Riwayat Singkat Imam Al-Mahdi
Nama : Muhammad.
Gelar : Al-Hadi, Al-Mahdi dan Al-Qa’im.
Julukan : Abul Qasim.
Ayah : Imam Hasan Al-Askari as.
Ibu : Nargis Khatun.
Kelahiran : Samarra, 256 Hijriah.
Hari Lahir :
Imam Al-Mahdi as lahir pada 15 Sya’ban
255 H. Kelahiran beliau sungguh menghidupkan harapan di dalam jiwa-jiwa
kaum tertindas di dunia.
Ayah Imam as adalah Imam Hasan Al-Askari
as dan ibunya bernama Nargis, seorang wanita suci keturunan salah satu
Hawariyyun (sahabat setia) Nabi Isa as, yaitu Sam’un Ash-Shafa.
Imam Mahdi as adalah Imam terakhir ,
Secara khusus, sang datuk, Rasulullah saw telah memberitakan
kehadirannya dalam sejumlah hadis-hadis yang mutawatir, bahwa “Dia akan
memenuhi bumi dengan keadilan setelah disesaki oleh kezaliman.”
Beliau dikenal dengan panggilan Abul
Qasim , dan gelar mulia “Al-Mahdi”. Dengan demikian, beliau membawa nama
sekaligus panggilan junjungan kita Muhammad saw, sebagaimana beliau pun
membawa risalah agamanya, Islam.
Para penguasa zalim menjadi begitu awas
dan senantiasa mengintai kelahiran Imam Mahdi as, sehingga mereka
berupaya menggagalkannya. Persis dengan apa yang telah dilakukan
Fir’aun; mengawasi setiap ibu yang hamil dan bayi yang lahir. Namun,
mereka tidak sadar bahwa Fir’aun, meskipun mengerahkan segenap kekuatan
raksasa yang dimilikinya sampai membunuh secara massal bayi-bayi yang
baru lahir, usahanya itu mengalami kegagalan total.
Al-Mu’tamid, Khalifah Abbasiyah—sosok
Fir’aun pada masanya—pun ingin melakukan hal yang sama. Ia pun mencoba
mengikuti langkah Fir’aun berusaha mencegah kemunculan Sang Pembela
Kebenaran yang akan merongrong kekuasaannya. Ia seketat mungkin
mengawasi rumah Imam Hasan Al-Askari as.
Ketika Imam Hasan as diracun, beliau
dibawa dalam keadaan lemah dari penjara ke rumahnya. Al-Mu’tamid
menugaskan lima orang pengawal pergi menyertai Imam untuk mewaspadai dan
berjaga-jaga di sekeliling rumah Imam jika ada peristiwa yang terjadi
di rumah itu. Tidak hanya mengutus mata-mata, ia juga mengirim beberapa
bidan ke rumah Imam untuk menjaga dan membantu proses kelahiran istri
Imam as.
Kota Samarra berubah menjadi kota duka
atas kematian Imam Hasan Al-Askari. Orang-orang menutup tempat kerja
mereka untuk melayat ke rumah Imam. Penduduk kota itu mengusung jenazah
suci Imam dengan tangan mereka sendiri dalam upacara penguburan yang
kudus, agung, dan akbar.
Khalifah Abbasiyah sangat gusar dan
kesal atas kerumunan massa yang datang melayat Imam. Ia berusaha keras
untuk menutupi kejahatannya dan mengumumkan bahwa kematian Imam
merupakan sebuah kejadian yang wajar dan alamiah.
Al-Mu’tamid mengutus saudaranya untuk
menghadiri upacara pemakaman dan bersaksi bahwa tidak ada yang membunuh
Imam. Di sisi lain, ia membagi-bagikan harta peninggalan Imam untuk
menunjukkan bahwa Imam tidak meninggalkan anak yang dapat menunaikan
shalat jenazah dan menjadi pewaris sah atas harta peninggalan beliau.
Namun, betapapun usaha untuk menutupi
cahaya kebenaran, kehendak Allahlah yang tetap berlaku. Ketika Imam
Al-Askari as dibunuh, putra beliau berusia lima tahun. Ia mencapai
kedudukan imamah pada usia lima tahun, seperti Nabi Isa yang diangkat
sebagai nabi ketika ia masih dalam buaian.
Ketika mereka meletakkan jenazah suci
Imam Al-‘Askari as, saudara beliau—yang bukan orang baik-baik—hendak
memimpin shalat jenazah. Namun, putra beliau, Imam Al-Mahdi ajf—yang
masih belia—mendorongnya ke samping dan beliau sendiri maju ke depan
memimpin shalat jenazah tersebut. Setelah selesai shalat jenazah, beliau
menghilang dari pandangan mata.
Keadaan ketika Imam Al-Mahdi Lahir
Hakimah, bibi Imam berkata, “Aku pergi
ke rumah anak saudaraku, pada hari Kamis bulan Sya’ban. Ketika aku ingin
mengucapkan selamat tinggal kepada mereka, Imam berkata, ‘Wahai bibi,
tinggallah malam ini bersama kami karena putra kami akan segera lahir.’
“Aku sangat bergembira dan berbahagia
mendengarkan kabar itu dan pergi menjumpai Nargis (Ibunda Imam
Al-Mahdi). Namun, aku tidak menemukan tanda-tanda kehamilan pada diri
beliau. Aku terkejut dan bergumam, ‘Tidak melihat tanda-tanda kelahiran
bayi padanya.’
“Pada saat-saat itu, Imam datang padaku
dan berkata, ‘Duhai bibi, jangan bersedih. Nargis seperti ibunda Nabi
Musa as, dan si bayi seperti Musa yang lahir secara tersembunyi dan
tanpa tanda-tanda apa pun yang menyertai kelahirannya. Temuilah Nargis,
dia akan segera melahirkan pada Shubuh hari.’
“Aku berbahagia menemani Nargis, sambil
mengamati apa yang dikatakan oleh Imam bahwa tanda-tanda kelahiran
Nargis muncul sebelum matahari terbit di ufuk timur. Seberkas cahaya
membentang antara diriku dan dia sehingga aku tidak dapat melihat Nargis
lagi. Aku ketakutan dan keluar dari bilik itu untuk menjumpai Imam dan
melaporkan apa yang telah terjadi. Beliau tersenyum dan berkata,
‘Kembalilah, beberapa saat lagi engkau akan melihatnya.’
“Aku kembali ke kamar dan melihat
seorang bayi baru lahir dan tengah melakukan sujud lalu ia mengangkat
tangannya ke angkasa sembarai berzikir dan memuji Allah dengan segala
kepemurahan-Nya, kebesaran-Nya, dan keesaan-Nya.”
Kisah Ibunda Nargis
Kisah Ibunda Nargis
Salah seorang budak Imam Hadi as, Busyr Al-Anshari menukil sebuah kisah sehubungan dengan kejadian itu:
Suatu hari, Imam Hadi as memanggilku dan
berkata padaku, “Aku ingin memberikan sebuah pekerjaan untukmu.
Pekerjaan ini akan menjadi sesuatu yang sangat berharga untukmu.” Beliau
memberikan sebuah surat disertai dengan seikat kantong yang berisi 200
Dinar emas. Beliau berkata, “Ambillah kantong ini dan pergilah ke
Baghdad. Nantikan kapal yang akan berlabuh besok harinya di sungai Furat
(Eufrat). Di dalamnya terdapat banyak budak-budak yang dibawa untuk
diperjualbelikan. Kebanyakan pembeli dan penjual itu berasal dari Bani
Abbas dan beberapa pemuda dari suku bangsa yang lain.
“Di atas kapal itu, ada seorang wanita
yang, ketika ia diminta untuk menampakkan dirinya, enggan memenuhi
permintaan itu. Salah seorang pemuda maju ke depan dan berkata kepada
tuannya, ‘Aku siap membeli wanita itu dengan harga 200 Dinar emas.’
Tetapi si wanita itu tidak setuju dengan tawaran pemuda itu. Lalu
tuannya berkata, ‘Kamu tidak ada pilihan lain kecuali harus dijual. Kamu
harus terima tawaran pemuda itu.’ Tapi ia menukas, ‘Tunggu sebentar!
Pembeliku akan segera datang.’ Lalu kau maju ke depan berikan surat itu
kepadanya, dan katakanlah ‘Jika wanita ini berhasrat kepada orang yang
mengirim surat ini, aku akan membelinya.’ Setelah membaca surat yang
disodorkan padanya, wanita itu merasa senang. Lalu bayarlah harganya
dengan uang ini, dan serahkanlah kepada tuannya. Setelah itu, bawalah
wanita itu kemari.”
Aku kerjakan apa yang diperintahkan Imam
kepadaku. Aku beli wanita itu dari tuannya. Dalam perjalanan, ia
menceritakan kepadaku sebuah cerita yang mengejutkan. Katanya, ‘Aku
adalah putri Raja Romawi. Datukku adalah sahabat dekat Nabi Isa. Ayahku
menginginkan agar aku menikah dengan keponakannya. Suatu hari, ia
mengadakan sebuah pertemuan akbar di istana dan meminta kemenakannya
duduk bersanding denganku di singgasana. Seluruh bangsawan Nasrani dan
para pengawal kerajaan berkumpul untuk menikahkan aku dengannya.
Tiba-tiba istana berguncang, yang membuat segala sesuatunya berserakan
hingga saudara sepupuku itu terjatuh dari singgasana. Meski begitu,
mereka tetap bersikeras untuk menikahkanku dengannya. Mereka kembali
mengadakan pertemuan itu. Namun, kejadian yang sama juga kembali
terjadi. Para bangsawan Nasrani menganggapnya sebagai sebuah tanda
buruk. Mereka segera meninggalkan istana. Pada malam yang sama, aku
tertidur dalam keadaan sedih dan pilu. Aku bermimpi melihat dua orang
pria dengan cahaya yang memancar dari tubuhnya datang ke istana.
Beberapa orang berkata bahwa pria itu adalah Nabi Isa, dan yang lainnya
berkata bahwa pria itu adalah Rasulullah saw. Rasulullah saw berhadapan
dengan Nabi Isa as, beliau berkata, ‘Aku meminang cucumu untuk cucuku.’
Nabi Isa as sangat gembira dengan pinangan itu. Beliau menerima pinangan
Rasulullah saw. Aku bangkit dari tempat tidurku dan tidak mengungkapkan
perihal mimpi itu kepada siapa pun. Hingga suatu hari, aku jatuh sakit
dan ayahku memanggil seluruh tabib untuk memeriksa kondisiku. Namun,
tidak satu pun dari mereka yang dapat menyembuhkan sakitku. Aku memohon
kepada ayahku untuk membebaskan orang-orang muslim yang ada dalam
penjara ketika itu. Ia mengabulkan permohonanku. Ia membebaskan
tawanan-tawanan muslim. Segera setelah itu aku pun sembuh dari sakitku.
Pada malam yang sama, aku sekali lagi bermimpi melihat dua orang wanita
yang penuh dengan cahaya. Mereka berkata bahwa wanita itu adalah ibunda
Nabi Allah Isa as dan Fatimah, putri Rasulullah saw. Fatimah maju ke
depan dan berkata kepadaku, ‘Jika engkau ingin menjadi istri putraku,
engkau harus menjadi muslim.’ Dalam mimpi malam itu, aku menerima Islam
melalui tangannya. Lalu, ia membawaku menjumpai anaknya, Imam Hasan
Al-Askari. Cintanya menawan hatiku dengan kuat, dan seluruh badanku
lemas siang dan malam. Sampai pada suatu malam, aku melihat Imam Hasan
Al-Askari dalam mimpi. Aku bertanya kepadanya, ‘Bagaimana aku dapat
menjadi istrimu?’ Beliau berkata, ‘Ayahmu dalam waktu dekat ini akan
mengirim serdadunya untuk berperang melawan serdadu muslim, dan engkau
akan berada di barisan belakang serdadu itu. Serdadu muslim akan
memenangkan perang itu dan engkau akan ditahan sebagai tawanan perang.
Lalu engkau akan dibawa ke Baghdad untuk dijual. Engkau akan dibawa ke
Baghdad dengan kapal yang melintasi sungai Furat. Kapal itu akan
berlabuh di sungai itu dan mereka akan membawamu keluar dari kapal itu
untuk dijual. Para pembeli akan datang untuk membelimu. Namun, tunggulah
sampai seseorang (utusan) datang untuk membelimu. Ia akan datang dengan
membawa surat dari ayahku. Dialah yang akan menjadi pembelimu dan
membawamu pergi.’ Aku terjaga dari mimpi dan merasa gembira. Setelah
beberapa waktu berlalu, apa yang diceritakan oleh Imam Hasan Al-‘Askari
dalam mimpi itu terjadi. Wahai Busyr! Hingga saat ini, tidak ada seorang
pun yang tahu akan kisah ini dan mengenali aku. Berhati-hatilah, jangan
engkau ceritakan kisah ini kepada siapapun. Simpanlah kisah ini untukmu
saja.”
Ketika Nargis menukilkan kisah itu
kepadaku, terasa gemetar sekujur tubuhku. Sejak saat itu, aku
menghormatinya dan menemaninya seakan-akan aku ini adalah budaknya. Aku
membawa beliau ke hadirat tuanku, Imam Hadi as.
Imam Hadi as bertanya kepada wanita itu,
bagaimana kisahmu sampai memeluk Islam? Dia menjawab, “Anda bertanya
sesuatu yang Anda lebih tahu ketimbang aku.”
Beliau lalu berkata, “Berita gembira
untukmu tentang seorang anak yang akan memenuhi alam semesta ini dengan
keadilan dan hukum, seorang anak yang dinanti-nantikan oleh seluruh umat
manusia.”
Kemudian, beliau memalingkan wajahnya
kepada saudarinya, Hakimah, “Wahai saudariku! Inilah wanita yang kau
nanti-nantikan selama ini. Bawalah ia bersamamu dan ajarkan Islam
kepadanya.”
Hakimah memeluknya erat dan ia membawanya pergi dengan penuh hormat.
Periode Kehidupan Imam Al-Mahdi
Periode kehidupan Imam Muhammad Al-Mahdi ajf dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. Pra-imamah
Yaitu, sejak lahir hingga syahadah ayahanda beliau, Imam Hasan Al-Askari as. Periode ini berlangsung selama lima tahun.
Selama periode ini, Imam Hasan as
senantiasa menjaga putranya ini sedemikian rupa hingga tidak ada yang
dapat melihatnya kecuali sebagian sahabat-sahabat dan orang-orang yang
dekat dengan beliau.
Penjagaan ketat ini beliau lakukan
lantaran kuatir terhadap penyusupan orang-orang Abbasiyah dan mata-mata
mereka yang begitu ketat mengawasi kediaman beliau.
2. Kegaiban Kecil (Ghaibah Shughra)
Periode ini dimulai pada waktu beliau
berusia enam tahun dan terus berlanjut hingga beliau berusia tujuh puluh
enam tahun. Selama periode ini, aparat pemerintahan dan agen-agennya
tidak dapat bertemu dengan beliau. Akan tetapi, sahabat-sahabat beliau
tetap memiliki kesempatan untuk bertemu dengan beliau dan meminta jalan
keluar atas masalah-masalah yang mereka hadapi.
Selama masa Kegaiban Kecil ini, ada
empat orang yang menjadi sahabat khusus Imam Al-Mahdi ajf, sekaligus
menjadi perantara antara Imam dan pengikutnya. Mereka membawa dan
mengirim surat atau pun uang dari umat dan menyampaikannya kepada Imam
as, dan juga sebaliknya menyampaikan jawaban Imam kepada mereka.
Empat sahabat Imam Mahdi as itu adalah:
1. Utsman bin Sa’id
2. Muhammad bin Utsman
3. Husain bin Ruh
4. Ali bin Muhammad Samuri
Periode ini berakhir dengan wafatnya
sahabat keempat Imam pada tahun 329 H. Sebelum wafatnya, beliau telah
menyatakan berakhirnya keperantaraan dan kedutaan. Dengan begitu, Imam
Al-Mahdi ajf segera memasuki periode baru dalam hidupnya, yaitu Kegaiban
Besar.
3. Kegaiban Besar (Ghaibah Kubra)
Sepanjang periode ini—yang entah sampai
kapan, hanya Allah SWT Yang Mahatahu—Imam Muhammad Al-Mahdi ajf
menghadiri perhelatan dan acara perkumpulan yang diadakan oleh pengikut
beliau. Beliau hadir tanpa diketahui oleh seorang pun.
Tidak ada satu orang pun yang mengenali
beliau. Mereka menganggapnya sebagai orang asing. Setelah Imam
meninggalkan tempat itu, dengan melihat tanda-tanda yang ada, barulah
mereka sadar bahwa Imam telah datang ke tempat mereka.
Masa Penantian
Masa Penantian
Imam Al-Mahdi ajf tidak menunjukkan
dirinya kepada fuqaha (ulama dan pakar hukum Islam) yang handal dalam
memecahkan masalah-masalah keagamaan yang mereka hadapi dan masyarakat
Islam selama kegaiban beliau. Namun demikian, mereka menyediakan lahan
dalam rangka menyongsong revolusi yang akan dicetuskan oleh Imam ma’shum
ini.
Orang-orang di masa kini, menantikan
kedatangannya. Penantian ini tidak berarti hanya duduk tanpa ada usaha
yang berarti sama sekali, pasif, acuh tak acuh, tidak berusaha, dan
tidak berupaya membuka jalan bagi kemunculan Imam ajf. Sebaliknya, orang
yang menanti adalah orang yang penuh pengharapan, berusaha, bekerja,
bergerak, sadar dan giat, memiliki keyakinan yang teguh pada Imam
Al-Mahdi, sehingga ia melempangkan jalan bagi kemunculan dan kedatangan
beliau.
Seorang penanti sejati persis ibarat
pendaki gunung, yang menantikan waktu untuk menaklukkan puncak gunung
dan berjuang untuk mencapai puncak yang ditujunya. Ia senantiasa
siap-sedia untuk melakukan apa saja yang diperlukan demi menginjakkan
kaki di atas puncak. Tak pelak lagi, ia harus memiliki perencanaan yang
matang untuk mencapai puncak kesuksesan dan sadar, bahwa duduk diam
berpangku tangan tidak akan membawanya kepada tujuan.
Dengan demikian, penantian berarti
pergerakan, usaha, upaya, pikiran yang teguh, berkarya, dan berkreasi
untuk kemaslahatan umat manusia. Jika prinsip dasar ini tidak tertanam
secara baik dalam masyarakat, umat manusia akan beku, putus asa dan
kecewa, serta tidak lagi berpandangan optimistis dalam menatap masa
depan yang gemilang.
Prinsip Penantian (Intizharul Faraj)
dalam Islam adalah sebuah prinsip yang tidak dapat dipisahkan dari agama
yang memberikan kabar gembira tentang masa depan yang gemilang dan
pelaksanaan segenap keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Oleh
karena itu, ia membina dirinya untuk mewujudkan cita-cita luhur ini
sebegitu rupa sehingga ia mampu memerangi dan menghilangkan kegelapan,
menyingkirkan para sufi gadungan dan kaum yang bersikap permusuhan
terhadap Imam Mahdi ajf.
Dengan kekuatan pergerakannya yang tak
terbendung itu, seorang muslim akan menciptakan sebuah lingkungan yang
siap membentuk pemerintahan tunggal alam semesta. Sehingga, ketika tiba
masa kemunculan insan yang telah diciptakan Allah SWT dengan pesona
kepribadian yang luhur ini, seluruh maksud dan tujuan Islam akan menjadi
kenyataan, Insya Allah. Dialah Imam Mahdi ajf.
Orang-orang Yang Bertemu Imam
Walaupun Imam Muhammad Al-Mahdi ajf
tidak menunjukkan diri beliau kepada siapa pun secara langsung dalam
masa Ghaibah Kubra ini, namun mereka yang memiliki jiwa yang suci dan
bertakwa, sewaktu-waktu dapat berjumpa dan berbicara dengan beliau.
Di sini kami akan sebutkan beberapa kejadian yang menceritakan perjumpaan mereka dengan Sang Imam ajf. Mereka itu antara lain:
1. Ismail bin Hirqili Syamsuddin
Syamsuddin bercerita, “Pernah ayahku
berkisah tentang kakinya yang terluka dan kemudian terobati. Ketika
masih muda, ayahku menderita luka dan infeksi pada bagian pahanya. Luka
itu sungguh membuatnya tidak berdaya.
“Suatu hari ia berkunjung kepada salah
seorang sahabatnya, Sayyid Raziuddin Thaus di Hillah, Irak. Sahabat itu
membantunya dengan mengumpulkan para tabib untuk memeriksa dan mengobati
luka infeksi itu. Akan tetapi, setelah para tabib itu memeriksa luka
itu, mereka memberikan jawaban negatif. Mereka berkesimpulan bahwa paha
yang terinfeksi karena luka itu harus segera di operasi. Resiko yang
dapat terjadi adalah paha ayahku itu diamputasi atau ia akan mati.
“Tahun berikutnya, Sayyid yang baik hati
itu mengajak ayahku pergi ke Baghdad dan membawa beliau untuk diperiksa
oleh para tabib di kota itu. Jawaban mereka atas pemeriksaan itu sama
dengan jawaban tabib sebelumnya.
“Kesedihan, kekecewaan, dan rasa kecil
hati menyelimuti perasaan ayahku ketika itu. Ia datang berziarah ke
Haram Imam Al-Askari as di Samarra. Di Haram itu, beliau bermalam dan
bertawassul untuk meminta pertolongan kepada Imam Zaman ajf.
“Tatkala fajar menyingsing, ia pergi ke
arah Sungai Dajlah untuk membasuh pakaiannya sekaligus mandi, lalu
kembali berziarah ke Haram Imam Al-Askari. Ayahku mengatakan, ‘Pada
perjalananku kembali menuju Haram Imam Al-Askari, aku berjumpa dengan
dua orang penunggang kuda. Semula, aku pikir mereka itu adalah
orang-orang dari suku Badui. Mereka memberikan salam kepadaku. Salah
seorang dari mereka berkata, ‘Mari mendekat kepadaku.’ Karena aku telah
membersihkan pakaianku, aku tidak mendekat kepada mereka. Aku lihat
orang-orang Badui Arab itu kotor. Aku khawatir bajuku yang masih basah
itu akan ternodai oleh tangan mereka.
‘Selagi aku masih berpikir tentang
mereka, tiba-tiba ia menarikku untuk mendekat padanya. Ia menempelkan
tangannya pada lukaku yang membuatku mengerang kesakitan. Setelah
beberapa saat, ia mengangkat tangannya dari pahaku yang terluka itu
seraya berkata, ‘Ismail, sekarang engkau telah sembuh. Janganlah engkau
bersedih dan berkeluh kesah lagi.’
‘Aku terkejut ketika orang itu memanggil
namaku. Ia pergi meninggalkan aku yang masih termangu dan sibuk dengan
pikiranku sendiri.
‘Aku yakinkan diriku bahwa orang itu
adalah Imam Al-Mahdi ajf. Aku membuntuti beliau dan memohon padanya
untuk berhenti. Tiba-tiba ia berbalik dan berkata kepadaku, ‘Ismail
pulanglah.’
‘Aku tidak menghiraukan perkataannya
itu. Aku tetap berlari mengejarnya. Orang yang beserta beliau dalam
perjalanan itu turut berbicara, ‘Wahai Ismail pulanglah. Apakah engkau
tidak merasa malu mengabaikan perintah Imam Mahdi?’
‘Mendengar perkataan orang tersebut, dugaanku benar bahwa beliau adalah Imam Mahdi dan Sang Pelindung Umat.
‘Aku pun berhenti dan menatap beliau pergi. Selang beberapa saat kemudian mereka telah menjauh dan menghilang dari pandanganku.’
Syamsuddin menuturkan, “Sejak hari itu
ayahku menjadi lebih sering ke Samarra. Namun sayang, beliau tidak
melihat Imam lagi hingga akhir hayat beliau dengan asa dan kerinduan
untuk bersua lagi dengan Imam Mahdi ajf.
2. Sayyid Muhammad Jabal Amili
Sayyid Muhammad Jabal Amili menuturkan
perjalanannya kepada seorang sahabatnya. Ia berkata, “Setahun aku dalam
perjalanan ke Masyhad. Karena tidak memiliki uang yang cukup, aku
menjadi sangat susah.
“Hingga pada suatu waktu, sebuah kafilah
bergerak. Namun karena aku tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli
makanan, aku pergi berziarah ke Haram (pusara) Imam Ridha di Masyhad
dan mengadukan kesulitanku kepada beliau. Dengan perut kosong menahan
lapar, aku tetap mengejar kafilah itu. Sebab, jika aku berdiam diri di
kampungku pada musim dingin, aku akan mati kedinginan.
“Aku berusaha berlari mengejar kafilah
itu, tetapi aku justru kehilangan arah. Aku tersesat jalan dan mendapati
diriku di tengah padang sahara yang panas membakar. Karena rasa lapar,
aku sama sekali tidak lagi kuasa menggerakkan badanku. Aku berusaha
mencari tumbuh-tumbuhan sahara dan rerumputan gurun pasir untuk
mengganjal perutku yang kosong. Namun aku sama sekali tidak dapat
menggerakkan badanku, apalagi untuk menemukannya.
“Hingga malam pun tiba dan kegelapan
menyelimuti padang sahara. Raungan binatang buas, dengungan hewan-hewan
padang pasir membuatku tercekam rasa takut. Aku menjerit menangis dan
pasrah menanti maut yang sebentar lagi akan datang menjemputku.
“Tidak lama setelah bulan menampakkan
dirinya dan suara bising kawanan hewan-hewan sahara itu berhenti,
tiba-tiba aku menangkap bayangan sebuah bukit kecil, tumpukan bukit
pasir. Aku berusaha mengangkat kaki menuju tempat itu. Aku melihat ada
sumur di sana. Aku menimba air dari sumur itu untuk melepaskan dahagaku
dan mengambil air wudhu untuk mengerjakan shalat. Namun aku tak lagi
berdaya sama sekali. Aku tidak memiliki tenaga sedikit pun untuk
bergerak karena menahan rasa lapar. Aku merangkak ke tempat itu untuk
tidur dan pasrah menantikan ajalku.
“Tiba-tiba, aku melihat seseorang datang
menunggang kuda, bergerak ke arahku. Aku berpikir, orang ini barangkali
salah seorang dari kawanan rampok padang pasir. Aku tidak memiliki
sesuatu apapun sehingga ia akan membunuhku dan membebaskanku dari rasa
lapar.
“Ketika orang itu tiba di dekatku, ia
menyampaikan salam kepadaku. Aku menjawab salamnya itu. Dan dengan
salamnya itu tertepislah dugaanku. Ternyata, ia bukanlah dari kawanan
rampok padang pasir.
“Ia bertanya, ‘Apa yang sedang kau cari?’
“Aku berusaha menjawab pertanyaan itu
dengan sisa-sisa kekuatan yang kumiliki. Aku mengatakan bahwa aku lapar
dan tersesat jalan.
“Ia berkata, ‘Engkau memiliki buah melon di sampingmu. Mengapa engkau tidak memakannya?’
“Aku yang tadinya mencari kesana-kemari
sesuatu yang dapat aku makan, berpikir bahwa ia sedang bercanda. Aku
berkata padanya, ‘Anda jangan bergurau. Tinggalkanlah aku sendirian
menanti ajal kan tiba.’
“Ia berkata, ‘Aku tidak bercanda. Lihat apa yang di sampingmu!’
“Kulihat, ada tiga buah melon tergeletak di sebelahku.
“Ia berkata, ‘Makanlah satu dari buah
melon itu dan sisanya engkau simpan sebagai bekal perjalananmu dan
tempuhlah jalan ini. (Orang itu menunjukkan jalan kepadanya, penj.).
Menjelang matahari tenggelam, engkau akan sampai di sebuah kemah.
Merekalah yang akan menuntun jalan untukmu sampai pada kafilah yang
engkau ingin susul.’
“Setelah berkata-kata, orang itu pun menghilang. Seketika aku mengerti bahwa orang itu adalah Imam Mahdi ajf.
“Sesuai dengan petunjuknya, aku makan
satu dari buah melon itu. Aku merasa sedikit pulih dan kuat untuk
melanjutkan perjalanan. Pada hari berikutnya, aku makan lagi satu dari
buah melon itu dan kembali melanjutkan perjalanan.
“Sebagaimana yang beliau katakan,
sebelum Maghrib aku berhasil tiba di kemah yang dimaksudkan oleh beliau.
Orang-orang yang berada di kemah itu mengajakku masuk ke dalam dan
mereka menjamuku dengan ramah. Setelah itu, mereka menunjukkan jalan
kepadaku untuk dapat menyusul kafilah.”
Mungkinkah Berusia Sepanjang Itu?
Pada dasarnya, ilmu pengetahuan—seperti
Fisiologi—menegaskan ihwal raga manusia yang tersusun dari miliaran sel.
Dengan berlalunya waktu, sel-sel tersebut menjadi tua, usang, lalu
punah, digantikan oleh sel-sel yang lebih muda. Demikianlah bagaimana
daur kehidupan berputar.
Sesuatu yang menjadikan manusia menjadi
usang, menghentikan sel-sel itu dari aktifitasnya, dan dapat membawa
kematian kepada manusia adalah bakteri dan virus yang berbahaya yang
menerobos masuk ke dalam raga manusia dengan berbagai cara dan menyerang
sel-sel aktif itu, lalu membinasakannya.
Ilmu Kedokteran (pencegahan dan
pengobatan penyakit) merupakan bukti yang kuat, bahwa jika manusia
menguasai ilmu pengetahuan dengan sempurna, mengenal dengan baik keadaan
tubuhnya dan zat-zat yang berbahaya, merawat kesehatannya dan teliti
dalam memilih makanan, maka hidupnya di dunia ini akan berlangsung lama.
Ia tidak akan segera mengalami ketuaan.
Dalam pandangan para ilmuwan, mereka
telah mampu memperpanjang kehidupan beberapa hewan melalui beberapa
eksperimen. Dengan cara seperti ini dan berkat manfaat ilmu pengetahuan
yang semakin menyebar dan menerapkan pola dan aturan kesahatan yang
ketat, manusia dapat hidup lebih lama hingga beberapa abad.
Seorang ilmuwan telah sekian tahun
berusaha mencari dan menyingkap tirai ilmu pengetahuan, untuk sekedar
mengenal sekelumit dari rahasianya. Akan tetapi, Imam Mahdi ajf menerima
anugerah seluruh khazanah ilmu pengetahuan itu. Dengan anugerah Ilahi
itulah beliau tidak kesulitan untuk melintasi jalan-jalan yang ditempuh
oleh para ilmuwan tersebut.
Dengan cara seperti ini, tidak akan
menjadi mustahil—dari sudut pandang ilmu pengetahuan—bahwa Imam Mahdi
ajf dengan keluasan ilmu yang diberikan Allah SWT kepadanya, dapat
menjalani hidupnya untuk ratusan tahun dengan tetap sehat dan muda.
Ketuaan dan kerentaan tidak berlaku padanya.
Di sisi lain, usia panjang Imam Mahdi
tidak begitu ajaib daripada dipadamkannya api Namrud oleh Nabi Ibrahim
as, dibelahnya sungai Nil oleh Nabi Musa as dan diubahnya beberapa orang
menjadi ular. Semua itu menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah SWT.
Berkenaan dengan masalah ini, Al-Qur’an
dan sejarah umat manusia memberikan teladan dan contoh beberapa nabi
yang berusia panjang, dan juga termasuk orang-orang biasa. Sebagai
contoh, Nabi Nuh as yang telah hidup selama 950 tahun, atau Lukman as
yang telah hidup selama 400 tahun.
Demikian juga Bukht Nashr mampu hidup
selama 1507 tahun, Nabi Sulaiman selama 712 tahun, dan Raja India,
Firoze Rai selama 537 tahun.
Fakta-fakta yang tersebut di atas tadi
merupakan bukti bahwa lamanya hidup seseorang di dunia tidak
bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Dan ini bisa saja terjadi di
setiap zaman.
Bagaimana Imam Al-Mahdi Mengungguli Kekuatan Dunia?
Ketika para pemikir dan orang-orang
pintar dunia sibuk dalam perlombaan senjata-senjata pemusnah massal,
tampaknya tidak ada tanda-tanda perdamaian. Dunia ini tetap saja membara
dengan peperangan dan ketidakadilan. Kutub-kutub kekuatan dunia terus
berambisi untuk meluaskan kekuasaan dan wilayahnya melalui campur tangan
perang.
Dengan keadaan dan kondisi yang
menguatirkan dan mengenaskan ini, kerusakan semakin merejalela dalam
kehidupan umat manusia, dan dosa serta kejahatan terus meluas.
Dalam keadaan seperti ini, medan
penyambutan sebuah pemerintahan yang adil dan bebas dari perang serta
agresi akan menjadi kenyataan. Seluruh bangsa-bangsa akan merasa jenuh
dan muak dengan kezaliman pemerintahan mereka yang hanya memikirkan
pengembangan kejahatan dan ketidakadilan yang membuat dunia runtuh.
Persis sebagaimana kemunculan bintang cerlang Islam di daerah Hijaz, pun
demikian setelah lima abad dalam kubangan tirani Jahiliyyah, adalah
sebuah medan yang patut dipersiapkan untuk menyambut kemunculan Nabi
Islam Muhammad saw.
Masyarakat yang teraniaya bersiap-siap
menerima Islam dan panggilan Tauhid Allah serta Keadilan Nabi saw.
Sekelompok manusia menerima Islam sebagai panji pergerakan mereka.
Jika kita amati revolusi-revolusi yang
meletus di seluruh dunia, kita temukan bahwa keberhasilan para pemimpin
mengusung sebuah revolusi adalah landasanguna mewujudkan medan dalam
sebuah masyarakat yang menumbuhkan kekecewaan dan kebencian besar mereka
terhadap para penguasa zalim akibat pemerintahan mereka yang tidak
adil. Medan semacam ini akan mengantarkan para pemimpin sampai kepada
tampuk kekuasaan.
Berdasarkan keyakinan itu, revolusi Imam
Mahdi akan terlaksana secara alami, yang seiring dengan munculnya medan
yang siap dan memadai di tengah masyarakat. Karena, revolusi agung Imam
Mahdi akan bersifat global dan tidak terbatas pada suatu tempat. Oleh
karena itu, seluruh masyarakat dunia harus bersedia untuk menyongsong
revolusi agung itu di tengah keadaan mereka saat itu sesuai dengan apa
yang disingkapkan oleh Rasulullah saw, “Kekejaman, kedurjanaan, dan
kerusakan akan merajalela di seluruh dunia.”
Tekanan yang hebat dari pemerintahan
zalim akan membuat bangsa-bangsa menjadi hulu ledak yang besar, sehingga
mereka akan saling bahu-membahu menghadapinya. Dan masyarakat yang
selama ini diperlakukan secara tidak adil dan tidak beradab akan
memenuhi panggilan nurani mereka. Ibarat buah yang matang di pohonnya,
akan jatuh ke tanah hanya dengan sedikit goyangan.
Dalam kondisi seperti ini, seluruh
kekuatan dunia, betapapun mereka dilengkapi dengan persenjataan militer
yang canggih, tidak akan dapat membendung dan menghentikan kebangkitan
dan revolusi agung ini, meskipun dengan cara pembantaian massal.
Pada saat dunia menghadapi kekalahan dan
kelesuan jiwa, mereka membutuhkan seorang pemimpin yang luar biasa.
Yaitu, seorang pemimpin yang lengkap dengan pengetahuan, kesadaran
sejarah, mengenal seluruh tingkat kebudayaan manusia dengan baik, dan
bergaul aktif secara langsung, serta sanggup mengamati secara cermat
akan perubahan-perubahan sejarah dan seluruh kejahatan-kejahatan di masa
lampau.
Dialah yang menjadi hujjah dan penegak
amanah Ilahi yang menyerukan janji keadilan dan kemanusiaan di bumi,
menghimpun orang-orang yang tertindas di seluruh dunia untuk meruntuhkan
pemerintahan-pemerintahan penindas. Daripada meluangkan tenaga demi
pemusnahan dan penghancuran satu sama lainnya, mereka menggalang
persatuan secara menata, sehingga mendapatkan tenaga dan
sumber-sumbernya demi kemakmuran dan kesejahteraan satu sama lainnya.
Dialah Imam Al-Mahdi ajf yang akan
mewujudkan sebuah dunia yang bebas dari rasa takut, cemas dan
memenuhinya dengan berkat dan rahmat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar