>

Kamis, 28 Juni 2012

Menjumpai Tuhan dalam Hati


 
Menjumpai Tuhan dalam Hati

MASJID Baitul Ihsan di kompleks perkantoran Bank Indonesia menjadi saksi maraknya kegiatan ibadah. Di sana tiap bulan diadakan pengajian yang dibimbing Abu Sangkan. Para jamaah diajak mawas diri lewat ceramah ''Salat Khusyuk''. Dimulai usai salat lohor hingga menjelang magrib. Gratis. Padahal, tema yang sama biasanya diusung dalam kegiatan pelatihan di hotel selama dua hari.

Untuk kegiatan pelatihan, yang tentu saja ada biayanya, Abu Sangkan selalu berinteraksi dengan jamaah. Pada saat itu pula, kiat-kiat khusyuk langsung dipraktekkan. Di akhir pelatihan, beberapa jamaah diminta testimoninya. Seorang jamaah pria asal Pamulang, Ciputat, misalnya, meski baru ikut satu kali pelatihan, merasa beban hidupnya terasa lepas. "Saya bisa 'curhat' sama Allah," katanya sambil terisak-isak di depan jamaah.


Menurut Abu Sangkan, setelah ikut pelatihan, tak dijamin bisa langsung khusyuk. "Hanya Allah yang menciptakan kekhusyukan," ujarnya. Pelatihan hanya memberi bimbingan cara salat yang bisa mendapatkan kekhusyukan. Misalnya, sebelum salat, pikiran harus diheningkan dan tubuh dibiarkan serileks mungkin. Bangkitkan kesadaran bahwa sedang berhadapan dengan Allah. Berniatlah dengan sadar, sehingga muncul getaran rasa yang halus dan kuat menarik rohani meluncur ke hadirat-Nya.

Selama ini, menurut Abu Sangkan, salat dijadikan beban dan rutinitas. Akibatnya, pikiran melayang dan tak menyatu dengan hati. "Padahal, salat meditasi tertinggi," katanya. Dalam salat yang khusyuk akan terasa kelezatan berkomunikasi dengan Allah. Efeknya, antara lain, kebahagiaan dan ketenangan batin. Jiwanya dibimbing Allah, sehingga tergerak untuk selalu berbuat kebajikan dan meninggalkan kemungkaran.

Harisman, Direktur Divisi Syariah Bank Indonesia, merasakan manfaat pelatihan tersebut. Sejak dua tahun silam, ia aktif di halaqah Abu Sangkan. "Saya merasa lebih pasrah pada Allah," katanya. Karena itulah, Harisman gencar mengampanyekan salat khusyuk bagi karyawan Bank Indonesia dan bank-bank syariah. "Otomatis etos kerja pun bisa meningkat," katanya lagi.

Rasa dekat dengan Allah juga yang diajarkan Erbe Sentanu dalam pelatihan Katahati. Namun metodenya unik. Disebutnya teknologi ikhlas. Rupanya, menurut Nunu -begitu pendiri Katahati Institute itu biasa dipanggil-- aspek spiritual manusia, seperti kepasrahan dan kekhusyukan, bisa dilihat dari gelombang otak. "Saya ingin memperkenalkan cara memandang keikhlasan secara modern dan aktual," ujarnya.

Ketika seseorang dalam kondisi khusyuk, gelombang otak dalam posisi Alpha 9-13,9 Hz. Maka akan terasa relaksasi otot. Pikiran jadi jernih dan kemampuan menikmati hidup meningkat. Situasi otak ini bisa distimulus dengan cara mendengarkan musik yang dirancang khusus bisa membangkitkan spiritualitas. "Saya berusaha menjembatani spiritualitas dengan ilmu pengetahuan dan teknologi," katanya.

Meski Nunu berlatar belakang seorang muslim, pelatihan ditujukan tanpa memandang agama. Karena, menurut dia, dalam otak siapa pun sudah terkandung zona ketuhanan. Setelah meraih kekhusyukan dan keikhlasan, bisa diterapkan dalam ritual agamanya, seperti salat bagi orang Islam.

Katahati Institute, yang dikelola Nunu, menawarkan tiga paket pelatihan. Pertama, mindfocus, yang mengajarkan bagaimana mengelola gelombang otak. Kedua, heartfocus, targetnya bagaimana memasukkan rasa ke dalam alam bawah sadar. Ketiga, soulfocus, membahas tentang kesadaran jiwa. "Soulfocus esensi yang mendasari semuanya," Nunu menjelaskan.

Dalam pelatihan Katahati, setiap peserta dilatih bermeditasi dengan iringan musik lembut. Dalam sesi yang disebut effective digital prayer, peserta dipandu cara berdoa yang efektif. Doa ditulis dalam selembar kertas, dilengkapi dengan rincian target yang ingin dicapai.

Menurut Nunu, banyak orang, setelah berdoa, lupa terhadap apa yang pernah dimintanya. "Karena doa tidak pernah masuk dalam hati," kata ayah seorang anak ini. Malah seringkali tidak yakin akan berhasil. Padahal, Tuhan tergantung persangkaan hambanya. Sedangkan kenyataan tergantung apa yang berada di alam bawah sadarnya.

Karena itu, pelatihan yang dikelolanya tak mengajarkan kiat sukses, tapi bagaimana membangkitkan kesadaran manusia akan fitrahnya. Yakni rasa ikhlas di hadapan Sang Pencipta. Doa orang ikhlas bukanlah berisi keinginan, karena semakin besar keinginan, yang dituju semakin menjauh. "Itu tanda belum ikhlas pada Allah," kata Nunu.

Alumni pelatihan Katahati tergabung dalam Miracle Makers Community (Katahati Circle). Dalam forum ini, mereka berbagi cerita aneka keajaiban yang didapat, kecil atau besar. Pengakuan mereka pun bisa ditengok di website Katahati.

Bagi Budi Darmastuti, 45 tahun, seorang alumnus Katahati, apa yang diajarkan sebenarnya memperkuat pengetahuan yang selama ini sering dilupakan. Bahwa hidup manusia sudah diatur Tuhan dan setiap doa akan dikabulkan-Nya. "Tapi kita sering tidak yakin," kata Dirut PT Resik Cemerlang, yang bergerak di bidang jasa bersih-bersih (cleaning service), itu.

Setelah ikut pelatihan, dia merasa lebih tenang dan tak lagi resah untuk mendapatkan proyek. "Apa pun yang terjadi, itu sudah jadi kehendak Allah," ujar ibu dua anak itu. Ia pernah berdoa supaya tidak mem-PHK 160 karyawannya. Sebab proyek perusahaannya di sebuah bank sudah berakhir. Kala tender ulang, Darmastuti mesti bersaing dengan perusahaan lain yang lebih gede. Ternyata, doa itu dikabulkan Tuhan.

Tuhan jadi rujukan dalam teori manajemen sebenarnya sudah lama dikembangkan di Barat. Harvard Business School, yang jadi tren para pebisnis dunia, pada 2002 mengangkat tema diskusi ''Does spirituality drives success?''. Tak mengherankan jika Gay Hendrick dan Kate Ludeman dalam bukunya, The Corporate Mystic, meramalkan bahwa spiritualis sejati nanti tak akan ditemukan di tempat ibadah lagi, tapi di perusahaan-perusahaan besar.

Apakah fenomena ini sudah terbukti di Indonesia? Hingga kini, kegiatan dan ceramah keagamaan hampir tak pernah absen dari instansi pemerintahan, BUMN, dan perkantoran swasta. Namun, seiring itu pula, kasus-kasus korupsi tak surut. Etos kerja karyawan pun masih jadi persoalan. Naiknya kinerja perusahaan belum diyakini sebagai pengaruh kesadaran beragama.

Keberagamaan dianggap tak relevan dengan motivasi berprestasi. Padahal seharusnya, menurut Jamil Azzaini, Wakil Direktur Dompet Dhuafa Republika, yang juga seorang motivator, orang yang memiliki valensi lebih tinggi, prestasinya lebih tinggi dari yang lainnya. Valensi adalah kemampuan intelektual, emosional, dan spiritual.

Dalam motivasi, Jamil punya rumus tersendiri. Orang yang tujuan hidupnya untuk memiliki sesuatu tak akan menghasilkan sukses jangka panjang. Contohnya, karyawan yang etos kerjanya tergantung balasan atau besaran gaji tak akan tahan lama.

Karena, menurut dia, hidup menganut hukum alam tentang kekekalan energi. Konsepnya, energi di dunia bersifat tetap, tidak akan hilang dan tidak akan diciptakan lagi. Yang ada hanyalah berubah bentuk. Dikaitkan dengan etos kerja, rumusnya adalah jumlah usaha = hasil usaha.

Bagaimana jika buktinya lain? Walaupun sudah bekerja keras, tetap tak berbanding lurus dengan hasil. Menurut Jamil, sisa hasil yang belum didapat akan disimpan dalam tabungan energi, bisa bersifat positif atau negatif, tergantung usahanya. "Yang pasti, tabungan itu tak akan hilang. Suatu saat akan kembali pada kita," ia menjelaskan.

Jamil mencontoh kisah seorang kawan, Bahran, yang murah senyum. Suatu ketika, ibunya sakit keras. Selama dua pekan lebih berada di rumah sakit, karena penyakitnya belum diketahui. Biaya berobat pun terus membengkak. Enam saudaranya bahu-membahu membantu sang ibu. Hanya Bahran yang belum bisa menyumbang uang sepeser pun.

Di tengah kebingungan, ia pergi ke masjid untuk menunaikan salat dan berdoa sambil terisak-isak. Usai berdoa, ia tebarkan senyum kepada para pengunjung masjid. Tak tampak kesedihan di wajahnya. Kemudian ia bentangkan selembar tikar dan menawarkan jasa pijat refleksi. Ketika seseorang selesai dipijat, ia menolak bayaran. Ia hanya minta didoakan untuk kesembuhan ibunya.

Ajaib, berkat ketulusan Bahran dan doa orang itu, tiga hari kemudian ibunya dinyatakan sembuh dan boleh pulang ke rumah. Yang membuat Bahran bersyukur, semua biaya rumah sakit yang belum terbayar ternyata dilunasi oleh orang yang pernah dipijat Bahran. Rupanya, orang itu terkesan dengan senyum Bahran dan cara berbakti pada ibunya.

Kisah-kisah seperti itulah yang biasa dituturkan Jamil dalam pelatihan. Emosi peserta disentuh, hingga isak tangis tak bisa terbendung. Untuk urusan mengoyak emosi, Ary Ginanjar Agustian termasuk lihai. Dalam pelatihan ESQ selama tiga hari, peserta dibuatnya menangis dan tersungkur.

Dalam ruangan dengan jumlah peserta 1.000 orang lebih, dipasang beberapa layar besar dengan sound system menggelegar. Peserta terkesima menyaksikan gambar tentang alam semesta, sehingga disadarkan betapa sangat kecilnya manusia dibandingkan dengan ciptaan Allah lainnya, galaksi yang begitu luas. Manusia merasa tak ada apa-apanya. Situasi hati itu disebut zero mind process.

Alam semesta bertasbih pada Allah. Kenapa manusia masih angkuh? Padahal, sesungguhnya dalam diri sudah ada fitrah untuk tunduk pada Sang Pencipta (Godspot). Vokal Ary yang bariton, dengan dukungan audiovisual raksasa, mendobrak emosi. Salawat Nabi yang dikumandangkan menambah batin bergetar.

Semua peserta tersugesti dengan gambar dan musik. Ketika batin sudah hening, mereka diajak untuk berefleksi, ingat akan dosa, hari akhir, dan kebesaran Sang Pencipta. Semua disadarkan apa arti hidup dan ke mana kita akan kembali.

Training ESQ memang tak pernah sepi peminat. "Kemasannya kompak dan efektif," kata Yudhistira ANM Massardi, yang pernah ikut pelatihan ESQ, November tahun lalu. Efeknya masih terasa hingga sekarang. "Saya jadi gampang terharu," ujar wartawan senior yang juga dosen Institut Kesenian Jakarta ini. Ia tak kuasa menahan tangis, padahal hanya membaca puisi-puisi lama karyanya.

Target ESQ membangkitkan jiwa yang sensitif terhadap Tuhan dan sesama manusia. "Saya merasa bahagia jika bisa berbuat sesuatu untuk orang lain," kata Yudhistira. Itu sudah dibuktikannya. Misalnya, garasi rumahnya disulap jadi TK Batutis Al-Ilmi --TK gratis untuk kaum duafa.

Selain mencari sedekah, sebagian besar biaya operasional, seperti gaji guru, peralatan, dan seragam, ditanggung Yudhis. Padahal, rencana yang pertama kali digagas istrinya itu sudah lama dicanangkan, jauh sebelum mengikuti ESQ. Secara ekonomi, saat itu seharusnya lebih siap. "Saya merasa repot dan beban saja," ungkapnya, mengenang.

Kini, rasa bahagia makin sering menjumpai jiwa Yudhis. Meski berdesakan dalam bus, tetap damai. Balasan salam tulus yang diucapkan seorang ibu di jalan pun ternyata sanggup menggetarkan hatinya. "Sudah 30 tahun, saya baru merasakan keindahan itu lagi," ujar Yudhis. Memang, keindahan Tuhan ada dalam hati manusia. Tentu bagi mereka yang, menurut Ary Ginanjar, sudah meraih kecerdasan emosional dan spiritual (ESQ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar