi sepi orang" batinku, sehingga langsung aja aku ploroti celana ku, kemudian mencari titik yang agak terlindungi supaya tidak terlihat siapapun.

"Kengonekme, takutke lasingan mesaq-mesaq. Cobaqke kasakye jaq onekke bilinme" gerutu Jupri menyambut kedatangan ku "Lasingan kelolat langante Andor dait iii.... wah ke mambune, penok tai selangan-langan" kelitku membalas gerutuan Jupri "Guan kan wah berisi kan selapuanne tie, nte dong menu jaq kamu kan melenme ojok aiq endah" ajakku pada Jupri "Aok angkak, nte becatan munne bau jaq ndekke tahen jamaq ni" ucapnya sambil menekan perutnya. "Mae menu jaq aku separo jauq botol tiakne" pintaku pada Jupri supaya bisa mempercepat langkahnya.

"Ah, nyaman nane jaq, nte te uleq" ajak Jupri yang baru saja naik dari sungai. "Nyadume kan nane jaq Andor" ujarku memancing perkataan Jupri "Aok setan jamaq, dengan-dengan nukne, ndekne taoq base jamaq" omelnya seru. "Wah ane kamu ngomeh doang maseh jaq ndekne araq kenene, nte te becatan bae siq te mirik wah ndekke tahen jamaq ambune Andor" pintaku agar kami segera meninggalkan tempat itu.

"Ado ni ye siq te anteh-anteh laloq, kenangke jaqme pade kepusaq mule jaq ke suruq Amaq Caoq umumang kamu" ('Amaq Caoq' tukang azan di kampung kami) ucap Sadri dengan guyonannya yang khas menyambut kedatangan kami. "Arow side ngomeh doang, ni becatan isiq baitin ite, keberatan te ni" jawab ku. "Saq meni-meni paranme berat jaq kamu pada toah siq, no kan ni jaq beratan bae kapuk" ucap Sadri sambil mengangkat gendongan kain yang penuh dengan botol itu dengan tangan kirinya. "Aok, aran jaq tobengan taokde, cobaq de bentekye sambil de lampak jaq, sugul elaq de endah" ucap ku tidak kalah serunya membalas kelakarannya.
Ado pade begejoh doang mae aik tiakne, tekadu ngeme ni doang becat de pade bebelot" ucap Eka melerai perdebatan kami. "Aok kamu endah Aleh kamu ngangak doang marak ruen ain, peteang ite kayuk tone, doang becatne masak ape-ape senikne" perintah Amaq Har, pada Saleh yang sedang bengong bersandar pada sebuah gundukan. "Mesak ke, ketao bae lasingan" bantah Saleh sambil merungut "Enteh aku kance, kamu ngerumun-ngerumun doang" ajak Jenor kemudian tangannya menggamit sebilah parang berukuran sedang, dan keduanya kemudian segera berlalu di hadapan kami.

Hari yang begitu terik tak terasa menyengat, mengalah pada dinginnya angin yang berhembus menggesek pucuk-pucuk daun pinus yang tumbuh di bibir danau, seekor bebek berenang di permukaan danau, sesekali membenamkan kepalanya cukup lama ke dalam air, seolah tidak menghiraukan kehadiran ku, seekor ikan karper asyik bermain sendiri di bawah batu yang ku duduki,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar