KATA PENGANTAR
Puji
syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Azza Wajalla atas
limpahan Rahmat dan Magfirah-Nya, sehingga buku cerita pengalaman
pribadi penulis dalam melakukan pendakiannya ke gunung Rinjani bisa
hadir ke tengah-tengah pembaca walau dalam kurun waktu yang panjang.
Ucapan
terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada keluarga, kerabat,
serta teman-teman yang tidak hentinya memberi support sehingga penulis
terpacu untuk menyelesaikan buku cerita yang berjudul "RINJANI TRACKING
Bagian Pertama" ini.
Tentunya judul itu penulis pilih dikarenakan
cerita ini direncanakan berlanjut sampai Bagian Kedua, Ketiga dan
Keempat, sesuai dengan jumlah perjalanan saya ke gunung Rinjani.
Penulis
sangat menyadari bahwa buku cirita ini dibangun berdasarkan pengalaman
pribadi penulis yang dilakukan sejak belasan tahun silam, dimana
tentunya akan sangat berpengaruh terhadap ingatan akan detail kejadian
yang sesungguhnya dan ini tentunya penulis sangat sadari jika
sewaktu-waktu isi cerita ini akan menuai kritik dari tokoh-tokoh yang
ada dalam cerita ini sendiri, karena sebagian besar mereka hingga kini
masih hidup di Kumbung. Namun bermodalkan semangat untuk menceritakan
suasana emosional penulis saat melakukan perjalanannya penulis
berimajinasi sendiri pada beberapa dialog antar tokoh dalam isi cerita
ini.
Di samping itu, sebagai pemula tentunya keterbatasan
pengalaman dan kosa-kata yang dimiliki penulis pada susunan kata maupun
kalimat di dalam penulisan cerita ini sangat jauh dari harapan pembaca,
untuk itu saya dengan lapang dada dan sangat mengharapkan kritik dan
saran pembaca untuk kelanjutan penulisan cerita berikutnya.
Akhirnya harapan saya semoga cerita singkat ini bisa bermanfaat bagi para pembacanya.
Mataram, 22 Mei 2013
Penulis,
ARDIE ARRAHMA
LATAR BELAKANG
Sudah
tidak terbantahkan lagi jika Gunung Rinjani menjadi magnet terbesar
yang diandalkan 'pulau pedas' ini untuk menarik wisatawan baik domestik
maupun mancanegara. Panorama alam eksotik yang disajikan sepanjang
perjalanannya tidak akan pernah habis untuk dibahas dan akan selalu
terkenang sepanjang masa.
Penulis sendiri terkahir kali melakukan
perjalanannya lebih dari tujuh tahun silam, namun kenangan indah akan
perjalanannya masih membekas hingga sekarang dan selalu mengusik saya
untuk melakukannya lagi, namun sayang karena masalah pekerjaan yang
tidak pernah bisa penulis tinggalkan sehingga keinginan itu sampai saat
ini belum tergapai. Hingga akhirnya berinisiatif untuk menuangkannya ke
dalam sebuah cerita agar kenangan itu makin lekat dan menjadi penawar
kerinduan saya pada gunung yang menjadi salah satu destinasi pariwisata
dunia itu.
Di samping itu setidaknya dengan hadirnya
cerita ini akan menjadi travel guide atau petunjuk arah bagi para
pecinta alam yang buta sama sekali akan kondisi alam di gunung rinjani
terlebih bisa menggugah lebih banyak lagi wisatawan yang ingin
berkunjung ke gunung Rinjani.
Have enjoy your travel!
RINJANI TRACKING
Bagian Pertama
Hari Pertama
Sekitar
satu jam ba’da sholat Jum'at mobil engkel (angkutan umum antar
Provinsi) yang telah kami carter akhirnya menampakkan moncongnya dari
arah selatan setelah molor hampir setengah jam lebih dari perjanjian.
Meski digelayuti rasa dongkol kami pun suka-cita menyambut
kedatangannya, mobil pun langsung mengambil haluan memutar balik ke
arah datangnya. Sorak sorai dan rona ceria terpancarkan dari
wajah-wajah kami. Tanpa dikomando kami pun bergegas menaikkan
barang-barang perlengkapan gunung dan berkemah yang jauh hari kami
persiapkan setelah mobil berwarna merah tua itu menghentikan lajunya
tepat di depan masjid kebanggan kami. Jenor, Jupri dan Saep dengan
cekatan naik ke atas kup mobil ikut membantu sang kenek mengatur dan
mengikat barang-barang bawaan. Tidak butuh waktu lama, setelah semua
barang dinaikkan dan ditata rapi dan diikat kencang, barulah satu
persatu rombongan berjumlah 15 orang, semuanya terdiri dari kaum adam
plus 1 orang wanita naik. “Geseran angkak, dekte kesedeng bai nih”
ucap Eka, merupakan satu-satunya perempuan yang ikut dalam petualang
ini, tubuhnya yang tegap dan gempal memaksa kami harus berbagi tempat
dengannya, kursi deretan paling belakang yang kami pilih inipun
terpaksa hanya diisi 4 orang saja. Saya, Jenor, dan Jupri serta
tentu saja Eka mulai larut dalam perbincangan, bercanda ria menghalau
gundah menunggu waktu berangkat.
Semua kursi sudah terisi,
masing-masing deret terdiri dari 3 hingga 4 orang, mobil pun terasa
sesak dan pengap, meski demikian hati kami selalu riang dan gembira.
"Jam berapa uru" tanyaku mengarah pada Guru Mursidin untuk memastikan
waktu berangkat. "Emm... jam 2.15" jawabnya singkat sambil mengangkat
lengan kirinya yang hampir menempel di matanya. "Terima kasih" jawabku
singkat dan kembali larut dalam perbincangan penuh canda tawa bersama
rekan-rekan sebangku ku.
"Berarti magrib doang wah kenene
tedateng Torean" ujar Nas yang duduk di depan kami ikut nimbrung dalam
pembicaraan kami. "Aok ane piran-piran wah, siq penting te nyampe wah
dait selamet" timpal Kak Soha mengheningkan suasana sejenak.
Sementara
suasana berbeda terlihat di luar mobil, beberapa sanak kerabat dan
warga yang kebetulan ada di lokasi terlihat intim satu sama lainnya.
Setelah bersalam-salaman dengan beberapa sanak kerabat, kami pun
bertolak meninggalkan desa kelahiran tercinta. “Pade onyak-onyak ntane
aok, nendek sare-sare porok gawek tone, tetep ingetang sembahyang dait
Ijan jagak endah adikme aok” nasehat Inaq Johar pun lambat laun
tertelan angin seiring mobil yang kami tumpangi berbelok dan
orang-orang yang melepas kami pun hilang di balik tikungan.
"Ah
kayak pelepasan jamaah haji aja" batinku menerawang mengingat-ingat
suasana pelepasan jamaah haji di kampungku, dimana semua warga berjejer
mulai dari masjid hingga sepanjang jalan kampung untuk disalami oleh
jamaah yang akan berangkat menunaikan ibadah rukun islam yang ke lima
itu, suasana haru menyesaki seluruh isi kampung.
Kepalaku terbentur ke belakang kursi, sadarkanku dari lamunan.
Laju
mobil pelan menghindari bebatuan dan lubang yang lebih mirip kubangan
yang tersebar di sepanjang ruas jalan di kampungku. Beberapa kali
kepalaku terbentur ke belakang kursi, untung sofanya empuk sehingga
tidak sampai mencederaiku. Tiba di perbatasan kampungku mobil belok
haluan ke arah kanan, jalanan pun agak bagus walau lubang-lubang kecil
masih tersisa di sana-sina sehingga memudahkan perjalanan kami.
Sorak
sorai dan canda ria teman-teman seolah enggan mempedulikan kondisi
jalan atau hanya sekedar cara untuk mengusir rasa dongkol akibat
terlalu lama menunggu atau mungkin juga saking girangnya bisa melakukan
petualang ini, maklum walau ini merupakan ritual saban taun, namun dua
belas bulan tentu bukanlah waktu yang singkat, terlebih ritual ini
belum tentu juga bisa diikuti oleh masing-masing orang, sehingga bisa
jadi ini merupakan bentuk dari luapan ekspresi kami yang bisa melakukan
perjalanan taun ini.
Apalagi teman-teman yang nangkring di atas
mulai mengeluarkan suara emasnya dengan lantang, diiringi suara
tetabuhan dari apa saja yang ada di depannya ditambah deru mesin serta
sesekali diselingi suara klakson yang sengaja dipencet agak lama oleh
Sabri sang sopir, menambah semarak perjalanan.
Tak peduli
orang-orang yang ada di sepanjang jalan yang kami lalui memandang aneh
tingkah laku kami, ada juga yang agak sinis, namun begitu kami terus
bernyanyi dengan lantangnya seolah ingin mengumumkan pada mereka 'nih
Kanak Kumbung akan pergi mendaki ke gunung Rinjani'.
Belum
setengah jam berjalan mobilpun tiba-tiba menghentikan lajunya menepi
di sisi kiri jalan tepat di depan toko obat yang cukup terkenal
seantero kecamatan di seberangnya pasar umum ibu kota kecamatan
Masbagik yang selalu ramai oleh lalu lalang kendaraan maupun pengguna
jalan yang keluar masuk pasar. Suara kamipun kalah riuh oleh
orang-orang seisi pasar. Tidak heran memang jika kemudian pasar ini
menjadi salah satu barometer perekonomian ibu kota kabupaten paling
timur pulau ini. Kamipun terdiam dan lebih memilih menikmati keramaian
yang ada.
Pak Syamsuddin terlihat turun dari kendaraan menyusul
Kak Irjan di belakangnya. Keduanya merupakan senior yang paling sering
dan hampir tidak pernah absen berkunjung ke Rinjani. Saya bersama
Eka, Jenor dan Jupri merupakan wajah baru dalam rombongan ini tergiur
untuk ikut dalam pendakian kali ini pun atas ajakan dan ceritanya akan
keindahan dan pesona Gunung Rinjani, gunung kebanggan masyarakat
Sasak.
Ternyata kami singgah untuk melengkapi persediaan kami
yang akan menjadi bekal selama berada di gunung nanti. “Kak titip
lilin 2 bungkus dan ekstra joss 3 kotak ya”. Akupun tidak mau
melewatkan moment ini seraya menyerahkan uang lembaran kertas 100-an
ribu. “Ayo cepet makanya, entar kemaleman di jalan, udah sore ini”
ucap sang sopir dengan nada galau.
"Kak Ijan Gudang garam filter
lima bungkus" teriakku pada kak Irjan dari dalam mobil yang sudah
jauh meninggalkan tempat kami parkir. "Kak Ijan Baterai ABC lima biji"
teriak Jenor yang juga tidak mau melewatkan kesempatan ini.
Tak
lama berselang Kak Irjan dan Pak Syamsuddin pun muncul dari balik
keramaian dengan belanjaannya, mereka pun bergegas naik ke atas mobil.
“Ayo pak sopir jalan!” perintah Soha yang sedari tadi terlihat gelisah
sambil menghisap lintingan rokoknya yang terbuat dari tembakau
racikan. "Ya ayok berangkat" sambut Pak Mursidin dan Kak Soha hampir
bersamaan "Nanti kemaleman kita di jalan" Lanjut Kak Soha.
Seakan
mendapat rekomendasi dari semua penumpangnya, tanpa ragu pak sopir
pun memacu kendaraannya dengan kecepatan penuh, tangannya yang cekatan
dengan sigap menguasai laju kendaraan, seakan hapal betul jalan ini,
maklum saja trayek jurusan Labuhan Lombok - Mandalika ini menjadi
tempatnya mengais rezeki sehari-harinya. Ada juga yang masih bertahan
kembali berdendang, sebagian lainnya lebih memilih tidur walau hanya
dalam posisi duduk.
Setelah terombang-ambing satu jam
lebih kembali sopir menepikan mobilnya di pertigaan jalan labuhan
Lombok tepat di depan tukang tambal ban yang mangkal di pinggir jalan
depan pasar umum Labuhan Lombok. Rupanya roda belakang agak kempis
sehingga perlu ditambahkan angin. Setelah itu perjalanan pun kami
lanjutkan, jalanan yang relative sepi semakin memudahkan sang sopir
untuk memacu kendaraannya. Tidak lagi terdengar lagu riang atau gelak
tawa teman-teman yang sedari tadi tidak henti-hentinya bernyanyi.
Mungkin kehabisan bahan nyanyian atau mungkin kecapean entahlah…??,
Perjalanan pun terasa membosankan, hanya Saep yang duduk di deretan
depan kami kulihat masih sibuk menghembuskan asap pekat dari mulutnya,
sambil memejamkan mata sibuk dengan lamunannya sendiri. Aku pun yang
mulai diserang kantuk berusaha menyandarkan kepala ke belakang kursi
yang mentok dengan pantat mobil, melonjorkan kaki di antara
besi-besi penopang deretan kursi di depanku, menyelip di antara Eka
dan Jenor yang lebih dulu membaringkan badannya, sejurus kemudian
akupun tenggelam dalam buaian alam bawah sadarku.
“We pade tures
ane, he... tures... turess!” Suara Amaq Har lamat laun terdengar
semakin jelas, menyadarkan aku dari tidurku. “Te pade sembahyang juluq,
waktu ashar wah kari semendak ni” sambungnya. Akupun melongok ke
luar jendela mobil, mendongak ke atas memicingkan mata, matahari sudah
mulai condong ke barat, samar-samar kulihat teman-teman lainnya sedang
sholat, ada pula yang duduk sambil menghisap rokok di sebuah surau
kecil di pinggir jalan yang kami lewati.
“Ah, ternyata belum
nyampai juga” batinku sambil menggosok-gosok kedua belah mata ku.
Setelah menggeliatkan badan dan merentangkan tangan ke atas akupun
berusaha bangun menyusul suara Eka dan Jupri yang terdengar dari atas
mobil bercanda ria dengan Jenor. Tidak henti-hentinya aku menguap
sisa kantuk masih menggodaku untuk kembali merebahkan badan, tapi
suara disana tidak hentinya memanggil namaku, maklum kita harus
bergegas untuk melanjutkan perjalanan, kami hanya singgah untuk
melaksanakan kewajiban kami sebagai Muslim.
Dengan sisa kantuk
akupun berjalan malas keluar mobil langsung menuju sebuah pancuran
untuk mengambil air wudhu’. Kubasuh mukaku, airnya yang bening dan
dingin menyegarkan kembali badanku, kantuk yang masih menggelanyut
seakan sirna dibilas tetesan-tetesan air alami pegunungan.
Usai
sholat kamipun langsung tancap gas kembali melanjutkan perjalanan,
rona muka teman-teman kembali mengguratkan keceriaan, mungkin karena
perjalanan udah semakin dekat atau badan sudah kembali fit setelah
sejenak beristirahat tadi. Aku, Jupri , dan Jenor pindah ke atas kup
mobil, bergabung dengan rekan-rekan lainnya yang kembali bernyanyi
ria. Betul saja nampaknya persinggahan kami di sebuah surau tadi yang
belakangan saya tau desanya bernama Pedamekan merupakan persinggahan
terakhir kami karena tidak sampai satu jam perjalanan kamipun sudah
tiba di tempat tujuan. Meski demikian perjalanan kali ini cukup
menegangkan dan menciutkan nyali, betapa tidak jalan yang kami lalui
sempit, terjal penuh kelokan dan tanjakan pula, namun itu tidak
menjadi kendala yang berarti, karena nampaknya sopir yang kami pakai
sudah sangat berpengalaman dan faham betul medan yang kami lalui.
Beberapa kali kami harus menahan nafas dalam-dalam manakala kami
berpapasan dengan mobil dari arah berlawanan di tikungan, jurang dalam
di sisi kanan kami selalu siap mengintai kami, keganasan ombak laut
lepas Bali menjilat bibir pantai dengan rakusnya, menyapu apa saja
yang ada di bibir pantai, abrasi pantai terlihat di sana-sini,
menyiratkan betapa ganasnya laut lepas sebelah utara pulau ini.
Banyak
kisah yang selalu menarik untuk diceritakan dan sayang untuk
dilewatkan, salah satunya saat berada di sebuah tanjakan yang
orang-orang menyebutnya 'Jaran Kurus', tanjakan ini berada tepat
setelah berbelok dari jembatan Kokok Putik, Tingginya tanjakan dan
sempitnya badan jalan ditambah kelokan di sana-sini memaksa kami
menghela nafas panjang dan hampir semua rekan-rekan tidak
henti-hentinya bertasbih, memohon keselamatan atau untuk menenangkan
diri. Laju kendaraan merangsek dengan pelan dan hati-hati. Dasar
sungai Kokok Putik nampak bagaikan bentangan kantong plastik kecil
dari dalam mobil demikian pula mobil-mobil yang ada di bawah tanjakan
ini bak mobil-mobilan mainan anak-anak. Namun demikian lagi-lagi kami
mampu melewatinya. “Alhamdulillah…” suara kami terdengar hampir
bersamaan seolah melepas semua kekhawatiran yang menyelimuti setiba
kami di ujung tanjakan. Laju kendaraan kembali normal, gesit melewati
tikungan-tikungan kecil yang mungkin saja bagi sang sopir hal yang
lumrah, namun tetap saja terselip kekhawatiran bagi kami.
Tak
lama berselang sebuah plang papan nama berukuran cukup kecil kutemukan
terselip diantara rimbunnya pepohonan yang hampir menutupinya di sebuah
sekolah dasar. Kalau tidak jeli mungkin saja plang papan nama itu
terlewatkan begitu saja, namun aku yang sedari tadi memang mencari
informasi tentang daerah-daerah apa yang kami lewati tidak mau
melewatkan setiap jengkal daerah yang kami lewati dengan mencari sumber
informasi entah berupa papan nama yang ada di setiap bangunan yang
tersebar di sepanjang pinggir jalan yang kami lalui ataupun sekolah,
begitu juga masjid dan kantor-kantor, pokoknya setiap ada tulisan tidak
luput dari pandanganku, maklum saja baru kali ini saya menjejakkan kaki
ke lokasi ini. Walau cat pada tulisannya banyak mengelupas namun
tulisan "SDN Torean" masih bisa dibaca dengan jelas yang
menginformasikan bahwa kami sudah berada di Desa Torean. Betapa
senang hati ini, karena setelah terguncang dan terombang-ambing sekitar
3 jam lebih akhirnya sampai jua fikirku. Karena Desa Torean ini
menjadi tujuan akhir dari perjalanan kami hari ini sebelum besoknya
melanjutkan pendakian ke Rinjani.
Kini mobil yang kami tumpangi
berbelok arah ke kiri, menyusuri badan jalan sempit dan sedikit
menanjak, laju kendaraan semakin pelan dikarenakan kondisi jalan yang
kami lalui sangat rawan. Walau pemerintah sudah mengusahakan untuk
pengerasan jalan, namun jalan ini kembali ke bentuk aslinya, sisa-sisa
aspal tergerus air hujan hanya teronggok berserakan di pinggir jalan,
hampir tidak ada lagi aspal yang melekat pada badan jalan. tanahnya
sangat labil, lubang menganga di sana sini, bongkahan-bongkahan batu
besar menghadang laju kami. “Ya Allah ni pengorong ape kokok si”
gerutu sebagian isi kendaraan. "Aok kenangke jaq leq bale doang
taokne meni, ni jaq parah jamaqne" gerutu Saleh yang juga baru kali ini
ikut petualangan mendaki gunung Rinjani. "Lasingan mbe jaq taoqte ni"
sergah Sadri ikut meramaikan obrolan "Kan jaq gawah" lajutnya
menegaskan yang langsung diiringi gelak tawa teman-teman lainnya.
Sementara
itu beberapa kali sopir atret, memundurkan mobilnya untuk mencari
celah menghindari lubang agar ban mobil tidak terperosok kedalam
kubangan. Ruhi sang kenek pun tidak berdiam diri, dengan gesit
melompat turun dari mobil, mencari bongkahan-bongkahan batu yang cukup
besar untuk mengganjal ban agar mobil tidak mundur manakala mobil
tidak lagi kuat menerjang bongkahan batu yang menghadang saat berada
di tengah-tengah tanjakan. Entah untuk yang ke berapa kalinya mobil ini
kembali atret perlahan menuruni tanjakan, setelah mencoba kembali,
lagi-lagi mobil kembali perlahan menuju titik semula. "Sang ye bis
minyakne jage pak sopir" ucap Pak Mursidin setengah bergurau, "Ndek Pak
Guru (panggilan untuk Pak Mursidin, red) Ye lupak jauq gigi ke empatne
jage" timpal Sadri yang memang kami kenal paling suka membanyol.
Akhirnya
betapa pun sang sopir tampak begitu hebat setidaknya tiga jam
sebelumnya, kali ini ia pun terpaksa harus mengakui
ketidakberdayaannya. Setelah menghentikan kendaraannya dan mematikan
mesinnya, ia pun mengajak kami untuk bernegosiasi. “Sebenarnya saya
tidak tega membiarkan kalian harus melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki terlebih waktu hampir mulai gelap, tapi coba lihat…” ucap
sang sopir membuka perbincangan seraya menunjuk bongkahan batu besar
yang terpancang di tengah jalan puncak tanjakan. Kami pun turun dari
kendaraan melihat situasi yang digambarkan sang sopir, memang betul
sebongkah batu berukuran cukup besar berdiameter + 100 inci tergeletak
begitu saja di tengah-tengah badan jalan yang kami lewati. “Tidak
mungkin ada orang yang mau atau sekedar iseng meletakkan batu itu selain
kekuatan alam” ucapku setengah berbisik pada diri sendiri, terpesona
menyaksikan fenomena alam ini. "Taun saq Julu jaq ndekne araq bae batu
senikne" ucap Pak Syamsuddin yang menghampiriku. "O... menu jarine,
berarti dekne arak jalq laek" timpalku menegaskan ucapannya. "Aok angkak
ye ampok ke bengak, lain taun lain doang perubahanne" sambungnya lagi.
"Mun menu jaq berati telampak nane, maseh jaok jaq" tanyaku. Ye doang
angkak, guan ndekne siq jaok laloq jaq". balasnya. "Aok mun menu jaq,
sapin ate ape yaqte ongkat" ujarku menutup pembicaraan.
Tidak ada
jalur alternatif yang dapat kami tempuh karena di sisi kiri jalan
barisan pohon besar berjejer rapat seolah menjadi pagar alami jalan ini
di samping itu jika memaksa, lereng cukup curam di antara pephonan
tidak mungkin untuk dilalui demikian pula dinding-dinding terjal
lereng sebelah kanan jalan tidak mungkin kami tembus. "Nane jaq lampak
tepade kanak" ucap Kak Soha yang baru saja turun dari kendaraan setelah
ikut menyaksikan suasana. "Ane pade batur, ntun keq, kande pade
nyagroq doang ten, wah nane jaq ngkahte bemontor, tepade lampaq
karingan" perintah Kak Irjan dari luar mobil. Kami pun yang memang
sudah penat setelah 3 jam hanya duduk saja turun dari mobil, ikut
menyaksikan suasana. Setelah melihat fakta yang ada kami pun legowo dan
sepakat untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
"Masih
jaoq ke angkak Kak Ijan" tanya Eka pada Kak Irjan "Ado kari semendak
siq adiq" ucap Pak Syam yang berdiri di depanku malah mejawab
pertanyaan Eka. "O..ooo" ucap Eka diikuti anggukan pelan.
Pak
Syam memerintahkan kami membantu kenek menurunkan barang-barang yang
diikat di atas kup mobil, Akupun, bersama Muhamad segera mengikuti
perintahnya. Setelah memastikan tidak ada satupun yang tertinggal,
kamipun membuat kesepakatan dengan Pak sopir untuk dijemput pada hari
Kamis sore ditempat yang sama seraya memberikan uang muka sebagai
jaminan untuk dijemput dengan kesepakatan apabila lewat dari hari
itu, maka kami akan mencari tumpangan lain.
Seiring mobil yang
kami tumpangi berbalik arah, kami melanjutkan perjalanan,
barang-barang yang kami bawa kami angkut sendiri-sendiri.
Saya,
Jenor dan Eka memang sedari rumah telah menggabungkan barang-barang
perbekalan dalam satu tas keril yang berukuran besar untuk memudahkan
perjalanan, sehingga telah menjadi kesepakatan kami akan pikul secara
bergiliran.
Aku yang mendapat giliran pertama segera melilitkan
keril ke pundak, ukurannya yang besar seolah menelan tubuhku yang
mungil, sedangkan perbekalan lainnya seperti air mineral botolan, dan
beberapa barang lainnya yang tidak muat dalam tas dibawa oleh mereka
berdua. Kami pun mulai berjalan sambil menghindari lubang-lubang kecil
dan bebatuan yang terhampar di sepanjang jalan.
Beratnya bawaan
membuat langkahku semakin pelan, jarak tempuh kurang lebih 1 kilo
tidak seperti yang di ungkapkan kak Irjan seakan lebih panjang.
Beberapa kali kami berhenti hanya sekedar untuk memperbaiki tali sepatu
yang lepas atau memindah posisi ransel, atau bahkan minum. Bilamana
sudah tidak kuat lagi, maka keril akan berpindah ke Jenor, atau Jupri
yang kali ini membawa sendiri pakaian dan perbekalannya menggunakan
tas kecil. Hanya sesekali Eka terpaksa harus turun tangan juga
merasakan beratnya beban tas keril.
Kaki sudah tidak kompromi
lagi mengayunkan langkah, air penambah stamina yang kami minum pun
seolah tidak bereaksi tidak seperti yang digambarkan iklan-iklan yang
gencar mempromosikannya, meski demikian cuaca dingin yang menyambut
seolah menghapus peluh dan keringat yang seharusnya mengucur deras.
Bersama Pak Mursidin, senior kami dan Kak Soha yang baru saja melewati
tanjakan yang lumayan menguras tenaga, mengikuti kami berhenti
sejenak, duduk menyandar di bawah pohon sambil menikmati udara sejuk
pegunungan seraya meluruskan kaki, mengurut bagian-bagian yang terasa
kaku. “Itu ada orang lewat, coba tanya tinggal seberapa jauh kita
akan sampai!” ucap Muhamad tiba-tiba setengah memberi perintah,
seraya menutup botol Remason, obat oles penghilang nyeri. Aku pun
bangkit mendekati lelaki setengah baya yang kebetulan melintas di
jalan ini. Pundaknya sarat dengan buah nangka segar yang mungkin
dipetik di ladangnya. “Pak te nyodoq beketuan sekali, masih jauq ke
balen Inaq Her” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Orang itupun
menghentikan langkahnya tanpa melepaskan bebannya. “Oh, kari semendaq
gati, adik” jawabnya singkat, tidak ada sedikitpun raut capek di
wajahnya meski tubuhnya yang kurus dan tanpa sedikitpun mengenakan
alas kaki terhimpit barang bawaannya. “Oh makasih pak” ucapku sambil
menjulurkan tangan untuk bersalaman.
Setelah stamina agak pulih
kamipun melanjutkan perjalanan, lama berjalan dehidrasi kembali
menyapa kami namun apa yang kami tuju tidak kunjung tiba, sedangkan
dari belang nampak Budin, Cilung dan Nas menyusul kami, “Iye
ngakalang dengan toak nukne” gerutuku mengingat perkataan orang tua
tempat kami bertanya tadi. “Iye masak wah kejaok lainte lampak
ndekmante bae sampe” Kak Soha yang sedari tadi hanya terdiam
menimpali. “Aok, kan jaq kari semendaq unine. Kengonekte lampak
ndeqte man bae sampe” nada yang sama juga dikeluhkan Nas dengan nafas
tersengal-sengal meski baru saja bergabung.
Selorohan
ceplas-ceplos kedua orang ini terus menjadi bahan perbincangan kami
sepanjang perjalanan manakala rasa capek kembali menyerang, hingga
tak terasa akhirnya kami pun tiba di ujung jalan ini.
Sadri dan
Rudin teman kami yang lainnya baru saja keluar dari sebuah masjid
kecil desa ini, rona wajahnya nampak segar. “Langsung wah ojok kiri
tene, tie leq bale saq paling beleq tiakne” sambut mereka sambil
menunjuk rumah sederhana yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Perempuan paruh baya berusia sekitar 35-40 tahun dengan ramah
menyambut kedatangan kami. “Silaq niki langsung tipaqde, tokolang wah
barang-barangde leq drike” sambutnya penuh ketulusan sambil mengantar
kami ke sebuah ruangan besar dimana sudah menumpuk barang-barang
bawaan teman kami yang lainnya.
“Terima kasih, nggeh silaq bae
de lanjutang pegaweande, bareh kami periri ye” ujar kami, “Silaq menu
jaq, ndaq sungakn-sungkan, anggep bale mesaq wah” tutupnya seraya
meninggalkan kami menuju dapur.
Setelah melepas semua beban yang
melekat di pundak, tanpa menghiraukan capek, kamipun keluar menuju
sebuah beranda di depan rumah ini, dimana rekan-rekan lainnya sudah
berkumpul asyik bercakap-cakap membahas perjalanan yang baru saja kami
lewati diselingi canda-canda ringan.
Sambil menikmati kopi
hangat yang dihidangkan perempuan sang empunya rumah, yang tak lain
ternyata bernama Inaq Her, merupakan salah satu kerabat kami dari
silsilah ibu saya, yang kini bermukim di desa ini. Ku tuang sendiri
kopi racikan diisi pada sebuah nako plastik berwarna hijau tua. Ku
seruput perlahan sambil menikmati citarasanya yang pas sekali untuk
menghalau lelah, hangatnya mampu mengusir cuaca sejuk yang mulai
terasa dingin. Temen-temen lain di belakang pun berdatangan hingga
semua personil sudah lengkap sembari menanti malam menjelang.
Kabut
tebal berarak turun menyelimuti desa paling ujung ini, semilir angin
gunung menambah dingin cuaca, gelap malam pun datang mengganti
matahari yang terjaga sepanjang siang hari tadi, pekat, tidak ada
listrik penerang malam, hanya lampu templek dan lampu petromak yang
digantung di atas langit-langit berugak setidaknya menerangi malam yang
semakin pekat. Dinginnya cuaca membuatku malas melangkahkan kaki
bahkan sekedar untuk sholat pun, aku harus cepat-cepat mengambil air
wudhu’. Setelah sholat Magrib kamipun berbincang sejenak menunggu
masuknya waktu isya’ agar segera terbebas dari kewajiban kami sebagai
seorang Muslim.
Mungkin karena lelah seharian berjalan setelah
sholat isya’ kamipun beranjak menuju peristirahatan sambil menghimpun
tenaga sebagai bekal perjalanan esok pagi. Sebagian ada yang ke
berugak di depan rumah, sebagian lainnya tetap tinggal di ruang
keluarga rumah tempat dimana kami ditampung untuk beristirahat, hawa
dingin khas pegunungan yang menyapa kami sejak malam beranjak sungguh
menusuk tulang. Padahal tidak ada bagian badan ini yang kubiarkan
terbuka. Mulai dari ujung kepala ditutupi vakani, topi sejenis topeng
yang sering digunakan para perampok hingga terlihat hanya mata,
sampai ujung kaki terbungkus kaos kaki ditambah jaket dan selimut
tidak juga mampu menghangatkan badan. Namun penatnya badan berkelahi
mengalahkan waktu. Dengan alas seadanya kami pun larut dalam pelukan
malam sepi nan pekat di kaki perbukitan gunung Torean.
Hari Kedua
Suara
azan lamat-lamat terdengar dari seberang rumah, membangunkan hampir
seisi rumah bedek berlantai tanah itu menandakan bahwa kami harus
berkemas dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Namun kulihat jam
yang terpajang di atas pintu menunjukkan pukul 02.45 pagi, akupun
sempat ragu apakah jam dinding itu mati, namun setelah bertanya pada
Amaq Her suami sang empunya rumah, ternyata memang benar jam dua lebih
empat puluh lima. Kami pun menyadari bahwa kami tidak sendirian
bertamu di desa ini, rupanya ada rombongan pendaki lain yang menginap
di seberang rumah tempat kami ditampung yang bertujuan sama seperti
kami. Suara azan yang diperdengarkan tadi hanya sebagai isyarat untuk
melakukan sholat sunnah malam. “Uh…am” mulutku menganga lebar menguap
mengusir kantuk, “Ternyata belum subuh” gerutuku sambil memperbaiki
selimut.
Aku pun kembali melanjutkan tidurku. Namun dinginnya
malam ini sungguh-sungguh menderaku. Kami yang tidak biasa dengan
cuaca seperti ini sangat merasa menderita, tidurpun tidak bisa
nyenyak, sesekali suara hewan malam di seberang terdengar sungguh
menyeramkan. Berkali-kali aku terjaga hanya untuk memperbaiki selimut,
namun hawa dingin ini terlalu perkasa untuk dikalahkan.
Suara
jam beker berdering cukup keras kembali membangunkan kami. Pak
Syamsuddin yang lebih dahulu terjaga membangunkan kami. “Ane sai saq
mele pada nyampah pade nyampah juluq, atau saq mele kelak mie beleang
ite api leq pawon juluq, mae tearuan joq masjid trus pade sembahyang”,
ucapnya seraya membangunkan kami. “Kari-kari setenge jam jaq araqne
waktu” lanjutnya.
Akupun masih terlalu malas untuk bangun,
sementara yang lainnya terdengar sibuk dengan aktivitasnya
masing-masing, ada yang kebagian menanak nasi, ada pula yang memasak
air. Namun kebanyakan hanya sibuk ngobrol tanpa mau menanggalkan
selimutnya. Tidak banyak yang masih asyik berbaring meski mata sudah
tidak bisa lagi terpejam seperti aku misalnya.
“Ah… akhirnya udah
waktu subuh” ucapku sambil terbangun menyingkirkan selimut, saat
mendengar suara azan yang kembali terdengar dengan jelas dari arah
masjid. “Ayo bangun…, bangun, bangun semua, Ayo, kita harus berkemas
kita sholat dulu baru kita jalan” pintaku pada teman-teman yang yang
masih malas melepaskan selimutnya. Tanganku sibuk merogoh kantong tas
keril dimana kusimpan roti kering. "Nih pade bagi, sai saq ndek mele
nyampah kadu mie araq roti ni" ucapku setelah mendapatkan apa yang
kucari.
Setelah makan-makan, kami pun langsung mengemas semua
bawaan dan peralatan yang dibawa. Usai makan, ngopi sembari menunggu
giliran sholat subuh.
Akhirnya setelah berpamitan pada tuan rumah
sembari memberi bingkisan ala kadarnya sebagai ucapan terima kasih,
kami pun melanjutkan perjalanan membelah pagi buta nan sunyi. Berbekal
senter dan api obor yang kami buat dari potongan bambu dan minyak
tanah yang diberi serabut kelapa kering sebagai sumbunya kamipun
dengan tekad bulat menyusuri jalan setapak yang dibuat warga sekitar
menuju ladang-ladang mereka yang banyak tersebar di kaki perbukitan
ini. Hawa dingin yang seakan tidak mau lenyap dari kami terus
merasuki, sungguh menjadi hambatan dan tantangan tersendiri dalam
perjalananan ini. Rimbunnya pepohonan dan lebatnya tanaman jagung
diselingi pohon gandum tumbuh liar bersama ilalang, menghalangi jarak
pandang kami. Untuk mengetahui posisi teman-teman, kami pun memanggil
menggunakan kode mirip suara monyet, sesekali mereka yang ada di depan
bersorak bersahutan memecah keheningan pagi nan buta di tengah
ladang, kami pun menyambutnya dengan cara yang sama. Perjalanan
panjang dan melelahkan ditambah jarak pandang yang pendek sungguh
menguras tenaga, yang tua sebentar-bentar berhenti, istirahat sejenak
hanya untuk memulihkan tenaga, sedangkan yang muda mengandalkan
kekuatan tenaganya melaju kencang tanpa memperdulikan rombongan yang
tua. Tak terasa sudah hampir setengah jam lebih kami berjalan
menyusur mengitari ladang membuat anggota kami pecah menjadi 2
kelompok. Kelompok 1 yang didominasi anak-anak muda sudah tidak dapat
lagi kami dengar suaranya, entah sudah sampai dimana mereka.
Sedangkan kelompok 2 yang kebanyakan dari senior-senior masih
tertatih-tatih melangkahkan kaki.
Saya sendiri bersama Jupri
sebenarnya berada diantara kedua kelompok itu, tiba di persimpangan
membuat kami kebingungan memilih jalur mana yang akan kami tempuh,
untuk menunggu rombongan yang tua jaraknya terlalu jauh, sedangkan
yang muda sudah tidak kami ketahui lagi jejaknya. Akhirnya kamipun
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan memilih jalur lurus
yang memang lebih besar jalurnya, tanpa berbelok ke kiri. Ternyata
jalur yang kami pilih jalannya menanjak, kami pun makin kebingungan
karena jalan yang kami tempuh kembali bercabang, lagi-lagi kami harus
memilih, sempat ragu untuk melanjutkan dan ingin balik ke titik
semula, namun setelah berembuk kamipun sepakat untuk melanjutkan
perjalanan dengan memilih jalur kiri. Semak-semak yang tumbuh subur di
kiri-kanan jalan menutup sebagian alur yang kami lewati, cukup
membingungkan. Namun dengan tekad bulat kami pun terus melangkah. Tidak
banyak yang mampu kami kisahkan dalam kondisi jalan gelap gulita
ini, hanya rasa was-was yang terus menghinggapi.
Seiring
berjalannya waktu pagipun menyambut, jalur setapak yang kami lalui
berangsur-angsur mulai terlihat dengan jelas membuat kami semakin yakin
untuk melanjutkan perjalanan. Wajah mentaripun tampak ceria perlahan
menampakkan diri di balik bukit yang berjejer rapi di sisi kiri kami,
suara-suara burung dengan riang menyambut pagi nan ceria, terbang dan
hinggap dari satu dahan ke ranting lainnya, bernyanyi riang
bersahut-sahutan. Sesekali suara keras hewan-hewan yang bergelantungan
ikut meramaikan suasana pagi ini.
Setelah beristirahat sejenak
sembari meneguk minuman pendongkrak stamina, Saya dan Jupri pun
melanjutkan perjalanan, jaket pun sudah saya tanggalkan dimasukkan
dalam tas ransel biar memudahkan gerak dan langkah menyelip menghindari
daun rumput gajah yang tumbuh subur di sepanjang perjalanan.
Dan
buah dari keyakinan kami berujung manis setelah mendengar ocehan
rekan-rekan lain yang sudah menunggu di sebuah rumah-rumahan yang
dibikin oleh empunya ladang yang kami singgahi, sambil ngemil makan
riangan. Setelah mengisi air sembari membasahi badan yang dibanjiri
keringat yang mulai bercucuran di penampungan saluran yang mengarah ke
perkampungan saya pun menyusul teman-teman untuk melanjutkan
perjalanan tanpa menunggu para senior yang tidak kunjung tiba.
Perjalanan
terasa lebih bersemangat, berkumpul kembali bersama teman-teman
sebaya tidak saja memberi gairah untuk mengalahkan hambatan dan
tantangan dalam perjalanan ini, canda tawa dan bincang-bincang ringan
diselingi cerita-cerita lucu seakan menjadi penyemangat melebihi
minuman pendongkrak stamina yang hanya akan bereaksi manakala waktu
direguk saja.
Tak terasa setelah turun-naik dari satu ladang ke
bukit lainnya menuju ladang selanjutnya, membelah sisi lereng dan
lembah-lembah yang ada diantara ladang-ladang, akhirnya kami pun tiba
di sebuah bukit yang lumayan tinggi, pohon-pohon tumbuh rapat di
sepanjang bukit, tidak lagi tampak tanaman-tanaman yang sengaja
dipelihara para petani ladang, yang ada hanya pohon-pohon hutan
belantara berukuran sangat besar, diselingi semak dan pepohonan liar
yang tumbuh tak beraturan di atas gundukan lereng dan lembah bukit
ini. Kali ini kami harus mengencangkan ikat pinggang karena meski hanya
satu bukit namun ukurannya yang besar dan cukup tinggi memaksa kami
harus berjalan mendaki.
Tanjakan yang terjal ditambah
kerikil-kerikil tajam yang berserakan di sepanjang jalan membuat kami
harus jeli memilih tempat memijakkan kaki jika tidak ingin terpeleset,
karena jika salah berpijak jalanan akan menjadi licin oleh batu-batu
kerikil ini.
Tak kuat menopang tubuh, saya pun berhenti sejenak,
kusandarkan ransel pada sebongkah batu berukuran cukup besar,
permukaannya yang pipih dan rata seolah membentuknya menjadi meja yang
sengaja disiapkan bukit ini untuk memanjakan para pendaki yang
melaluinya. Setelah mengeluarkan sebilah pisau dari dalam ransel lalu
kuletakkan tasku diatas batu yang tempatku berhenti, setelah
memastikan posisinya tidak akan jatuh ke dalam jurang, kuambil sebatang
rokok dari dalam jaketku, kuamati pohon-pohon kecil yang tumbuh
disisi jalanku sambil menghisap rokok gudang garam filter yang telah
kusulut, ah… nikmatnya “Nah yang ini kayaknya pas buat dijadikan
tongkat” ucapku, ngomong sendirian karena yang lain sudah lebih dulu
meninggalku. Letak pohon itu memang agak sedikit sulit, harus menuruni
gundukan kecil di sisi kanan, setelah batang pohon kupegang, dengan
beberapa kali tebas dan memotong bagian ujungnya kemudian sedikit
merapikan bagian bawahnya akupun kembali naik ke tempat tasku
diletakkan, yah sebatang tongkat sekiranya cukup membantu untuk
menopang tubuhku agar bisa menaklukan tanjakan yang memang cukup terjal
ini.
Tiba di atas, Kak Soha bersama Amaq Har dan Rudin pun
menyusul langkahku, “La melente endah, cobaq bauang ite juluq ane” ucap
Amaq Har dengan nafas tersengal-sengal setibanya di tempatku. “Aku
endah menu jak” timpal Kak Soha yang sedari tadi hanya memegangi
dadanya dengan ucapan terbata-bata. “Side endah Udin, sekalian”
tanyaku pada Rudin yang sudah terbaring di atas batu pipih itu sambil
menyeka keringat yang mengucur deras dari badannya. Kulihat dia hanya
membuat anggukan kecil tanpa bersuar dan kembali merebahkan tubuhnya.
Akupun kembali menuruni tempat aku mengambil batang pohon yang tadi,
meninggalkan mereka yang beristirahat menghilangkan lelah.
“Uah
ni, pileq wah pade, mbe-mbe saq kanggokde” ucapku setibanya di hadapan
mereka yang sedang menikmati roti kering yang dibawanya. “Aok lepas
ye wah tene, nane juluq, ane ni kaken juluq araq poteng endah jauqke
ni” ucap Amaq Har menawarkan ku perbekalan yang dibawanya untuk
bergabung.
“Aok mae, terima kasih" ucapku sambil meraih kresek
hitam yang disodorkannya padaku, "Alhamdulillah… munte wah pade ganjel
tian jaq, kan araq sangunte tinjal bukit setiakne” ucapku pada mereka,
“Mae te pade lanjutangye, menu jaq” pintaku kepada yang mereka.
Teriknya
mentari untungnya terhalang rimbunnya pepohonan di bukit yang memang
masih jarang dijamah manusia ini, diselingi banyolan-banyolan ringan
dan suara monyet-monyet yang bergelantungan ke sana ke mari nun jauh
di pucuk pahon-pohon besar, akhirnya kamipun tiba di pos 2. Terletak
di tengah-tengah bukit ini, itu artinya pos 1 semakin dekat tinggal
terus mendaki puncak bukit lalu menuruninya. Demikian yang diucapkan
“Pak Mursidin yang tiba-tiba saja sudah bergabung dengan kami bersama
Pak Syamsuddin dan Saleh beberapa menit yang lalu. Merasa masih
segar dan sanggup untuk lanjut kamipun meneruskan perjalanan tanpa
singgah. Dugaan kami pun tidak sesuai dengan yang kami pikirkan,
terjalnya perjalanan dan berliku ditambah sedikit licin membuat
perjalanan sangat melelahkan dan cukup menguras tenaga, namun Pak
Syam yang memang sudah sangat berpengalaman pada pendakian ini tidak
hentinya menyemangati kami. “Lanjut aja tinggal sedikit koq” ucapnya
penuh semangat.
Langit nampak begitu dekat mengintip dari balik
pucuk dedaunan, sinar mentari menembus dari celah-celah batang dan
ranting-ranting pohon, membentuk bulatan-bulatan kecil menerpa tanah,
seakan menunggu kami untuk meraihnya manakala puncak bukit sudah
terlihat dengan jelas dan tinggal beberapa langkah saja. “Andaikan aku
bawa kamera, tentu aku akan mengabadikan pemandangan yang menakjubkan
ini” batinku setelah menyadari kebodohanku tidak membawa alat potret
untuk mengabadikan gambar itu.
Menuruni bukit perjalanan semakin
sulit setelah tiba di sebuah jalan yang terputus akibat longsor,
akhirnya harus melewati titian kecil yang menghubungkan jalur yang akan
kami lalui, Titianpun hanya terbuat dari dua bilah bambu dan satu
batang pohon yang dirajut dengan akar-akaran sejenis tali yang memang
banyak tersedia di hutan bukit ini. Entah siapa yang membuatnya,
karena jalur ini memang salah satu jalur favorit bagi orang-orang yang
mencitai petualangan. Keseimbangan badan harus dijaga jika tidak
ingin terperosok ke dasar jurang. Jalan pun harus ekstra hati-hati,
sambil berpegangan kuat pada akar-akar pohon yang menjutai seolah
memang sudah dipersiapkan untuk membantu kami menaklukkan titian ini.
Selepas
melewati titian, tidak ada lagi hambatan yang berarti yang kami
temukan, hingga akhirnya hati semakin riang setelah tiba di sebuah
persimpangan persis yang dikatakan Pak Syam. Suara kelakar diantara
gemercik air semakin jelas terdengar, membuatku semakin semangat
menapakkan kaki memacu langkahku. Ya sebuah pancuran kecil terbuat dari
bilah bambu yang di pecah dua mengalirkan air yang sangat jernih, hawa
dinginnya pun mengalahkan terik mentari yang mulai bergeser ke arah
barat.
"Alhamdulillah... ya Allah, akhirnya kita sampai juga"
ucapku sambil menoleh ke arah Rudin dan Kak Soha yang tepat berada di
belakangku, sedangkan Pak Syam dan Pak Mursidin entahlah sejak di
persimpangan tadi kami terpisah.
"E... wah pada datengme, ite jaq
wah pendaqte mentelah" ucap Jupri yang datang dari arah berugak
seraya membawa panci hendak mengisi air. "Mae aku juluq, ke isiq aiq
doang, kekadu kelaq mie ni" ucapnya mendahului langkahku menuju
pancuran.
"Wah ane, pade mandik pepa juluq ten ne" ucapnya seraya
meninggalkan kami. "Aok" jawabku singkat ditambah anggukan seraya
bergegas menuju pancuran, kubasuh mukaku, berharap semua penat dan
letih segera hilang larut bersama air. Airnya yang bening menggodaku
untuk meminumnya, haus dan dahaga ku pun hilang oleh segarnya air
pegunungan yang sama sekali belum terkontaminasi oleh benda-benda
modern.
"Wah angkaq mae ite karingan. Kengonekme makaq-makaq jaq"
sergah Kaq Soha yang sedari tadi berdiri di belakangku bersama Rudin
menunggu giliran. "I..iya, maaf, lasingan kemaiq idapne" elak ku. "Mun
me wah jaq, jauq bae tas-tas tiakne sekalian ojok berugak" pinta Rudin
yang terlihat tidak sabar menunggu giliran.
Karena masih merasa
letih aku pun memanggil Jenor dan Saep yang kulihat sedang menikmati
makanan ringan. "Enor...!, Aep...!" panggilku berteriak pada mereka.
"Tulung ite juluq sekali mae" ucapku kemudian. Merasa dirinya
dipanggil mereka pun bergegas menghampiri. Dan kami pun membawa tas-tas
itu ke berugak yang ada di pos 1, meninggalkan mereka yang sedang
menikmati segarnya air pancuran itu. Pak Syam dan Pak Mursidin pun
kulihat baru saja bergabung bersama mereka.
Rupanya kami tidak
sendirian beristirahat di pos ini, ada kelompok lain yang sudah lebih
dulu beristirahat di sini, untungnya mereka nampak sudah
berkemas-kemas mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan lagi,
Suasana di pos semakin rame karena kelompok lainnya baru saja datang,
"Saya kira mereka tidak datang dari arah Torean bersama kami". batinku
bertanya pada diri sendiri. "Mbe langan ne dateng saq tiaqne jaq,
perasaanke dekte wah bareng kan leq Torean?" tanyaku pada Nas yang
duduk di sampingku. "Nah, munte ndek wah bareng jaq, badekte Sambik
Elen, sih" sahutnya memperkirakan "Aok ye wah" ujar Kak Irjan yang
ikut nimbrung dalam percakapan kami, "O... iya wah" sambung Nas
meyakinkan sambil menghisap rokok kreteknya. Ada sekitar belasan orang
dalam kelompok ini membuat suasana berugak semakin sesak, terpaksa
kami harus berbagi tempat dengan mereka.
Eka pun tidak mau
berdiam diri dengan cekatan memperlihatkan sisi kewanitaannya menanak
nasi dan merebus air yang akan dijadikan sebagai air untuk menyajikan
mie instan yang sudah kami persiapkan sesuai selera masing-masing. Ada
yang mengeluarkan mie goreng, ada juga mie rebus dengan cita rasa
soto. Aku pun mengeluarkan mie instant rebus rasa ayam bawang
kesukaanku yang dalam pendakian ini saya persiapkan satu dus.
Usai
sholat dan makan-makan kami pun berkemas mempersiapkan diri untuk
menyusul kelompok sebelumnya yang mungkin saja belum terlalu jauh di
depan kami.
Memberi ruang kepada kelompok yang baru saja sampai
agar lebih leluasa beristirahat, karena setelah makan dan solat kami
pun sudah kembali merasa lebih kuat untuk melanjutkan perjalanan.
Belakangan setelah beramah-tamah kami pun tau bahwa kelompok ini
berasal dari Kopang, Lombok Tengah tanpa memperinci alamatnya.
Meninggalkan
pos 1, perjalanan menghadapi tantangan yang tak kalah serunya, sama
seperti kondisi di pos 2 kali ini pun langsung harus mendaki bukit
terjal, untungnya tenaga belum banyak terkuras sehingga terasa lebih
mudah menaklukkannya walau sebenarnya sama aja.
Satu moment
penting yang tak akan pernah saya lupakan, mungkin juga bagi
teman-teman lainnya dimana saat menjejakkan kaki di tempat batu
berukuran raksasa terpancang kokoh di tengah-tengah bukit ini, berada di
sisi kiri jalan. Saya tidak tahu pasti diameternya, mungkin sekitar 4
atau 5 m persegi dengan tinggi yang sama dengan lebarnya. Kami pun
tidak mau melewatkan begitu saja moment ini, singgah sejenak hanya
sekedar untuk menikmati dan melepas takjub akan kuasa Sang Pencipta.
Kaki
pun kembali harus melangkah, perjalanan masih panjang dan akan lebih
sulit, sebagaimana yang diucapkan Sadri. Tentu saja kami percaya semua
ucapannya, karena dia sudah seringkali ke sini bahkan saban tahun
hampir tidak pernah absen.
Kali ini pun perjalanan masih bisa
dibilang ringan jika dibandingkan dengan trek-trek sebelumnya, masih
bisa bernyanyi pula, pepohonan dan ilalang yang tinggi masih bisa
menghalau trik mentari sehingga tidak langsung menerpa badan. Udara
yang sejuk juga sangat membantu mengurangi kucuran keringat ditambah
pemandangan-pemandangan luar biasa yang tersaji sepanjang perjalanan,
semisal air terjun Mayung Putik yang berada di sela-sela dua bukit nun
jauh di gunung seberang masih jelas terlihat aliran airnya bermuara
langsung ke sungai Peropok, sementara di dasar jurang kilatan aliran
sungai Peropok yang tertimpa sinar mentari menyilaukan mata.
Perjalanan
kami pun telah tiba di sebuah sungai kering yang mungkin hanya akan
berair manakala musim hujan dan alirannya langsung mengarah ke sungai
Propok yang tepat berada di bawah lintasan kami. Kaki berusaha mencari
pijakan yang tepat di antara batu-batu cadas yang berukuran besar dan
licin. Harus menyeberangi sungai dengan melakukan lompatan yang
lumayan cukup panjang. Palingan kalo jatuh gak akan terlalu beresiko
sih karena dasar sungainya juga gak terlalu dalam dari batu yang kami
lompati. Atau kalau tidak mau repot tinggal mencari jalur yang nyaman
untuk mencapai dasar sungai, lalu kembali menaiki jalur yang ada dengan
sedikit bergelantungan mengandalkan akar-akar rumput.
Rupanya
lompatan kami melewati sungai itu merupakan lompatan kami menuju
rintangan selanjutnya yang lebih berat. Tanjakan curam kembali
menghadang rimbun dan lebatnya pepohonan pun sudah tidak lagi melindungi
kami dari sengatan sinar mentari yang semakin terasa seolah tepat di
atas kepala, yang ada hanya rumput pegunungan yang cukup tinggi, cukup
bisa memang dijadikan tempat berteduh namun sayangnya harus
merebahkan badan terlebih dahulu. Keringat mengucur deras, meski angin
sejuk berhembus spoi-spoi.
Dengan kemiringan bukit sekitar 60o
kami berusaha melewatinya, tenaga terkuras, sebentar-bentar berhenti
sambil menoleh ke sisi kiri yang langsung berhadapan dengan jurang
yang sangat curam di mana arus sungai Propok mengalir deras di bawah
sana sangat jelas terdengar meski kami berada mungkin sekitar 200
hingga 300 meter di atasnya. Sementara di sisi kanan, gunung Torean
berdiri kokoh, puncaknya menjulang ke angkasa seolah hendak mencakar
langit yang tampak begitu terang hari ini. "Allahuakbar, hah" teriakku
melepas lelah dan nafas tersengal yang membuncah dalam dada. "Cobaq
sekediq juluq aik tiakne Andor!" pintaku pada Jupri ('Andor' berasal
dari kata Mandor adalah panggilan beken untuk Jupri di kampung kami)
setelah melihatnya meminum air berwarna kuning yang terisi dalam botol
Aqua. "Aik Ape jaq setiakne?" tanya Eka padaku selesai mereguknya
"Ekstra Joss" jawabku sembari menyodorkannya pada Jenor.
Seteguk
air yang kuminum cukup mampu memulihkan stamina yang mulai keteteran,
sambil merangkak pelan, kami terus merangsek membelah bukit menuju
puncaknya. Entah sudah berapa kali kami istirahat, kondisi fisik yang
drop membuat ingatanku turut jeblok. Memulai langkah selanjutnya, Eka
tampak begitu semangat menyongsong puncak bukit yang sudah terlihat.
Langkahnya lebih ringan melaju meninggalkan kami yang masih sibuq
memperbaiki tali tas yang terbuka. "Angkak pade becatan, lasingan,
cobaq me pade gitaq ye ni" ucapnya dari atas bukit. Kami pun menjadi
semangat mengikuti jejaknya.
Sesampai di puncak, melihat turunan
yang menghubungkan ke bukit selanjutnya tidak terlalu curam membuat
kami semangat menuju bukit selanjutnya. Seolah tanpa beban, dengan
berlari kecil, langkah kami tak terasa melintasi kedua sisi bukit ini.
Aku hanya heran sendiri setelah melihat lebih detail kedua bukit yang
sudah kami taklukkan dan lintasan-lintasan yang sudah kami lalui.
Subhanallah.... ya karim. Alhamdulillah.... ya Allah ya Robbi. "Kok
bisa ya saya sampai di sini" batinku sambil tak lepas mengucap kalimat
tasbih.
Tak lama berselang iring-iringan rombongan orang yang
turun dari danau muncul di balik bukit menghentikan langkah kami karena
harus berbagi jalan dengan mereka, kusandarkan badanku ke dinding
gunung Torean. "Assalamu'alaikum" tegur mereka, sambil menjulurkan
tangan, "Wa'alaikum Salam" jawab kami hampir berbarengan seraya
menyambut uluran tangan mereka sambil bersalam-salaman.
Setelah
rombongan itu berlalu, kamipun langsung tancap gas menyusul teman-teman
lainnya. Dan tak lama selepas itu akhirnya kami pun bisa menyusul
mereka. Rupanya mereka sedang asyik bersenda gurau seraya merebahkan
badan di antara batu-batu cadas. "Ane batur, saq mele bedo'a, pade
pasang niat juluq tene leq pelawangan" ucap Kak Irjan menjelaskan
seraya menunjukkan posisi pelawangan. "Masak pelawangan datengte ni wah
Kak Ijan" sergahku, "Kenangke jaqne bagus aloq aran pelawangan
senukne" lanjutku sedikit heran.
Rupanya pelawangan ini tidak
seperti yang saya bayangkan, tadinya saya fikir akan ada gapura atau
sejenisnya di tempat ini. Namun nyatanya yang ada hanya Sebongkah batu
besar, yang mirip seperti pintu, dimana bongkahan besar batu itu
menjorok ke tebing sementara lereng gunung Torean menjulang tinggi di
sisi lainnya, sehingga jika baik yang akan masuk maupun keluar harus
menyelip melewati batu ini.
"Aok ane menu jaq pade, maeh te pade
berniat adengne mulus dait selamet kelampante", pinta Eka pada yang
lainnya agar bangkit dari duduknya.
"Bukak Tas de
angkak Uru, adengde molah, nane bait ye" pinta Jenor pada guru Mursidin
agar melepaskan tas ranselnya untuk bisa melewati pelawangan ini.
Karena walau hanya jaraknya beberapa meter saja, namun kondisinya
sangat mengerikan terlebih bagi orang yang pobia ketinggian.
Lagi
kali ini kerjasama tim sangat diperlukan untuk bisa melewati pelawangan
ini, terlebih dengan menenteng tas ransel yang besar tentu akan
menjadi sangat sulit untuk bisa menembus jalan ini.
Setelah
mengumpulkan segenap keberanianku pada saat giliranku tiba, akupun
mengawali langkahku dengan tidak lupa membaca basmalah. Tanganku sibuk
mencari pegangan yang kuat di celah-celah bebatuan, setelah merasa
yakin bahwa batu tempatku berpegangan akan kuat menopang tubuhku,
akupun membalikkan badan dan segera bergelantungan sembari kakiku sibuk
meraba-raba pijakan yang tepat, setelahnya melompat ke sisi bukit,
untuk berjalanpun tidak bisa langsung menghadap ke depan karena jalanan
setapak inipun hampir habis tergerus air hujan, saya harus bersandar
pada dinding lereng, sembari mengeser kaki satu-persatu, dasar jurang
sangat jelas terlihat dari sana, tidak ada pepohonan di antara
tebing-tebing ini, malah yang ada hanya bebatuan dan rumput saja. Nyali
siapapun pasti akan ciut jika melihat situasi ini, Namun berbekal
cerita akan ketangguhan kak Irjan saat menuruni lereng ini hanya
sekedar untuk mengambil tasnya yang terjatuh sungguh menginspirasiku
untuk bisa menaklukkan setiap tantangan dan kendala yang ada.
"Alhamdulillah" ucapkan seraya menghela napas panjang sesampaiku di ujung titik rawan pelawangan ini.
"Nteh menu jak tepade lanjut lamune wah ndekne arak maseh leq Mudi" ucap kak Irjan memberi komando.
Kamipun kembali melanjutkan perjalan, menyusuri jalan setapak yang ada di punggung gunung ini.
Satu
lagi lokasi persinggahan yang tidak mungkin akan dilupa siapapun yang
melewati jalur ini adalah sebuah titik yang walaupun tidak ada tempat
yang pasti untuk beristirahat, namun adanya sumber mata air menjadi daya
tarik tersendiri bagi siapaun untuk tidak melewatinya begitu saja.
Aliran
air sebenarnya tidak begitu besar, bahkan tidak lebih besar dari
tetesan air yang mengalir dari ceret. Namun bagi yang kehabisan air
tentu ini merupakan berkah tersendiri, karena sepanjang perjalanan
selepas berangkat dari pos 1 tidak ada satupun kami temukan titik air.
Aku
segera melepaskan tas keril yang melekat di punggungku sejak dari
pelawangan tadi disusul Jenor, Jupri serta Eka, mengambil posisi
masing-masing untuk merebahkan badan di dinding lereng. Sejenak kami
merehatkan badan meregangkan otot-otot, sambil mengeluarkan botol-botol
mineral yang memang sudah hampir habis isinya. Sementara pandangan
mataku tertuju ke seberang, aliran sungai peropok sudah semakin jelas
terlihat, ada banyak rombongan yang terlihat sedang beristirahat di
sana, ada pula yang sedang menunaikan ibadah shalat ashar, sebagian
lainnya terlihat sedang memasak dan sisanya duduk-duduk santai.
"Lah
kemaik aik senikne", ucap Jenor yang sudah berada di mulut pancoran,
membangkitkan gairah kami untuk segera mereguknya. Kami bangun hampir
bersamaan menuju tepi pancuran. Dan memang benar apa yang dikatakan
Jenor, airnya memang terasa nikmat sekali, lebih nikmat dari air mineral
pabrikan manapun di dunia ini, bahkan lebih segar dari air kulkas
sekalipun.
Usai memastikan semua botol yang kami bawa
terisi penuh, kami berempat segera bertolak meninggalkan pancuran ini
yang kebanyakan orang menyebutnya banyu urip. Perjalanan pun terasa
lebih ringan dari sebelumnya, tidak lagi terdapat jalur yang tajam dan
menanjak, hanya tinggal menuruni sisi gunung ini. Tiba di dasar gunung
hamparan pohon pinus dan ilalang tinggi tumbuh lebat hingga tepi bibir
sungai. Rombongan monyet menyambut kedatangan kami memasuki hutan tepi
sungai ini, mengiri langkah kami, riuh suaranya seolah mengajak kami
bercanda, akupun sebenarnya ingin juga mengambilkan sisa roti yang
kubawa, namun aku teringat pesan pak Syam, agar jangan memberi mereka
makanan, terlebih kalau mereka bergerombol karena bisa jadi jika kita
mereka makan, gerombolan lainnya akan muncul mengharapkan untuk diberi
makan juga. Akhirnya akupun mengurungkan niatku dan lebih memilih
berhati-hati karena sewaktu-waktu mereka bisa jadi agresif dan tentu
saja akan sangat berbahaya bagi kami.
Kami sibuk mencari celah
yang aman untuk bisa menyeberang sungai, karena walau dangkal aliran
airnya cukup deras, batu batu besar yang tidak bisa hanyut oleh derasnya
air kiranya cukup menjadi pijakan, walau harus beberapa kali melompat
dari titik batu satu ke batu yang lain. Namun jika tidak ingin bersusah
payah untuk melompat, cukup hanya dengan menanggalkan sepatu aja dan
menyingsingkan celana, sambil berusaha melawan derasnya arus.
Sesampainya di seberang sungai, kami langsung menyusur bantaran sungai
mencari rekan-rekan lainnya yang sudah lebih dulu sampai di sana untuk
bergabung.
Ternyata rombongan yang kami cari sedang duduk-duduk di
balik batu yang cukup besar berlindung dari teriknye mentari. ada juga
yang mengaso berusaha memejamkan mata.
"La kengonekme pade,
jangke sange te anteh me pade, mbe guru-guru nukne jaq?" ucap Sadri
menyambut kedatangan kami. Walau terdengar agak saklek kami tidak
sedikitpun tersinggung akan ucapannya, karena kami tau memang dia
sedang bergurau. "Ah guru-guru nukne jaq marak kelampan teres lasing,
ite bae lelah anteh selangan-langan endah, ye ampokte telat. "Mbe jaq
ye angkak nane?" ucap Saleh menegaskan kembali apa yang ditanyakan
Sadri. "Angkak ndekke taok, leq onek ndekte wah bae bareng endah,
sewahante leq pelawangan nukne", ucapku menjawab pertanyaan Saleh.
"Nu kan tie ye barukne ntun, tandaqke kelampane pade" ucap Kak Soha menunjuk iringan orang nun jauh di seberang.
"Ao
sang iye jage tiakne", ucap Nas. "Aok iye wah tiakne, mune ijo tasne
jaq ndekne arak lain wah malik" kata Amaq Har meyakinkan dugaan kami.
"Wah
ane cobaqte pade anteh ye bae, itung-itungte pade mentelah, kan
begak-begak jari sangunte tinjal gunung setiakne" ucapan bijak kak Irjan
menutup perbincangan kami, dan masing-masing kembali sibuk dengan
urusannya. Akupun menuju bibir sungai untuk mengambil air wuduk.
Agak
lama juga akhirnya kami beristirahat di tempat ini dimana merupakan
pertemuan antar dua sungai yang hanya dipisah oleh satu bukit yang
tinggi yang akan menjadi lintasan kami berikutnya.
Sekitar
jam 16.40 Wita barulah kami kembali melanjutkan perjalanan setelah
menemani rombongan yang terakhir tadi beristirahat memulihkan
staminanya.
Setelah menyeberang sungai kami langsung dihadapkan dengan medan yang paling berat dari medan-medan lain sebelumnya.
"Enor
mae aku jauq tas tiakne" pintaku pada Jenor mengharap agar langkahnya
bisa lebih ringan mendaki bukit yang sangat terjal ini, "Ado aku wah,
Insya Allah masehke si sanggup idapne" ucapnye dengan nada
tersengal-sengal, bareh saq ke lelah ampokke beng, kelalahte endah
ngerise, wah kedungne taket idapne ni leq bongkorke" sambungnya setelah
menemukan tempat sandaran. "Aok ane kamu bae siq" ucapku sambil
mengulurkan tangan untuk, membantunya naik melewati bebatuan yang
lumayan besar. "Menu jaq ni tegel imengke, mae ke anton" ucapku
menawarkan.
Walau hanya satu bukit, namun terjalnya jalur yang
harus kami lewati, memaksa kami sering beristirahat, sekedar untuk
menghela nafas panjang berharap stamina kembali pulih. Seteguk air
kiranya mampu menjadi penawar keletihan. "Andor, masehne ekstra joss saq
piakme onek nukne" tanyaku pada Jupri memintanya untuk memberiku air
penambah stamina itu. "Mah, manjuran wah bis, e kelueqne onek gerayang
ye, aku bae jangke hampir ndekke mauq endah" jawabnya panjang lebar
menjelaskan, "cobaq tie le Saep sangne maseh araq aiq Kuku Bima ne"
sambungnya sambil menoleh ke belakang pada Saep yang masih berada di
bawahnya. "Aok ni masehne, ni selonjok ye" pinta Saep pada Jupri sambil
menyodorkan botol mineral ukuran tanggung yang berisi tinggal
setengahnya.
"Arow angkak areang ite, ite bae melet te ni" pinta
Jupri padaku dengan nada khawatir akan kehabisan jatah. "Ado maseh lueq
ni Andor, Jenor bareng Eka bae masehne bau tie" lanjutku. "brembe kamu
endah Enor" tanya Jupri pada Jenor yang berada di atas kami, seusai
menutup tutup botolnya. "Aok mae ite bae goro idap blongte endah", ucap
Eka yang juga menunggu gilirannya.
Karena saking hausnya mungkin, sehingga sisa air penambah stamina itu pun langsung habis oleh kami berlima.
Setelah
tenaga agak mulai pulih, kami pun tidak mau berlama-lama memanjakan
diri beristirahat di tengah perjalanan, terlebih walau sudah hampir
senja, namun sisa terik mentari yang sudah mulai condong ke barat, masih
sangat kuat menyengat kulit ini. Berbekal air yang kami minum kami
kembali merayap membelah bukit.
Setelah berjuang selama
hampir setengah jam, menapaki langkah demi langkah walau dengan
langkah terseok-seok, kami sampai juga akhirnya ke puncak bukit walau
menyisakan nafas tersengal. Saya pun segera menuju salah satu dari dua
pohon besar yang seolah menjadi pintu bukit ini. Tanpa menghiraukan tas
ransel yang masih melilit tubuh ini, aku langsung membaringkan badanku,
beralaskan rumput yang tumbuh dibawahnya. Kepalaku pusing, pandanganku
berkunang-kunang bumi seolah berputar kencang. "Waduh gawat ini, aku
harus segera memejamkan mata sejenak" batinku menerawang ditengah
ketidak berdayaanku, semilir angin pegunungan berhembus sepoi-sepoi,
berpadu gemericik aliran deras air Peropok masih nyata terdengar dari
puncak bukit, yang lambat laun seolah menjadi terapi yang memulihkan
kembali kondisiku.
Hampir 10 menit berlalu badanpun mulai terasa
segar kembali, saya melepaskan tas ransel dari punggungku, mencari
makanan-makanan ringan yang terselip di kantong ransel. "Ah sepotong
roti ini, kiranya bisa menjadikan kondisiku benar-benar pulih" batinku
berharap agar sebungkus roti pisang yang kumakan bisa menjadi bekal
perjalanan selanjutnya.
"Brembe wah ngaseme" ucap Eka
menghampiriku. "Maik gati penidemme, jangke ndekke bani dodokme baruk,
kenangke jaq me kembe-kemba" lanjutnya. "Aok la pinengke baruq, bengke
lapah endah" jawabku. "Lasingan mie doang onek isin tianme, cobaq me
mele sedak nasiq endah onek" ucap Jupri menimpaliku. "Aok le nyesel ke
ndek mele onek Andor" ucapkan mejawab perkataan Jupri.
"Trus,
brembe nane wah baunte lanjutang perjalanante ni, Saef Wah onekne bejulu
lampak kanca Saleh dait Soha" ucap Jenor memastikan kondisiku "Terus
sai maseh leq bawak" tanyaku pada mereka "Aro karingan guru-guru nukne
doang siq, maseh jaq taokne laine" ucap Jupri menimpaliku. "Aok nte menu
jaq" ucapku mengiyakan ajakan mereka.
Walau kondisi masih kurang
fit namun akupun memaksakan diri untuk kembali melanjutkan perjalanan,
untungnya jalur yang kami tempuh selanjutnya tidak ada rintangan dan
hambatan yang berarti, hanya sedikit tanjakan, itupun setelah berjalan
datar agak lama baru kembali menemukan titik tanjakan yang tidak terlalu
menguras tenaga.
Mataku tertambat pada keelokan pemandangan di
bukit seberang, sebuah air terjun cukup besar mengalirkan air bak
kelambu yang menghias dinding gunung. Saya tidak tahu pasti apa nama air
terjun ini, karena kami berempat baru pertama kali ke sini, tidak ada
tempat bertanya karena kami terpisah dengan para senior, sebagiannya
sudah melaju di depan kami sebagiannya lagi masih di belakang kami. Kami
pun bergegas menuju bibir tebing agar melihat pemandangan yang sungguh
menakjubkan ini dengan lebih jelas.
Tidak mau menyia-nyiakan
waktu, setelah puas memandangi setiap sudut air terjun kami terus
menyusur alur yang terhampar sepanjang bukit hingga akhirnya kami
menemukan simpang kecil di antara lereng bukit, tertutup rimbunnya
dedaunan semak belukar yang tumbuh lebat di sekitarnya. Jalan setapak
inipun sebenarnya hampir saja terlewatkan, untungnya jalur setapak yang
kami ikuti membingungkan karena tidak ada jejak kuat yang dapat kami
ikuti sehingga kami kembali menyusuri tepi tebing, mencari jejak-jejak
untuk dapat kami ikuti.
Terselip di antara rerimbunan, jalan
setapak inipun menjadi satu-satunya akses menuju dasar bukit. Kamipun
kembali harus mengandalkan kekuatan tangan untuk menuruninya dan tentu
saja dengan tetap bekerjasama sedikitnya dapat meringankan langkah kami.
Karena untuk bisa turun, kami harus langsung bergelantungan. Banyaknya
akar-akaran yang cukup kokoh untungnya banyak membantu pergerakan
kami, walau tidak jarang harus melompat agak dalam untuk bisa sampai ke
persinggahan yang rata.
Meski tanpa hambatan yang berarti, namun
demikian tindakan cermat dan penuh hati-hati tentu saja tetap
dikedepankan, karena jika sedikit saja lengah atau salah berpijak saja,
tentu permukaan dasar jurang siap menyambut tubuh kami.
Hanya
kurang dari seperempat jam, kami pun sedah tiba di dasar jurang. Semak
belukar dan rimbun pepohonan yang tumbuh di atas aliran air menghadang
laju kami, tidak ada lagi jejak yang dapat kami ikuti karena sepanjang
dasar jurang dialiri air. Kami mengikuti alur aliran air yang bermuara
di tepi jurang sebelah kiri kami. Dari bibir jurang kami amati
sekeliling dasar jurang, sepi tidak ada satupun orang yang kami harapkan
berada di bawah sana untuk bisa mencari keterangan kemana langkah kami
selanjutnya, yang terlihat hanya selembar kain putih usang yang
tertambat di atas semak, di sebelah kiri bawahnya sisa sesajen dan
kemenyan nampak masih baru karena dupa yang tertancap ditengahnya masih
mengepulkan asap kecil. "La badekke jaq arak dengan leq bawak Enor"
ucapku pada Jenor yang turut melihat-lihat situasi. "Te turun bae nte"
ajakku pada Jenor "Guan mbe te langan" tanya Jenor padaku "Na Eka,
Andor! cobak kamu pade pete langan leq bat, aku bareh bareng Jenor pete
langan lek timuk" ucapku pada Jupri dan Eka sekenanya menunjuk arah di
depanku yang kuasumsikan sebagai barat sementara di belakangku adalah
timur. Setelah menemukan jalan turun saya dan Jenor bergegas menuju
dasar jurang.
Hari beranjak gelap, hawa dingin langsung merasuk persendian.
Memang
tidak ada siapa-siapa di sini, yang ada hanya sebuah goa berukuran
kecil, bahkan untuk masuk ke dalam goa harus melalu dua mulut goa yang
sangat sempit, satu vertikal satunya lagi horizontal. Antara penasaran
dan takut tapi saya ingin sekali mencoba masuk karena sudah sampai
sejauh ini tentu saja hal-hal yang kuanggap istimewa tidak ingin saya
lewatkan begitu saja. Rasa penasaranku mengalahkan takutku akhirnya
menuntun langkahku untuk masuk ke dalam goa. Setelah melepas semua yang
melekat di badan dengan menyisakan hanya celana kolor saja, saya
berusaha masuk ke dalam goa melalui pintu masuk horizontal. Harus masuk
dengan merebahkan badan dengan posisi punggung di bawah. Anggota badan
pertama yang saya masukkan adalah kaki, dan terakhir adalah kepala.
Namun sesampai di dalam, sejenak kepalaku langsung pusing, dingin,
pengap hampir tidak ada udara, dan gelap untungnya sebuah penerang
bersumber dari lilin yang memang sengaja ditaruh orang yang mungkin
tidak lama ini berada di sini bersinar redup, tidak ada apaun di sini
hanya bebatuan yang menempel di dinding goal mengalirkan tetesan air
yang mungkin merembes dari atas sana bermuara pada satu kolam kecil,
airnya dingin sekali, bulu kudukkan berdiri semua entahlah mungkin
karena kedinginan atau bisa saja makhluk halus sedang bermain-main
denganku. Aku merinding dan bergegas keluar dari dalam goa, saya
berusaha mencoba jalur lainnya yakni mulut goa vertikal namun setelah
mengeluarkan sebelah kaki kiriku kepalaku tidak bisa menembus dinding
mulut goa yang terlalu sempit.
Aku makin panik, segera kutarik
kakiku dan kembali ke arah mulut goa horizontal, dan Alhamdulillah
akhirnya saya pun bisa keluar dari dalam goa dengan selamat.
"Oe...!"
suara keras dari atas jurang menggema ke seantero lembah memantulkan
suara bergelombang di dinding-dinding lereng, mengejutkan kami. Spontan
kami mencari arah sumber suara, samar-samar terlihat tiga orang di
tepi jurang. "Ape pade anukme ndot ten, wah yakne magrib ni bareh
ndekte tandak langante" ucap suara di atas sana yang rupanya Pak Sam
bersama Guru Mursidin dan satu lagi entahlah saya kurang jelas karena
sedang terduduk, mungkin Nas fikirku. "Becatan siq pade taek mae,
telanjut jok Gua Susu" perintahnya pada kami untuk segera naik.
Baru
saja sampai di atas lereng kami harus bergegas menyusul langkah
ketiganya yang hampir hilang dibalik rumput yang tumbuh rapat lebih
tinggi dari kami, berjalan melawan arus aliran sungai ini, tidak jauh
memang hanya sekitar 100 meter mungkin kami suah bisa melihat kerumunan
orang diantara beberapa tenda yang sudah terpancang di beberapa
permukaan yang agak datar, namun rapatnya rumput yang tumbuh subur di
permukaan sungai ini dan tidak adanya jejak karena yang ada hanya
aliran sungai yang membuat beberapa cabang kecil tentu saja
membingungkan bagi pemula seperti kami. Kami menghentikan langkah di
tepi kolam kecil yang berada di persimpangan yang satu sisinya menuju
atas bukit dan jalur lainnya ke Goa Susu. Uap air menyembur dari dalam
kolam menggoda hasratku untuk sedikit merasakan kehangatannya, terlebih
badan yang mulai dirasuki hawa dingin membekukan seluruh persendian,
setidaknya akan bisa menghangatkan badan. Belum juga puas menikmati
kehangatannya kami harus bergegas ke perkemahan sebelum gelap malam
menutup pandangan. Berbekal penerang seadanya yang dipancarkan dari
senter baterai dua milik Jenor kami menyusur sebuah gundukan berbentuk
seolah anak tangga yang tak berujung tertutup kabut "Oi... sangat mirip
sekali dengan gambar pada cover-cover buku dongeng" batinku menikmati
pemandangan yang tersaji.
Permukaannya begitu licin bahkan
lebarnya tidak lebih dari seukuran 2 badan orang dewasa, air belerang
yang mengalir di kedua sisinya tidak jarang meluber ke permukaannya
sehingga itu mungkin yang membentuknya seolah bagaikan anak tangga
sebuah pelataran. Batinku tak hintinya berdecak kagum menikmati
pemandangan yang ada, hingga akhirnya tak terasa sudah berada di
permukaan yang agak datar, di mana di sekelilingnya sudah berdiri
tenda-tenda mungkin sekitar 6 hingga 8 atau bisa juga lebih, saya tidak
begitu memperhatikan waktu itu. Tenda yang kami cari dipancang tepat
dibawah gundukan yang lumayan tinggi yang menjadi salah satu akses ke
bukit yang ada di belakang kami. Terpisah tidak begitu jauh dari
kelompok besar yang mendirikan tenda-tenda mereka tepat di bawah dua
buah goa. Setelah meletakkan tas ke dalam tenda, membuka sepatu dan
jaket, saya segera menuju sebuah pancuran yang berada disudut bawah
salah satu goa untuk mengambil air wuduk mengingat waktu magrib sudah
hampir habis. Sekelompok rombongan menuruni tebing di atas pancoran
hanya bermodal penerang seadanya nekat menuruni tebing. "Kenapa
malem-malem mas, gak takut jatuh ato terpeleset gitu" sapa ku pada salah
seorang rombongan yang saya perkirakan seorang mahasiswa setelah berada
di depanku.
"Iya agak telat tadi berangkatnya dari danau"
jawabnya singkat seraya mencari tempat sandaran yang pas sambil menunggu
teman-temannya yang lain sampai di bawah. "Oooo.... kalau begitu mas
duluan ya" basa-basiku padanya dan langsung meninggalkannya.
Usai
shalat magrib saya ikut nimbrung bersama rekan-rekan lainnya yang sedang
menikmati aneka snak seraya menunggu waktu isya' tiba. Membahas serunya
perjalanan yang telah kami lalui sepanjang hari tadi tidak ada
habisnya. "Masak ke Soha jaq potokan rokokne ndekne kasak" cerita Sandri
nampak berapi-api disambut gelak tawa kami memecah sunyi malam nan
pekat di lembah ini. "Arow, side jaq araq-araq bae" ucap Saleh sambil
menahan perutnya "Laguk ni malik seruan" timpal Nas ikut meramaikan
bahan perbincangan kami "Arak cerite dengan berawekan tas kance Inaq
rari Pituriah" (Inaq rari Pituriah adalah nama lain dari monyet yang
kami pelesetkan dari kata Pitu dalam bahasa sasak) cerita Nas
melanjutkan. Merasa disinggung Muhamad yang sedari tadi tak
henti-hentinya terpingkal-pingkal menampik ucapan Nas. "Timbang kamu
malik, sok jari pahlawan, siqme kejer godek nukne, wah jaq ne menu tulak
malik begeduk tekejer siq baturne, paranne ndekne bedoe kance jage
godek nukne" tutupnya. Cerita Muhamad kali ini betul-betul mengocok
perutku. Cerita sahut bersahut teman-teman tak terasa menghantarkan
waktu ke pukul 8.15 menit. "Ado ceritanme doang pade ndekne iniq
tutuk-tutuk, mae te pade sembahyang juluk wah araq waktu isya ni,
suwahan senukne ampokte pade mandik leq gua susu nte" Ajakku kepada yang
lainnya membubarkan perbincangan kami.
Dengan hanya
mengenakan celana kolor saya menuju goa susu, di sana sudah menunggu
Jupri, Jenor dan Kak Irjan yang sudah berdiri di depan mulut goa. "Na ni
barukne aran mandik saona Andor adekme taokya doang" ucap Sadri yang
sudah berada di dalam goa, sedang asyik memjamkan mata di sebuah kolam
seukuran satu orang. "Mikiq ni atasan lainte Ri, la masak jamaq idapke"
ucap Saleh yang nangkring di puncak goa. "Wah angkak dendek ngonek laloq
tene kotong lengesme bareh ndekme tetandak laun isiq batur-batur leq
bale" sindirku pada Saleh agar segera memberiku ruang untuk ikut
merasakan mandi sauna ala gunung Rinjani.
Permukaan telapak tangan
mengeriput akibat terlalu lama di dalam goa, hawa panas yang
dihembuskan dinding-dinding goa lama-kelamaan membuat aku tidak tahan
berlama-lama di sana. "Nte aku bejuluan aok, la ndekke tahen jamaq ni"
ucapku pamit pada yang lainnya.
Sementara di luar goa cuaca
berbanding balik 180 derajat langsung menyapa begitu keluar dari mulut
goa, hawa ekstrim dari hembusan angin yang bertiup dari celah-celah
bukit-bukit yang melingkari lembah langsung menusuk raga, embun malam
membasahi rumput-rumput tempatku memijak langkahku, kabut pekat tidak
luput turut serta memberi andil membentuk cuaca yang begitu dingin pada
malam yang beranjak larut. Hening tidak ada lagi orang yang
beraktivitas, hanya segelintir orang yang masih bertahan di salah satu
kolam hangat yang ada di depan mulut goa dan lainnya lebih memilih
menghangatkan badan dari perapian yang dibuat dari batang-batang kayu
serta dahan dan ranting kering. Aku pun hijrah ke salah satu tenda
terdekat dari tempat kami bermalam, hanya untuk mencari sedikit
kehangatan sebelum beranjak ke peraduan. Tuan rumah dengan ramah
menyambutku, "Mari mas, udah dari goa ya" sapanya ramah seraya menggeser
badannya untuk memberi ruang padaku. Akupun lalu duduk ditempat yang
disediakan, membuat lingkaran di tepi api unggun. Lama kami
bercakap-cakap sambil menikmati segelas kopi, hingga tak terasa waktu
sudah lewat dari pukul 2.00 pagi. "Monggo mas, aku tak istirahat dulu"
ucapku sedikit berbasa-basi dengan bahasa Jawa seadanya setelah
mengetahui mereka dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Malang dan
Surabaya. "Oh ya, monggo-monggo" jawab mereka mengiri langkahku menuju
tendaku.
Teman-teman lainnya rupanya sudah balik pula dari goa
susu, tertidur saling tindih tidak tentu arah kaki dan kepala. "Wah
nggak kebagian tempat aku ini" batinku gelisah. Tidak ingin menghabiskan
malam di luar tenda aku menyelip di dekat pintu tenda di antara
kaki-kaki entah siapa mungkin, karena begitu gelap dan karena tidak
satupun yang menampakkan muka, semua anggota badan tertutup rapat
selimut. Ah lumayan lah, biarpun tidak nyaman dengan bau menyengat yang
keluar dari kaki-kaki yang berseliweran ke sana-kemari, tidak jarang
juga mendarat di kepalaku, namun sedikit tidak dengan berbaring walau
tidak lelap badan akan terasa segar menyongsong pagi.
Sang
surya akhirnya menampakkan diri dari celah-celah awan tebal, walau
belum begitu terik, namun cukup lumayan untuk mengusir selimut yang
enggan kulepas selepas shalat subuh tadi. Walau begitu aku masih begitu
malas untuk meninggalkan sisa-sisa bara api yang hampir padam dari
tungku.
Sementara dari tenda-tenda lainnya sudah nampak aktivitas
para penghuninya, ada yang ke pancuran mengambil air untuk menanak nasi
atau direbus untuk membuat kopi, ada juga serombongan orang sudah
berangkat meninggalkan tempat ini, sementara di dalam dua kolam yang
berjejer berukuran lumayan besar nampak puluhan orang sedang menikmati
mandi air hangat begitu juga di dalam goa mulai ramai orang mandi uap.
Rombongan kami pun tidak ingin berdiam diri, masing-masing berbagi tugas
menyiapkan perbekalan menuju danau. Ada yang mengemas barang-barang
bawaan, aku dan Jenor bertugas membongkar tenda sementara Eka kebagian
tugas menanak nasi dan merebus air.
Mie segala rasa (istilah yang saya berikan sendiri, karena kami mengeluarkan mie masing-masing untuk direbus Eka dalam kuali besar, sehingga melebur jadi satu) menjadi lauk utama sarapan ditambah sambal kacang-kacangan yang kami bawa sendiri menjadi bekal perjalanan kami menuju Segara Anak. Seperti biasa kami berempat hampir tidak pernah terpisah satu sama lainnya dan lebih banyak menjadi yang terakhir berangkat, ya karena kami memang usia kami rata-rata masih jauh lebih muda dibandingkan mereka-merka jadi porsi tugas yang dibebankan pada kami lebih banyak. Tubuh Kak Irjan baru saja tenggelam di balik tikungan yang langsung menanjak bukit itu. Dia menjadi anggota rombongan terakhir mendahului kami yang masih merapikan dan memasukkan tenda yang kami bongkar ke dalam tas keril. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal kami bergegas menyusul mereka. Untuk dapat segera menyusul mereka saya mengajak mereka bertiga melalui jalur bay pass yang digunakan para mahasiswa yang berasal dari Jawa tadi malam.
Jalur berat seperti mendaki tebing terjal seperti ini membuat kami makin terbiasa dan akrab karena sejatinya disanalah terselip rasa bangga dan puas, kami merasa bagaikan pendaki sungguhan seperti film-film petualangan yang kerap ditayangkan stasiun-stasiun tv. Tangan kami mulai terampil menggapai dan mencari celah-celah yang tepat untuk berpijak dan Alhamdulillah walau sedikit licin akibat rembesan air yang mengalir ke pancuran di bawahnya, kami tiba di puncak tebing berketinggian sekita 10 meter ini dengan selamat. Ternyata rombongan kami yang lainnya belum juga sampai, lumayan bisa istirahat sejenak sambil menunggu mereka pikirku, tak lama berselang rombongan yang kami tunggu pun satu persatu muncul dari jalur setapak yang dipenuhi tumbuhan liar dan belukar. "La kebecatme pade dateng te aranne kanak" ucap Sadri dengan nafas sedikit tersengal "Lasingan ite deturutang" jawab kami sedikit berbangga "Yoh mbe jak pade langanme taek" tanya Saleh penasaran "Arow ndekme taok aku bedoe ajian saipi angin, lasingan Leh" jawab Jupri sedikit berkelakar. "Adow kan tiye lasingan langante Aleh" sambut Eka menjawab pertanyaan Saleh yang mulai kebingungan dengan jawaban Jupri sambil menunjuk jalur pendakian kami. "Aok lasingan pak Sam nikne ulakne tejak ite muter-muter, cobaqte langan tiakne dong onekte sampe" ucap Saleh kemudian menyesali diri "Ado, kamu tetaok ndekme bau isiqme langan tiakne ampokme tetejak langan te, kamu noak doang. Munme melet lalok jak alo tulak cobaang langan tiakne" omel Amaq Har "Nte te lanjutang perjalanan bae, doang becat te pade istirahat leq segare" lanjutnya. "Aok begaan maukte mancing pepe endah" timpal Soha yang menenteng wales di tangan kirinya.
Dan akhirnya kami pun sepakat melanjutkan perjalanan "Aok lasingan ndekne barak ite arak langan olek tene doang maukte milu endah" ucap Saleh padaku yang nampaknya masih penasaran dengan jalur yang kami lalui, "Arow tedok wah ane, tie bae ane kan marak ape pendait kelampante nane" jawabku menunjuk jalur yang akan kami tempuh selanjutnya. Benar saja rupanya tebing terjal yang kami lalui tadi tidak ada apa-apanya dibandingkan jalur terjal yang menghadang langkah kami. "Saya harus meralat ucapan saya sebelumnya tentang jalur terjal yang ada di bukit setelah Peropok tadi" pikirku. "Ane ke Aleh, kamu sak noak doang leq onek kan me maseh nyagrow doang olek batu tiak" ucap Sadri di atas sana, "Aok Ri nane juluk lah wah yakne pegat idap nyawangke ni" jawab saleh terpatah-patah sambil membaringkan punggung di bebatuan itu, "Dakak menu raosme doang angkak perikak" timpal Amaq Har merasa menang. "Aok nte pade bilinye wah kan jak masehne arak kanak-kanak tiakne bareh urus ye" ajak Soha melanjutkan perjalanan. Merasa diberi tanggung jawab kami berempat terpaksa harus menunggu Saleh yang masih terbaring lemas, memberinya minuman dan mengambil alih sebagian barang bawaannya untuk meringankan langkahnya. Setelah merasa kuat, Saleh mengajak kami untuk melanjutkan perjalanan, beberapa kali kami harus menuntunnya agar bisa sampai dari satu pijakan ke pijakan lainnya. Maklum saja bukit ini seolah tegak lurus dengan kemiringan sekitar 70-80 derajat ditambah tinggi menjulang tentunya menjadi kendala dan tantangan berat bagi siapapun yang melewatinya. Untungnya sarapan dan istirahat cukup semalaman menjadi modal utama untuk menaklukkannya. Walau dengan upaya susah payah, akhirnya kami tiba jua di permukaan bukit yang cukup landai. Dari balik bukit sudah terlihat air danau yang sejuk terpotong oleh pohon-pohon pinus yang tumbuh berjejer di bukit-bukit dan gundukan-gundukan.
Perjalanan terasa makin ringan dengan sedikit berlari akhirnya kami tiba dipersimpangan membuat pemandangan semakin menakjubkan karena hampir semua bagian dari danau sudah terlihat dengan jelas. Tenda-tenda didirkan berjejer rapat di tepi danau mengesankan suasana pasar malam, demikian juga para mancing mania terlihat sibuk dengan kail masing-masing.
Rupanya kawan-kawan sudah mendirikan kemah agak jauh dari bibir danau, di sana pun sudah berdiri tiga tenda lainnya, satu tenda kulihat beranggotakan dua turis mancanegara bersama guide dan dua orang porter.
Barang-barang hanya letakkan begitu saja di atas gundukan bekas bangunan pos penjagaan yang sudah runtuh, yang tersisa hanya seng dan beberapa bilah kayu saja. Sebagian teman lainnya sudah menuju danau untuk memancing.
Cukup lama aku hanya terpaku, duduk menyandar pada satu-satunya tiang yang masih utuh di atas puing sisa-sisa bangunan... penat, letih dan takjub berpadu mengekang segala rasa dan raga ku, memandang barisan lereng gunung yang berlapis-lapis mengitari danau dengan airnya yang tenang, semilir angin pagi singgah di pucuk-pucuk daun pinus menciptakan suara yang membuat bulu roma ku bergidik, kabut tipis masih enggan pergi di beberapa lereng, sementara di ujung mata memandang sebuah gunung berdiri tegak membelah danau, masih mengepulkan asap tipis di puncaknya dan sebuah lekukan menganga lebar, mungkin sisa dari letusannya masih membekas di badan gunung. "Heit...!" hardik Amaq Har menepuk pundak ku dari belakang. "Momot doang, alo keq bauang ite juluk empak nukne, dong arak te kandoq mangan tengari" lanjutnya. Kehadirannya tidak kusadari sama sekali, membuyarkan semua lamunanku. "Aok ndot juluq angkak, kan wah lueq pade mancing endah jaq, maseh ke kemomotan gitaq ruen tadah gunung senikne tuak" bela ku menjawab ucapan Amaq Har.
Sementara hilir-mudik orang-orang menenteng jerigen dan botol-botol kosong berseliweran di jalur setapak yang ada di depan ku. "La meni sarinan Uak, mbe botol-botol kosong nukne mae sugulang ite, dore ye bae wah tenne leq tas-tas setiakne, side ndot juluq tenne tunggu barang-barang senikne aku yaq ke milu kance dengan-dengan sak jauq botol tiakne lalo bait aik, brembe" tanyaku pada Amaq Har "Aoq kenaq maseh, laguq pete kance ntanne endah adeknne lueqan jauqme botol" Tanpa pikir panjang aku pun memanggil Jupri yang terlihat sibuk menenteng ikan-ikan hasil tangkapan teman-teman. "Andor, lepas juluk empak tiakne, beng Eka tie jauq ye, mae tulung ite juluq ni" teriakku dari tempat ku berdiri. "Arak ape jaq angkak" ucapnya sesampainya di hadapanku. "Nteh bentek botol-botol tiakne te lalo bait aik, bareh aku jauq galon setiakne jaq" pintaku padanya. "Guan mbe taokte bait aik nane" tanyanya padaku "Tie kan dengan-dengan tiakne teturut, yaqne bait aik maseh nie" jawabku sambil mengajaknya mengikuti langkahku.
Botol-botol diisi ke dalam kain yang disulap menjadi tas untuk memudahkan kami mengangkutnya. Mengikuti jejak orang-orang yang menuruni lembah yang ada di belakang kami di mana limpahan air danau mengalir ke dasar lembah. Beberapa tenda dibangun simpang siur di dasar lembah, sebuah kolam besar di sesaki orang-orang yang menikmati mandi air hangat, di atasnya lagi terdapat kolam. Kami hanya mengamati aktivitas orang-orang di bawah sana di tepi jurang karena kami harus menuju sumber mata air yang akan kami jadikan sebagai perlengkapan kami memasak. Sumber mata air terletak sekitar ratusan meter dari atas lembah itu, melewati semak belukar. Harus ekstra hati-hati berjalan di sini, bukan karena jalurnya yang berbahaya, namun kaki harus peka menghindari kotoran-kotoran manusia yang membuang hajatnya di balik rimbunnya semak belukar yang menutupi jalan. Pancuran kecil dialirkan dengan sebilah bambu. Aliran airnya pun tidak begitu besar, bahkan untuk mengisi satu botol aqua berukuran besar saja butuh waktu hingga 5 menit, untungnya ada dua pancuran. Tapi kami tidak sendirian, dua orang yang kami ikuti tadi saja masih menunggu gilirannya. "Andor! kamu wah juluq anteh ye tene, melet ke ojok aik ni" pintaku pada Jupri "Manjuran aku bae melet ke endah, becatan isiq aok" jawabnya "Mun menu jaq, tebareng nteh" balasku "Arow kamu wah juluan maseh baune siq ke tahen ye, guan becatan doang ndak ndot tone" pesannya pada ku. Karena saking kebeletnya aku segera berlari meninggalkan Jupri sendirian mengantre giliran. "Eit salaq lainme tie, kiri lai tene, kan tie leq bawaq pemandian aik kalaq tiakne taok kokok" ucap Jupri sambil berteriak pada ku karena jarak kami sudah hampir 50-an meter. "Aok angkak taokke siq" jawabku melanjutkan lariku.
Aku harus pelan kali ini batu-batu cadas berukuran raksasa menjadi dinding tepi jurang "Ah kurang ajar, kenapa tidak turun aja ke sungai, padahal tinggal sedikit aja" gerutuku melihat kotoran manusia berserakan di mana-mana. Untungnya tebing yang harus saya lewati agak landai sehingga memudahkanku untuk menuruninya, namun tetap saja harus harus hati-hati karena ada saja bagiannya yang licin. Setelah tengok kiri-kanan "Untungnya lagi sepi orang" batinku, sehingga langsung aja aku ploroti celana ku, kemudian mencari titik yang agak terlindungi supaya tidak terlihat siapapun.
"Kengonekme, takutke lasingan mesaq-mesaq. Cobaqke kasakye jaq onekke bilinme" gerutu Jupri menyambut kedatangan ku "Lasingan kelolat langante Andor dait iii.... wah ke mambune, penok tai selangan-langan" kelitku membalas gerutuan Jupri "Guan kan wah berisi kan selapuanne tie, nte dong menu jaq kamu kan melenme ojok aiq endah" ajakku pada Jupri "Aok angkak, nte becatan munne bau jaq ndekke tahen jamaq ni" ucapnya sambil menekan perutnya. "Mae menu jaq aku separo jauq botol tiakne" pintaku pada Jupri supaya bisa mempercepat langkahnya.
"Ah, nyaman nane jaq, nte te uleq" ajak Jupri yang baru saja naik dari sungai. "Nyadume kan nane jaq Andor" ujarku memancing perkataan Jupri "Aok setan jamaq, dengan-dengan nukne, ndekne taoq base jamaq" omelnya seru. "Wah ane kamu ngomeh doang maseh jaq ndekne araq kenene, nte te becatan bae siq te mirik wah ndekke tahen jamaq ambune Andor" pintaku agar kami segera meninggalkan tempat itu.
"Ado ni ye siq te anteh-anteh laloq, kenangke jaqme pade kepusaq mule jaq ke suruq Amaq Caoq umumang kamu" ('Amaq Caoq' tukang azan di kampung kami) ucap Sadri dengan guyonannya yang khas menyambut kedatangan kami. "Arow side ngomeh doang, ni becatan isiq baitin ite, keberatan te ni" jawab ku. "Saq meni-meni paranme berat jaq kamu pada toah siq, no kan ni jaq beratan bae kapuk" ucap Sadri sambil mengangkat gendongan kain yang penuh dengan botol itu dengan tangan kirinya. "Aok, aran jaq tobengan taokde, cobaq de bentekye sambil de lampak jaq, sugul elaq de endah" ucap ku tidak kalah serunya membalas kelakarannya.
Ado pade begejoh doang mae aik tiakne, tekadu ngeme ni doang becat de pade bebelot" ucap Eka melerai perdebatan kami. "Aok kamu endah Aleh kamu ngangak doang marak ruen ain, peteang ite kayuk tone, doang becatne masak ape-ape senikne" perintah Amaq Har, pada Saleh yang sedang bengong bersandar pada sebuah gundukan. "Mesak ke, ketao bae lasingan" bantah Saleh sambil merungut "Enteh aku kance, kamu ngerumun-ngerumun doang" ajak Jenor kemudian tangannya menggamit sebilah parang berukuran sedang, dan keduanya kemudian segera berlalu di hadapan kami.
Hari yang begitu terik tak terasa menyengat, mengalah pada dinginnya angin yang berhembus menggesek pucuk-pucuk daun pinus yang tumbuh di bibir danau, seekor bebek berenang di permukaan danau, sesekali membenamkan kepalanya cukup lama ke dalam air, seolah tidak menghiraukan kehadiran ku, seekor ikan karper asyik bermain sendiri di bawah batu yang ku duduki,
Mie segala rasa (istilah yang saya berikan sendiri, karena kami mengeluarkan mie masing-masing untuk direbus Eka dalam kuali besar, sehingga melebur jadi satu) menjadi lauk utama sarapan ditambah sambal kacang-kacangan yang kami bawa sendiri menjadi bekal perjalanan kami menuju Segara Anak. Seperti biasa kami berempat hampir tidak pernah terpisah satu sama lainnya dan lebih banyak menjadi yang terakhir berangkat, ya karena kami memang usia kami rata-rata masih jauh lebih muda dibandingkan mereka-merka jadi porsi tugas yang dibebankan pada kami lebih banyak. Tubuh Kak Irjan baru saja tenggelam di balik tikungan yang langsung menanjak bukit itu. Dia menjadi anggota rombongan terakhir mendahului kami yang masih merapikan dan memasukkan tenda yang kami bongkar ke dalam tas keril. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal kami bergegas menyusul mereka. Untuk dapat segera menyusul mereka saya mengajak mereka bertiga melalui jalur bay pass yang digunakan para mahasiswa yang berasal dari Jawa tadi malam.
Jalur berat seperti mendaki tebing terjal seperti ini membuat kami makin terbiasa dan akrab karena sejatinya disanalah terselip rasa bangga dan puas, kami merasa bagaikan pendaki sungguhan seperti film-film petualangan yang kerap ditayangkan stasiun-stasiun tv. Tangan kami mulai terampil menggapai dan mencari celah-celah yang tepat untuk berpijak dan Alhamdulillah walau sedikit licin akibat rembesan air yang mengalir ke pancuran di bawahnya, kami tiba di puncak tebing berketinggian sekita 10 meter ini dengan selamat. Ternyata rombongan kami yang lainnya belum juga sampai, lumayan bisa istirahat sejenak sambil menunggu mereka pikirku, tak lama berselang rombongan yang kami tunggu pun satu persatu muncul dari jalur setapak yang dipenuhi tumbuhan liar dan belukar. "La kebecatme pade dateng te aranne kanak" ucap Sadri dengan nafas sedikit tersengal "Lasingan ite deturutang" jawab kami sedikit berbangga "Yoh mbe jak pade langanme taek" tanya Saleh penasaran "Arow ndekme taok aku bedoe ajian saipi angin, lasingan Leh" jawab Jupri sedikit berkelakar. "Adow kan tiye lasingan langante Aleh" sambut Eka menjawab pertanyaan Saleh yang mulai kebingungan dengan jawaban Jupri sambil menunjuk jalur pendakian kami. "Aok lasingan pak Sam nikne ulakne tejak ite muter-muter, cobaqte langan tiakne dong onekte sampe" ucap Saleh kemudian menyesali diri "Ado, kamu tetaok ndekme bau isiqme langan tiakne ampokme tetejak langan te, kamu noak doang. Munme melet lalok jak alo tulak cobaang langan tiakne" omel Amaq Har "Nte te lanjutang perjalanan bae, doang becat te pade istirahat leq segare" lanjutnya. "Aok begaan maukte mancing pepe endah" timpal Soha yang menenteng wales di tangan kirinya.
Dan akhirnya kami pun sepakat melanjutkan perjalanan "Aok lasingan ndekne barak ite arak langan olek tene doang maukte milu endah" ucap Saleh padaku yang nampaknya masih penasaran dengan jalur yang kami lalui, "Arow tedok wah ane, tie bae ane kan marak ape pendait kelampante nane" jawabku menunjuk jalur yang akan kami tempuh selanjutnya. Benar saja rupanya tebing terjal yang kami lalui tadi tidak ada apa-apanya dibandingkan jalur terjal yang menghadang langkah kami. "Saya harus meralat ucapan saya sebelumnya tentang jalur terjal yang ada di bukit setelah Peropok tadi" pikirku. "Ane ke Aleh, kamu sak noak doang leq onek kan me maseh nyagrow doang olek batu tiak" ucap Sadri di atas sana, "Aok Ri nane juluk lah wah yakne pegat idap nyawangke ni" jawab saleh terpatah-patah sambil membaringkan punggung di bebatuan itu, "Dakak menu raosme doang angkak perikak" timpal Amaq Har merasa menang. "Aok nte pade bilinye wah kan jak masehne arak kanak-kanak tiakne bareh urus ye" ajak Soha melanjutkan perjalanan. Merasa diberi tanggung jawab kami berempat terpaksa harus menunggu Saleh yang masih terbaring lemas, memberinya minuman dan mengambil alih sebagian barang bawaannya untuk meringankan langkahnya. Setelah merasa kuat, Saleh mengajak kami untuk melanjutkan perjalanan, beberapa kali kami harus menuntunnya agar bisa sampai dari satu pijakan ke pijakan lainnya. Maklum saja bukit ini seolah tegak lurus dengan kemiringan sekitar 70-80 derajat ditambah tinggi menjulang tentunya menjadi kendala dan tantangan berat bagi siapapun yang melewatinya. Untungnya sarapan dan istirahat cukup semalaman menjadi modal utama untuk menaklukkannya. Walau dengan upaya susah payah, akhirnya kami tiba jua di permukaan bukit yang cukup landai. Dari balik bukit sudah terlihat air danau yang sejuk terpotong oleh pohon-pohon pinus yang tumbuh berjejer di bukit-bukit dan gundukan-gundukan.
Perjalanan terasa makin ringan dengan sedikit berlari akhirnya kami tiba dipersimpangan membuat pemandangan semakin menakjubkan karena hampir semua bagian dari danau sudah terlihat dengan jelas. Tenda-tenda didirkan berjejer rapat di tepi danau mengesankan suasana pasar malam, demikian juga para mancing mania terlihat sibuk dengan kail masing-masing.
Rupanya kawan-kawan sudah mendirikan kemah agak jauh dari bibir danau, di sana pun sudah berdiri tiga tenda lainnya, satu tenda kulihat beranggotakan dua turis mancanegara bersama guide dan dua orang porter.
Barang-barang hanya letakkan begitu saja di atas gundukan bekas bangunan pos penjagaan yang sudah runtuh, yang tersisa hanya seng dan beberapa bilah kayu saja. Sebagian teman lainnya sudah menuju danau untuk memancing.
Cukup lama aku hanya terpaku, duduk menyandar pada satu-satunya tiang yang masih utuh di atas puing sisa-sisa bangunan... penat, letih dan takjub berpadu mengekang segala rasa dan raga ku, memandang barisan lereng gunung yang berlapis-lapis mengitari danau dengan airnya yang tenang, semilir angin pagi singgah di pucuk-pucuk daun pinus menciptakan suara yang membuat bulu roma ku bergidik, kabut tipis masih enggan pergi di beberapa lereng, sementara di ujung mata memandang sebuah gunung berdiri tegak membelah danau, masih mengepulkan asap tipis di puncaknya dan sebuah lekukan menganga lebar, mungkin sisa dari letusannya masih membekas di badan gunung. "Heit...!" hardik Amaq Har menepuk pundak ku dari belakang. "Momot doang, alo keq bauang ite juluk empak nukne, dong arak te kandoq mangan tengari" lanjutnya. Kehadirannya tidak kusadari sama sekali, membuyarkan semua lamunanku. "Aok ndot juluq angkak, kan wah lueq pade mancing endah jaq, maseh ke kemomotan gitaq ruen tadah gunung senikne tuak" bela ku menjawab ucapan Amaq Har.
Sementara hilir-mudik orang-orang menenteng jerigen dan botol-botol kosong berseliweran di jalur setapak yang ada di depan ku. "La meni sarinan Uak, mbe botol-botol kosong nukne mae sugulang ite, dore ye bae wah tenne leq tas-tas setiakne, side ndot juluq tenne tunggu barang-barang senikne aku yaq ke milu kance dengan-dengan sak jauq botol tiakne lalo bait aik, brembe" tanyaku pada Amaq Har "Aoq kenaq maseh, laguq pete kance ntanne endah adeknne lueqan jauqme botol" Tanpa pikir panjang aku pun memanggil Jupri yang terlihat sibuk menenteng ikan-ikan hasil tangkapan teman-teman. "Andor, lepas juluk empak tiakne, beng Eka tie jauq ye, mae tulung ite juluq ni" teriakku dari tempat ku berdiri. "Arak ape jaq angkak" ucapnya sesampainya di hadapanku. "Nteh bentek botol-botol tiakne te lalo bait aik, bareh aku jauq galon setiakne jaq" pintaku padanya. "Guan mbe taokte bait aik nane" tanyanya padaku "Tie kan dengan-dengan tiakne teturut, yaqne bait aik maseh nie" jawabku sambil mengajaknya mengikuti langkahku.
Botol-botol diisi ke dalam kain yang disulap menjadi tas untuk memudahkan kami mengangkutnya. Mengikuti jejak orang-orang yang menuruni lembah yang ada di belakang kami di mana limpahan air danau mengalir ke dasar lembah. Beberapa tenda dibangun simpang siur di dasar lembah, sebuah kolam besar di sesaki orang-orang yang menikmati mandi air hangat, di atasnya lagi terdapat kolam. Kami hanya mengamati aktivitas orang-orang di bawah sana di tepi jurang karena kami harus menuju sumber mata air yang akan kami jadikan sebagai perlengkapan kami memasak. Sumber mata air terletak sekitar ratusan meter dari atas lembah itu, melewati semak belukar. Harus ekstra hati-hati berjalan di sini, bukan karena jalurnya yang berbahaya, namun kaki harus peka menghindari kotoran-kotoran manusia yang membuang hajatnya di balik rimbunnya semak belukar yang menutupi jalan. Pancuran kecil dialirkan dengan sebilah bambu. Aliran airnya pun tidak begitu besar, bahkan untuk mengisi satu botol aqua berukuran besar saja butuh waktu hingga 5 menit, untungnya ada dua pancuran. Tapi kami tidak sendirian, dua orang yang kami ikuti tadi saja masih menunggu gilirannya. "Andor! kamu wah juluq anteh ye tene, melet ke ojok aik ni" pintaku pada Jupri "Manjuran aku bae melet ke endah, becatan isiq aok" jawabnya "Mun menu jaq, tebareng nteh" balasku "Arow kamu wah juluan maseh baune siq ke tahen ye, guan becatan doang ndak ndot tone" pesannya pada ku. Karena saking kebeletnya aku segera berlari meninggalkan Jupri sendirian mengantre giliran. "Eit salaq lainme tie, kiri lai tene, kan tie leq bawaq pemandian aik kalaq tiakne taok kokok" ucap Jupri sambil berteriak pada ku karena jarak kami sudah hampir 50-an meter. "Aok angkak taokke siq" jawabku melanjutkan lariku.
Aku harus pelan kali ini batu-batu cadas berukuran raksasa menjadi dinding tepi jurang "Ah kurang ajar, kenapa tidak turun aja ke sungai, padahal tinggal sedikit aja" gerutuku melihat kotoran manusia berserakan di mana-mana. Untungnya tebing yang harus saya lewati agak landai sehingga memudahkanku untuk menuruninya, namun tetap saja harus harus hati-hati karena ada saja bagiannya yang licin. Setelah tengok kiri-kanan "Untungnya lagi sepi orang" batinku, sehingga langsung aja aku ploroti celana ku, kemudian mencari titik yang agak terlindungi supaya tidak terlihat siapapun.
"Kengonekme, takutke lasingan mesaq-mesaq. Cobaqke kasakye jaq onekke bilinme" gerutu Jupri menyambut kedatangan ku "Lasingan kelolat langante Andor dait iii.... wah ke mambune, penok tai selangan-langan" kelitku membalas gerutuan Jupri "Guan kan wah berisi kan selapuanne tie, nte dong menu jaq kamu kan melenme ojok aiq endah" ajakku pada Jupri "Aok angkak, nte becatan munne bau jaq ndekke tahen jamaq ni" ucapnya sambil menekan perutnya. "Mae menu jaq aku separo jauq botol tiakne" pintaku pada Jupri supaya bisa mempercepat langkahnya.
"Ah, nyaman nane jaq, nte te uleq" ajak Jupri yang baru saja naik dari sungai. "Nyadume kan nane jaq Andor" ujarku memancing perkataan Jupri "Aok setan jamaq, dengan-dengan nukne, ndekne taoq base jamaq" omelnya seru. "Wah ane kamu ngomeh doang maseh jaq ndekne araq kenene, nte te becatan bae siq te mirik wah ndekke tahen jamaq ambune Andor" pintaku agar kami segera meninggalkan tempat itu.
"Ado ni ye siq te anteh-anteh laloq, kenangke jaqme pade kepusaq mule jaq ke suruq Amaq Caoq umumang kamu" ('Amaq Caoq' tukang azan di kampung kami) ucap Sadri dengan guyonannya yang khas menyambut kedatangan kami. "Arow side ngomeh doang, ni becatan isiq baitin ite, keberatan te ni" jawab ku. "Saq meni-meni paranme berat jaq kamu pada toah siq, no kan ni jaq beratan bae kapuk" ucap Sadri sambil mengangkat gendongan kain yang penuh dengan botol itu dengan tangan kirinya. "Aok, aran jaq tobengan taokde, cobaq de bentekye sambil de lampak jaq, sugul elaq de endah" ucap ku tidak kalah serunya membalas kelakarannya.
Ado pade begejoh doang mae aik tiakne, tekadu ngeme ni doang becat de pade bebelot" ucap Eka melerai perdebatan kami. "Aok kamu endah Aleh kamu ngangak doang marak ruen ain, peteang ite kayuk tone, doang becatne masak ape-ape senikne" perintah Amaq Har, pada Saleh yang sedang bengong bersandar pada sebuah gundukan. "Mesak ke, ketao bae lasingan" bantah Saleh sambil merungut "Enteh aku kance, kamu ngerumun-ngerumun doang" ajak Jenor kemudian tangannya menggamit sebilah parang berukuran sedang, dan keduanya kemudian segera berlalu di hadapan kami.
Hari yang begitu terik tak terasa menyengat, mengalah pada dinginnya angin yang berhembus menggesek pucuk-pucuk daun pinus yang tumbuh di bibir danau, seekor bebek berenang di permukaan danau, sesekali membenamkan kepalanya cukup lama ke dalam air, seolah tidak menghiraukan kehadiran ku, seekor ikan karper asyik bermain sendiri di bawah batu yang ku duduki,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar