>

Senin, 30 April 2012

REVISI RINJANI TRACKING

REVISI RINJANI TRACKING

Sekitar satu jam ba’da sholat Jum'at mobil engkel (angkutan umum antar Provinsi) yang telah kami carter akhirnya menampakkan moncongnya dari arah selatan setelah molor hampir setengah jam lebih dari perjanjian. Meski digelayuti rasa dongkol kamipun suka-cita menyambut kedatangannya, mobilpun langsung mengambil haluan memutar balik ke arah datangnya. Sorak sorai dan rona ceria terpancarkan dari wajah-wajah kami. Tanpa dikomando kamipun bergegas menaikkan barang-barang perlengkapan gunung dan berkemah yang jauh hari kami persiapkan setelah mobil berwarna merah itu menghentikan lajunya tepat di depan masjid kebanggan kami. Jenor, Mandor dan Saep dengan cekatan naik ke atas kup mobil ikut membantu sang kenek mengatur dan mengikat barang-barang bawaan. Tidak butuh waktu lama, setelah semua barang dinaikkan dan ditata rapi, barulah satu persatu rombongan berjumlah 26 orang, semuanya terdiri dari kaum adam plus 1 orang wanita naik. “Geseran dong, gak muat nih” ucap Eka, merupakan satu-satunya perempuan yang ikut dalam petualang ini, tubuhnya yang tegap dan gempal memaksa kami harus berbagi tempat dengannya, kursi deretan paling belakang yang kami pilih inipun terpaksa hanya diisi 4 orang saja. Saya, Jenor, dan Jupri serta tentu saja Eka mulai larut dalam perbincangan, bercanda ria menghalau gundah menunggu waktu berangkat.

Semua kursi sudah terisi, masing-masing deret terdiri dari 5 hingga 6 orang, mobil pun terasa sesak dan pengap, meski demikian hati kami selalu riang dan gembira. Jarum pendek di arlojiku tepat mengarah pada angka 2.15. Setelah bersalam-salaman dengan beberapa sanak kerabat, kamipun bertolak dari desa Kumbung. “Pade onyak-onyak ntane aok, nendek sare-sare porok gawek tone, tetep ingetang sembahyang” nasehat Inaq Johar pun lambat laun tertelan angin seiring mobil yang kami tumpangi berbelok dan orang-orang yang melepas kami pun hilang di balik tikungan.
Laju mobil pelan menghindari bebatuan dan lubang yang lebih mirip kubangan yang tersebar di sepanjang ruas jalan desa tanah kelahiran kami tercinta. Sorak sorai dan canda ria teman-teman seolah enggan mempedulikan kondisi jalan atau hanya sekedar cara untuk mengusir rasa dongkol akibat terlalu lama menunggu, apalagi teman-teman yang nangkring di atas mulai mengeluarkan suara emasnya dengan lantang, diiringi suara tetabuhan dari apa saja yang ada di depannya ditambah deru mesin serta sesekali diselingi suara klakson yang sengaja dipencet agal lama oleh sang sopir menambah semarak perjalanan.
Tak peduli orang-orang yang ada di sepanjang jalan yang kami lalui memandang aneh tingkah laku kami, terus bernyanyi dengan lantangnya seolah ingin mengumumkan pada mereka 'nih anak kumbung akan pergi mendaki ke gunung rinjani'.
Belum setengah jam berjalan mobilpun tiba-tiba menghentikan lajunya menepi di sisi kiri jalan tepat di depan pasar umum ibu kota kecamatan Masbagik yang selalu ramai oleh lalu lalang kendaraan maupun pengguna jalan yang keluar masuk pasar. Suara kamipun kalah riuh oleh orang-orang seisi pasar yang. Tidak heran memang jika kemudian pasar ini menjadi salah satu barometer perekonomian ibu kota kabupaten paling timur pulau ini. Kamipun terdiam dan lebih memilih menikmati keramaian yang ada.
Pak Syamsuddin terlihat turun dari kendaraan diikuti Kak Irjan di belakangnya. Keduanya merupakan senior yang paling sering dan hampir tidak pernah absen berkunjung ke Rinjani. Saya bersama Eka, Jenor dan Jupri merupakan wajah baru dalam rombongan ini tergiur untuk ikut dalam pendakian kali ini pun atas ajakan dan ceritanya akan keindahan dan pesona Gunung Rinjani.
Ternyata kami singgah untuk melengkapi persediaan kami yang akan menjadi bekal selama berada di gunung nanti. “Kak titip lilin 2 bungkus dan ekstra joss 3 kotak ya”. Akupun tidak mau melewatkan moment ini seraya menyerahkan uang lembaran kertas 50-an ribu. “Ayo cepet makanya, entar kemaleman di jalan, udah sore ini” ucap sang sopir dengan nada galau.
"Kak Ijan Gudang garam filter satu bungkus" teriakku pada kak Irjan dari dalam mobil yang sudah jauh meninggalkan tempat kami parkir.
Tak lama berselang Kak Irjan dan Pak Syamsuddin pun sudah kembali dengan belanjaannya, mereka pun bergegas naik ke atas mobil. “Ayo pak sopir jalan!” perintah Amaq Har yang sedari tadi terlihat gelisah sambil menghisap lintingan rokoknya yang terbuat dari tembakau racikan.
Seakan mendapat rekomendasi dari semua penumpangnya, tanpa ragu pak sopir pun memacu kendaraannya dengan kecepatan penuh, tangannya yang cekatan dengan sigap menguasai laju kendaraan, seakan hapal betul jalan ini, maklum saja trayek jurusan Labuhan Lombok - Mandalika ini menjadi tempatnya mengais rezeki sehari-harinya. Ada juga yang masih bertahan kembali berdendang, sebagian lainnya lebih memilih tidur walau hanya dalam posisi duduk.
Setelah terombang-ambing satu jam lebih kembali sopir menepikan mobilnya di pertigaan jalan labuhan Lombok tepat di depan tukang tambal ban yang mangkal di pinggir jalan depan pasar umum Labuhan Lombok. Rupanya roda belakang agak kempis sehingga perlu ditambahkan angin. Setelah itu perjalanan pun kami lanjutkan, jalanan yang relative sepi semakin memudahkan sang sopir untuk memacu kendaraannya. Tidak lagi terdengar lagu riang atau gelak tawa teman-teman yang sedari tadi tidak henti-hentinya bernyanyi. Mungkin kehabisan bahan nyanyian atau mungkin kecapean entahlah…??, Perjalanan pun terasa membosankan, hanya Saep yang duduk di deretan depan kami kulihat masih sibuk menghembuskan asap pekat dari mulutnya, sambil memejamkan mata sibuk dengan lamunannya sendiri. Aku pun yang mulai di serang kantuk berusaha menyandarkan kepala ke belakang kursi yang mentok dengan pantat mobil, melonjorkan kaki di antara besi-besi penopang deretan kursi di depanku, menyelip di antara Eka, Jupri dan Jenor yang lebih dulu membaringkan badannya, sejurus kemudian akupun tenggelam dalam buaian alam bawah sadarku.
“Ayo bangun...! bangun!, bangun!” Suara Amaq Har lamat laun terdengar semakin jelas, menyadarkan aku dari tidurku. “Kita sholat dulu, waktu ashar udah mau habis ini” sambungnya. Akupun melongok ke luar jendela mobil. Samar-samar kulihat teman-teman lainnya sedang sholat, ada pula yang duduk sambil menghisap rokok di sebuah surau kecil di pinggir jalan yang kami lewati.
“Ah, ternyata belum nyampai juga” batinku. Setelah menggeliatkan badan dan merentangkan tangan ke atas akupun berusaha bangun menyusul suara Eka dan Jupri yang terdengar dari atas mobil bercanda ria dengan Jenor. Tidak henti-hentinya aku menguap sisa kantuk masih menggodaku untuk kembali merebahkan badan, tapi suara disana tidak henti-hentinya memanggil namaku, maklum kita harus bergegas untuk melanjutkan perjalanan, kami hanya singgah untuk melaksanakan kewajiban kami sebagai Muslim.
Dengan sisa kantuk akupun berjalan malas keluar mobil langsung menuju sebuah pancuran untuk mengambil air wudhu’. Kubasuh mukaku, airnya yang bening dan dingin menyegarkan kembali badanku, kantuk yang masih menggelanyut seakan sirna dibilas tetesan-tetesan air alami pegunungan.
Usai sholat kamipun langsung tancap gas kembali melanjutkan perjalanan, rona muka teman-teman kembali mengguratkan keceriaan, mungkin karena perjalanan udah semakin dekat atau badan sudah kembali fit setelah sejenak beristirahat tadi. Aku, Mandor, dan Jenor pindah ke atas kup mobil, bergabung dengan rekan-rekan lainnya yang kembali bernyanyi ria. Betul saja nampaknya persinggahan kami di sebuah surau tadi yang belakangan saya tau desanya bernama Pedamekan merupakan persinggahan terakhir kami karena tidak sampai satu jam perjalanan kamipun sudah tiba di tempat tujuan. Meski demikian perjalanan kali ini cukup menegangkan dan menciutkan nyali, betapa tidak jalan yang kami lalui sempit, terjal dan berliku dan penuh tanjakan pula, namun itu tidak menjadi kendala yang berarti, karena nampaknya sopir yang kami pakai sudah sangat berpengalaman dan faham betul medan yang kami lalui. Beberapa kali kami harus menahan nafas manakala kami berpapasan dengan mobil dari arah berlawanan di tikungan, jurang dalam di sisi kanan kami selalu siap mengintai kami, keganasan ombak laut lepas Bali menjilat bibir pantai dengan rakusnya, menyapu apa saja yang ada di bibir pantai, abrasi pantai terlihat di sana-sini, menyiratkan betapa ganasnya laut lepas sebelah utara pulau ini. Banyak kisah yang selalu menarik untuk diceritakan dan sayang untuk dilewatkan, salah satunya saat berada di sebuah tanjakan yang orang-orang menyebutnya 'Jaran Kurus', tanjakan ini berada tepat setelah berbelok dari jembatan Kokok Putik, Tingginya tanjakan dan sempitnya badan jalan ditambah sedikit berkelok memaksa kami menghela nafas panjang dan hampir semua rekan-rekan tidak henti-hentinya bertasbih, memohon keselamatan atau untuk menenangkan diri. Laju kendaraan merangsek dengan pelan dan hati-hati. Dasar sungai Kokok Putik nampak bagaikan bentangan kantong plastik kecil dari dalam mobil demikian pula mobil-mobil yang ada di bawah tanjakan ini seperti mobil-mobilan mainan anak-anak. Namun demikian lagi-lagi kami mampu melewatinya “Alhamdulillah…” suara kami terdengar hampir bersamaan seolah melepas semua kekhawatiran yang menyelimuti setiba kami di ujung tanjakan. Laju kendaraan kembali normal, gesit melwati tikungan-tikungan kecil yang mungkin saja bagi sang sopir hal yang biasa, namun tetap saja terselip kekhawatiran bagi kami. Tak lama berselang sebuah plang papan nama berukuran kecil di sekolah dasar setempat dengan jelas bertuliskan SDN Torean, menunjukkan bahwa kami sudah berada di Desa Torean. Betapa senang hati ini, karena setelah terguncang dan terombang-ambing sekitar 3 jam lebih akhirnya sampai jua fikirku.
Kini mobil yang kami tumpangi berbelok arah ke kiri, menyusuri badan jalan sempit dan sedikit menanjak, laju kendaraan semakin pelan dikarenakan kondisi jalan yang kami lalui sangat rawan, tanahnya sangat labil, lubang menganga di sana sini, bongkahan-bongkahan batu besar menghadang laju kami. “Ya Allah ini jalan apa sungai sih” gerutu sebagian isi kendaraan. "Aok kenangke jaq leq bale doang taokne meni, ni jaq parah jamaqne" gerutu Saleh yang juga baru kali ini ikut petualangan mendaki gunung rinjani. "Lasingan mbe jaq taoqte ni" sergah Sadri ikut meramaikan obrolan "Kan jaq gawah" lajutnya menegaskan yang langsung diiringi gelak tawa teman-teman lainnya.
Sementara itu beberapa kali sopir atret, memundurkan mobilnya untuk mencari celah menghindari lubang agar ban mobil tidak terperosok kedalam lubang. Ruhi sang kenek pun tidak berdiam diri, dengan gesit melompat turun dari mobil, mencari bongkahan-bongkahan batu yang cukup besar untuk mengganjal ban agar mobil tidak mundur manakala mobil tidak lagi kuat menerjang bongkahan batu yang menghadang saat berada di tengah-tengah tanjakan. Entah untuk yang ke berapa kalinya mobil ini kembali atret perlahan menuruni tanjakan, setelah mencoba kembali, lagi-lagi mobil kembali perlahan menuju titik semula. "Sang ye bis bensine jage pas sopir lasingan" ucap Pak Mursidin setengah bergurau, "Ndek Pag Guru (panggilan untuk Pak Mursidin, red) Ye lupak jauq gigi ke empatne jage" timpal Sadri yang memang kami kenal paling suka membanyol.
Akhirnya betapa pun sang sopir tampak begitu hebat setidaknya tiga jam sebelumnya, kali ini ia pun terpaksa harus mengakui ketidakberdayaannya. Setelah menghentikan kendaraannya dan mematikan mesinnya, ia pun mengajak kami untuk bernegosiasi. “Sebenarnya saya tidak tega membiarkan kalian harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki terlebih waktu hampir mulai gelap, tapi coba lihat…” ucap sang sopir membuka perbincangan seraya menunjuk sebongkah batu besar yang terpancang di tengah jalan puncak tanjakan. Kami pun turun dari kendaraan melihat situasi yang digambarkan sang sopir, memang betul sebongkah batu berukuran cukup besar berdiameter + 100 inci tergeletak begitu saja di tengah-tengah badan jalan yang kami lewati. “Tidak mungkin ada orang yang mau atau sekedar iseng meletakkan batu itu selain kekuatan alam” ucapku setengah berbisik pada diri sendiri, terpesona menyaksikan fenomena alam ini. Tidak ada jalur alternatif yang dapat kami tempuh karena di sisi kiri jalan barisan pohon besar berjejer rapat seolah menjadi pagar alami jalan ini di samping itu jika memaksa, lereng cukup curam di antara pephonan tidak mungkin untuk dilalui demikian pula dinding-dinding terjal lereng sebelah kanan jalan tidak mungkin kami tembus. "Nane jaq lampak tepade kanak" ucap Kak Soha yang baru saja turun dari kendaraan setelah ikut menyaksikan suasana. "Ane pade batur, ntun keq, kande pade nyagroq doang ten, wah nane jaq ngkahte bemontor, tepade lampaq karingan" perintah Kak Irjan dari luar mobil. Kami pun yang memang sudah penat setelah 3 jam hanya duduk saja turun dari mobil, ikut menyaksikan suasana. Setelah melihat fakta yang ada kami pun legowo dan sepakat untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
"Masih jaoq ke angkak Kak Ijan" tanyaku pada Kak Irjan untuk meredam rasa penasaranku. "Ado kari semendak siq adiq" ucap Pak Syam yang berdiri di depanku malah mejawab pertanyaanku. "O..ooo" ucapku diikuti anggukan pelan.
Pak Syam memerintahkan kami membantu kenek menurunkan barang-barang yang diikat di atas kup mobil, Akupun, bersama Muhamad segera mengikuti perintahnya. Setelah memastikan tidak ada satupun yang tertinggal, kamipun membuat kesepakatan dengan Pak sopir untuk dijemput pada hari Kamis sore ditempat yang sama seraya memberikan uang muka sebagai jaminan untuk dijemput dengan kesepakatan apabila lewat dari hari itu, maka kami akan mencari tumpangan lain. Seiring mobil yang kami tumpangi berbalik arah, kami melanjutkan perjalanan, barang-barang yang kami bawa kami angkut sendiri-sendiri.
Saya, Jenor dan Eka memang sedari rumah telah menggabungkan barang-barang perbekalan dalam satu tas keril yang berukuran besar untuk memudahkan perjalanan, sehingga telah menjadi kesepakatan kami pul untuk secara bergiliran mengangkut tas.
Aku yang mendapat giliran pertama segera melilitkan keril ke pundak, ukurannya yang besar seolah menelan tubuhku yang mungil, sedangkan perbekalan lainnya seperti air mineral botolan, dan beberapa barang lainnya yang tidak muat dalam tas dibawa oleh mereka berdua. Kami pun mulai berjalan sambil menghindari lubang-lubang kecil dan bebatuan yang terhampar di sepanjang jalan.
Beratnya bawaan membuat langkahku semakin pelan, jarak tempuh kurang lebih 1 kilo tidak seperti yang di ungkapkan kak Irjan seakan lebih panjang. Beberapa kali kami berhenti hanya sekedar untuk memperbaiki tali sepatu yang lepas atau memindah posisi ransel, atau bahkan minum. Bilamana sudah tidak kuat lagi, maka keril akan berpindah ke Jenor, atau Jupri yang kali ini membawa sendiri pakaian dan perbekalannya menggunakan tas kecil. Hanya sesekali Eka terpaksa harus turun tangan juga merasakan beratnya beban tas keril.
Kaki sudah tidak kompromi lagi mengayunkan langkah, air penambah stamina yang kami minum pun seolah tidak bereaksi tidak seperti yang digambarkan iklan-iklan yang gencar mempromosikannya, meski demikian cuaca dingin yang menyambut seolah menghapus peluh dan keringat yang seharusnya mengucur deras. Bersama Pak Mursidin, senior kami dan Kak Soha yang baru saja melewati tanjakan yang lumayan menguras tenaga, mengikuti kami berhenti sejenak, duduk menyandar di bawah pohon sambil menikmati udara sejuk pegunungan seraya meluruskan kaki, mengurut bagian-bagian yang terasa kaku. “Itu ada orang lewat, coba tanya tinggal seberapa jauh kita akan sampai!” ucap Pak Mursidin tiba-tiba setengah memberi perintah, seraya menutup botol Remason, obat oles penghilang nyeri. Aku pun bangkit mendekati lelaki setengah baya yang kebetulan melintas di jalan ini. Pundaknya sarat dengan buah nangka segar yang mungkin dipetik di ladangnya. “Pak te nyodoq beketuan sekali, masih jauq ke balen Inaq Her” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Orang itupun menghentikan langkahnya tanpa melepaskan bebannya. “Oh, kari semendaq gati, adik” jawabnya singkat, tidak ada sedikitpun raut capek di wajahnya meski tubuhnya yang kurus dan tanpa mengenakan alas kaki terhimpit barang bawaannya. “Oh makasih pak” ucapku sambil menjulurkan tangan untuk bersalaman.
Setelah stamina agak pulih kamipun melanjutkan perjalanan, lama berjalan dehidrasi kembali menyapa kami namun apa yang kami tuju tidak kunjung tiba, sedangkan dari belang nampak Budin, Cilung dan Nas menyusul kami, “Iye ngakalang dengan toak nukne” gerutuku mengingat perkataan orang tua tempat kami bertanya tadi. “Iye masak wah kejaok lainte lampak ndekmante bae sampe” Kak Soha yang sedari tadi hanya terdiam menimpali. “Aok, kan jaq kari semendaq unine. Kengonekte lampak ndeqte man bae sampe” nada yang sama juga dikeluhkan Nas dengan nafas tersengal-sengal meski baru saja bergabung.
Selorohan ceplas-ceplos kedua orang ini terus menjadi bahan perbincangan kami sepanjang perjalanan manakala rasa capek kembali menyerang, hingga tak terasa akhirnya kami pun tiba di ujung jalan ini.
Sadri dan Rudin teman kami yang lainnya baru saja keluar dari sebuah masjid kecil desa ini, rona wajahnya nampak segar. “Langsung wah ojok kiri tene, tie leq bale saq paling beleq tiakne” sambut mereka sambil menunjuk rumah sederhana yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Perempuan paruh baya berusia sekitar 35-40 tahun dengan ramah menyambut kedatangan kami. “Silaq niki langsung tipaqde, tokolang wah barang-barangde leq drike” sambutnya penuh ketulusan sambil mengantar kami ke sebuah ruangan besar dimana sudah menumpuk barang-barang bawaan teman kami yang lainnya.
“Terima kasih, nggeh silaq bae de lanjutang pegaweande, bareh kami periri ye” ujar kami, “Silaq menu jaq, ndaq sungakn-sungkan, anggep bale mesaq wah” tutupnya seraya meninggalkan kami menuju dapur.
Setelah melepas semua beban yang melekat di pundak, tanpa menghiraukan capek, kamipun keluar menuju sebuah beranda di depan rumah ini, dimana rekan-rekan lainnya sudah berkumpul asyik bercakap-cakap membahas perjalanan yang baru saja kami lewati diselingi canda-canda ringan.
Sambil menikmati kopi hangat yang dihidangkan perempuan sang empunya rumah, yang tak lain ternyata bernama Inaq Her, merupakan salah satu kerabat kami dari silsilah ibu saya, yang kini bermukim di desa ini. Ku tuang sendiri kopi racikan diisi pada sebuah nako plastik berwarna hijau tua. Ku seruput perlahan sambil menikmati citarasanya yang pas sekali untuk menghalau lelah, hangatnya mampu mengusir cuaca sejuk yang mulai terasa dingin. Temen-temen lain di belakang pun berdatangan hingga semua personil sudah lengkap sembari menanti malam menjelang.
Kabut tebal berarak turun menyelimuti desa paling ujung ini, semilir angin gunung menambah dingin cuaca, gelap malam pun datang mengganti matahari yang terjaga sepanjang siang hari tadi, pekat, tidak ada listrik penerang malam, hanya lampu templek dan lampu petromak yang digantung di atas langit-langit berugak setidaknya menerangi malam yang semakin pekat. Dinginnya cuaca membuatku malas melangkahkan kaki bahkan sekedar untuk sholat pun, aku harus cepat-cepat mengambil air wudhu’. Setelah sholat Magrib kamipun berbincang sejenak menunggu masuknya waktu isya’ agar segera terbebas dari kewajiban kami sebagai seorang Muslim.
Mungkin karena lelah seharian berjalan setelah sholat isya’ kamipun beranjak menuju peristirahatan sambil menghimpun tenaga sebagai bekal perjalanan esok pagi. Sebagian ada yang ke berugak di depan rumah, sebagian lainnya tetap tinggal di ruang keluarga rumah tempat dimana kami ditampung untuk beristirahat, hawa dingin khas pegunungan yang menyapa kami sejak malam beranjak sungguh menusuk tulang. Padahal tidak ada bagian badan ini yang kubiarkan terbuka. Mulai dari ujung kepala ditutupi vakani, topi sejenis topeng yang sering digunakan para perampok hingga terlihat hanya mata, sampai ujung kaki terbungkus kaos kaki ditambah jaket dan selimut tidak juga mampu menghangatkan badan. Namun penatnya badan berkelahi mengalahkan waktu. Dengan alas seadanya kami pun larut dalam pelukan malam sepi nan pekat di kaki perbukitan gunung Torean.
Suara azan lamat-lamat terdengar dari seberang rumah, membangunkan hampir seisi rumah bedek berlantai tanah itu menandakan bahwa kami harus berkemas dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Namun kulihat jam ditangan menunjukkan pukul 02.45 pagi, akupun sempat ragu apakah jam tangan saya mati, namun setelah bertanya pada Amaq Her suami sang empunya rumah, ternyata memang benar jam dua lebih empat puluh lima. Kami pun menyadari bahwa kami tidak sendirian bertamu di desa ini, rupanya ada rombongan pendaki lain yang menginap di seberang rumah tempat kami ditampung. Suara azan yang diperdengarkan tadi hanya sebagai isyarat untuk melakukan sholat sunnah malam. “Uh…am” mulutku menganga lebar menguap mengusir kantuk, “Ternyata belum subuh” gerutuku sambil memperbaiki selimut.
Aku pun kembali melanjutkan tidurku. Namun dinginnya malam ini sungguh-sungguh menderaku. Kami yang tidak biasa dengan cuaca seperti ini sangat merasa menderita, tidurpun tidak bisa nyenyak, sesekali suara hewan malam membunyikan suara menyeramkan. Berkali-kali aku terjaga hanya untuk memperbaiki selimut, namun hawa dingin ini terlalu perkasa untuk dikalahkan.
Suara jam beker bordering cukup keras kembali membangunkan kami. Pak Syamsuddin yang lebih dahulu terjaga membangunkan kami. “Ayo yang mau sarapan dulu, silahkan menanak nasi dulu, atau yang mau mau sarapan pakai mie silahkan masak air di belakang” ucapnya seraya membangunkan kami. “Ada waktu sekitar setengah jam sebelum waktu subuh datang” lanjutnya.
Akupun masih terlalu malas untuk bangun, sementara yang lainnya terdengar sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, ada yang kebagian menanak nasi, ada pula yang memasak air. Namun kebanyakan hanya sibuk ngobrol tanpa mau menanggalkan selimutnya. Tidak banyak yang masih asyik berbaring meski mata sudah tidak bisa lagi terpejam seperti aku misalnya.
“Ah… akhirnya udah waktu subuh” ucapku sambil terbangun menyingkirkan selimut, saat mendengar suara azan yang kembali terdengar dengan jelas dari arah masjid. “Ayo bangun…, bangun, bangun semua, Ayo, kita harus berkemas kita sholat dulu baru kita jalan” pintaku pada teman-teman yang yang masih malas melepaskan selimutnya.
Kami langsung mengemas semua bawaan dan peralatan yang dibawa. Usai makan, ngopi sembari menunggu giliran sholat subuh, setelah berpamitan pada Inaq Her dan suaminya kami pun melanjutkan perjalanan membelah pagi buta nan sunyi. Berbekal senter dan api obor yang kami buat dari potongan bambu dan minyak tanah yang diberi serabut kelapa kering sebagai sumbunya kamipun dengan tekad bulat menyusuri jalan setapak yang dibuat warga sekitar menuju ladang-ladang mereka yang terhampar di kaki perbukitan ini. Hawa dingin yang seakan tidak mau lenyap dari kami terus merasuki sungguh menjadi hambatan dan tantangan tersendiri dalam perjalananan ini. Rimbunnya pepohonan dan lebatnya tanaman jagung diselingi pohon gandum tumbuh liar bersama ilalang, menghalangi jarak pandang kami untuk mengetahui posisi teman-teman, sesekali mereka yang ada di depan bersorak bersahutan memecah keheningan pagi nan buta di tengah ladang seakan mengirimkan kode untuk kami ketahui posisinya, kami pun menyambutnya dengan cara yang sama. Perjalanan panjang dan melelahkan ditambah jarak pandang yang pendek sungguh menguras tenaga, yang tua sebentar-benar berhenti, istirahat sejenak hanya untuk memulihkan tenaga, sedangkan yang muda mengandalkan kekuatan tenaganya melaju kencang tanpa memperdulikan rombongan yang tua. Tak terasa sudah hampir setengah jam lebih kami berjalan menyusur mengitari ladang membuat anggota kami pecah menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 yang didominasi anak-anak muda sudah tidak dapat lagi kami dengar suaranya, entah sudah sampai dimana mereka. Sedangkan kelompok 2 yang kebanyakan dari senior-senior yang menjadikan pendakiannya ke Gunung Rinjani sebagai ritual rutin yang dilakukan saban pertengahan tahun masih tertatih-tatih melangkahkan kaki.
Saya sendiri bersama Jupri sebenarnya berada diantara kedua kelompok itu, tiba di persimpangan membuat kami kebingungan memilih jalur mana yang akan kami tempuh, untuk menunggu rombongan yang tua jaraknya terlalu jauh, sedangkan yang muda sudah tidak kami ketahui lagi jejaknya. Akhirnya kamipun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan memilih jalur lurus yang memang lebih besar jalurnya, tanpa berbelok ke kiri. Ternyata jalur yang kami pilih jalannya menanjak, kami pun makin kebingungan karena jalan yang kami tempuh kembali bercabang, lagi-lagi kami harus memilih, sempat ragu untuk melanjutkan dan ingin balik ke titik semula, namun setelah berembuk kamipun sepakat untuk melanjutkan perjalanan dengan memilih jalur kiri. Semak-semak yang tumbuh subur di kiri-kanan jalan menutup sebagian alur yang kami lewati, cukup membingungkan. Namun dengan tekad bulat kami pun terus melangkahkan kaki. Tidak banyak yang mampu kami kisahkan dalam kondisi jalan gelap gulita ini, hanya rasa was-was yang terus menghinggapi.
Seiring berjalannya waktu pagipun menyambut, jalur setapak yang kami lalui berangsur-angsur mulai terlihat dengan jelas membuat kami semakin yakin untuk melanjutkan perjalanan. Wajah mentaripun tampak ceria menampakkan diri di balik bukit yang berjejer rapi di sisi kiri kami, suara-suara burung dengan riang menyambut pagi nan ceria, terbang dan hinggap dari satu dahan ke ranting lainnya, bernyanyi riang bersahut-sahutan. Sesekali suara keras hewan-hewan yang bergelantungan ikut meramaikan suasana pagi ini.
Setelah beristirahat sejenak sembari meneguk minuman pendongkrak stamina, kamipun melanjutkan perjalanan, jaket pun sudah ditanggalkan dimasukkan dalam tas ransel biar memudahkan gerak dan langkah menyelip menghindari daun rumput gajah yang tumbuh subur di sepanjang perjalanan.
Dan buah dari keyakinan kami berujung manis setelah menemukan rekan-rekan lain yang sudah menunggu di sebuah rumah-rumahan yang dibikin oleh empunya ladang yang kami singgahi, sambil mengemil makan riangan yang kami bawa. Setelah mengisi air sembari membasahi badan yang terasa basah oleh keringat yang mulai bercucuran di penampungan saluran yang mengarah ke perkampungan kami pun melanjutkan perjalanan tanpa menunggu para senior yang tidak kunjung tiba.
Perjalanan terasa lebih bersemangat, berkumpul kembali bersama teman-teman sebaya tidak saja memberi gairah untuk mengalahkan hambatan dan tantangan dalam perjalanan ini, canda tawa dan bincang-bincang ringan diselingi cerita-cerita lucu seakan menjadi pendongkrak semangat melebihi minuman pendongkrak stamina yang hanya akan bereaksi manakala waktu direguk saja.
Tak terasa setelah turun-naik dari satu ladang ke bukit lainnya menuju ladang selanjutnya, membelah sisi lereng dan lembah-lembah yang ada diantara ladang-ladang, akhirnya kami pun tiba di sebuah bukit yang lumayan tinggi, pohon-pohon tumbuh rapat di sepanjang bukit, tidak lagi tampak tanaman-tanaman yang sengaja dipelihara para petani ladang, yang ada hanya pohon-pohon hutan belantara berukuran besar, diselingi semak dan pepohonan liar yang tumbuh tak beraturan di atas gundukan lereng dan lembah bukit ini. Kali ini kami harus mengencangkan ikat pinggang karena meski hanya satu bukit namun ukurannya yang besar dan cukup tinggi memaksa kami harus berjalan mendaki.
Tanjakan yang terjal ditambah kerikil-kerikil tajam yang berserakan di sepanjang jalan membuat kami harus jeli memilih tempat memijakkan kaki jika tidak ingin terpeleset, karena jika salah berpijak jalanan akan menjadi licin oleh batu-batu kerikil ini.
Tak kuat menopang tubuh, saya pun berhenti sejenak, kusandarkan ransel pada sebongkah batu berukuran cukup besar, permukaannya yang pipih dan rata seolah membentuknya menjadi meja yang sengaja disiapkan bukit ini untuk para pendaki yang melaluinya. Setelah mengeluarkan sebilah pisau dari dalam lalu kuletakkan tasku diatas batu yang tempatku berhenti, setelah memastikan posisinya tidak akan jatuh ke dalam jurang, kuambil sebatang rokok dari dalam jaketku, kuamati pohon-pohon kecil yang tumbuh disisi jalanku sambil menghisap rokok gudang garam filter yang telah kusulut, ah… nikmatnya “Nah yang ini kayaknya pas buat dijadikan tongkat” ucapku, ngomong sendirian karena yang lain sudah lebih dulu meninggalku. Letak pohon itu memang agak sedikit sulit, harus menuruni gundukan kecil di sisi kanan, setelah batang pohon kupegang, dengan beberapa kali tebas dan memotong bagian ujungnya kemudian sedikit merapikan bagian bawahnya akupun kembali naik ke tempat tasku diletakkan, yah sebatang tongkat sekiranya membantu saya untuk menaklukan tanjakan yang memang cukup terjal ini, tiba di atas, Kak Soha bersama Amaq Har dan Rudin pun menyusul langkahku, “La melente endah, cobaq bauang ite juluq ane” ucap Amaq Har dengan nafas tersengal-sengal setibanya di tempatku. “Aku endah menu jak” timpal Kak Soha yang sedari tadi hanya memegangi dadanya dengan ucapan terbata-bata. “Side endah Udin, sekalian” tanyaku pada Rudin yang sudah terbaring di atas batu pipih itu sambil menyeka keringat yang mengucur deras dari badannya. “Aok” jawabnya singkat.
Akupun kembali menuruni tempat aku mengambil batang pohon yang tadi, meninggalkan mereka yang beristirahat menghilangkan lelah.
“Uah ni, pileq wah pade, mbe-mbe saq melende kadu” ucapku setibanya di hadapan mereka yang sedang menikmati roti kering yang dibawanya. “Aok lepas ye wah tene, nane juluq, ane ni kaken juluq araq poteng endah jauqke ni” ucap Amaq Har menawarkan ku perbekalan yang dibawanya untuk bergabung.
“Alhamdulillah…” ucapku, “Perut udah terisi lumayan sebagai pengganti tenaga bekal perjalanan kita selanjutnya, ayo kita lanjut” pintaku kepada yang lainnya.
Teriknya mentari untungnya terhalang rimbunnya pepohonan di bukit yang memang masih jarang dijamah manusia ini, diselingi banyolan-banyolan ringan dan suara monyet-monyet yang bergelantungan ke sana ke mari nun jauh di pucuk pahon-pohon besar, akhirnya kamipun tiba di pos 2. Terletak di tengah-tengah bukit ini, itu artinya pos 1 semakin dekat tinggal terus mendaki puncak bukit lalu menuruninya. Demikian yang diucapkan “Pak Mursidin yang tiba-tiba saja sudah bergabung dengan kami bersama Pak Syamsuddin dan Saleh beberapa menit yang lalu. Merasa masih segar dan sanggup melanjutkan perjalan kamipun meneruskan perjalanan tanpa singgah. Dugaan kami pun tidak sesuai dengan yang kami pikirkan, terjalnya perjalanan dan berliku ditambah sedikit licin membuat perjalanan sangat melelahkan dan cukup menguras tenaga, namun Pak Syam yang memang sudah sangat berpengalaman pada pendakian ini tidak hentinya menyemangati kami. “Lanjut aja tinggal sedikit koq” ucapnya penuh semangat.
Langit nampak begitu dekat mengintip dari balik pucuk dedaunan, terik mentari menembus dari celah-celah batang dan ranting-ranting pohon, seakan menunggu kami untuk meraihnya manakala puncak bukit sudah terlihat dengan jelas dan tinggal beberapa langkah saja. “Andaikan aku bawa kamera, tentu aku akan mengabadikan pemandangan yang menakjubkan ini” batinku setelah menyadari kebodohanku tidak membawa alat potret itu.
Menuruni bukit perjalanan semakin sulit setelah tiba di sebuah jalan yang terputus akibat longsor, akhirnya harus melewati titian kecil yang menghubungkan jalur yang akan kami lalui, Titianpun hanya terbuat dari dua bilah bambu dan satu batang pohon yang dirajut dengan akar-akaran sejenis tali yang memang banyak tersedia di hutan bukit ini. Entah siapa yang membuatnya, karena jalur ini memang salah satu jalur favorit bagi orang-orang yang mencitai petualangan. Keseimbangan badan harus dijaga jika tidak ingin terperosok ke dasar jurang. Jalan pun harus ekstra hati-hati, sambil berpegangan kuat pada akar-akar pohon yang menjutai seolah memang sudah dipersiapkan untuk membantu kami menaklukkan titian ini.
Selepas melewati titian, tidak ada lagi hambatan yang berarti yang kami temukan, hingga akhirnya hati semakin riang setelah tiba di sebuah persimpangan persis yang dikatakan Pak Syam. Suara kelakar diantara gemercik air semakin jelas terdengar, membuatku semakin semangat menapakkan kaki memacu langkahku. Ya sebuah pancuran kecil terbuat dari bilah bambu yang di pecah dua mengalirkan air yang sangat jernih, hawa dinginnya pun mengalahkan terik mentari yang mulai bergeser ke arah barat.
"Alhamdulillah... ya Allah, akhirnya kita sampai juga" ucapku sambil menoleh ke arah Rudin dan Kak Soha yang tepat berada di belakangku, sedangkan Pak Syam dan Pak Mursidin entahlah sejak di persimpangan tadi kami terpisah.
"E... wah pada datengme, ite jaq wah pendaqte mentelah" ucap Jupri yang datang dari arah berugak seraya membawa panci hendak mengisi air. "Mae aku juluq, ke isiq aiq doang, kekadu kelaq mie ni" ucapnya mendahului langkahku menuju pancuran.
"Wah ane, pade mandik pepa juluq tene" ucapnya seraya meninggalkan kami. "Aok" jawabku singkat ditambah anggukan seraya bergegas menuju pancuran, kubasuh mukaku, berharap semua penat dan letih segera hilang larut bersama air. Airnya yang bening menggodaku untuk meminumnya, haus dan dahaga ku pun hilang oleh segarnya air pegunungan yang sama sekali belum terkontaminasi oleh benda-benda modern.
"Wah angkaq mae ite karingan. Kengonekme makaq-makaq jaq" sergah Kaq Soha yang sedari tadi berdiri di belakangku bersama Rudin menunggu giliran. "I..iya, maaf, lasingan kemaiq idapne" elak ku. "Udah sana ke berugaq, bawa semua tas ini sekalian" perintah Rudin yang terlihat tidak sabar menunggu giliran.
Karena masih merasa letih aku pun memanggil Jenor dan Saep yang terlihat sedang menikmati makanan ringan. "Enor...!, Aep...!" panggilku berteriak pada dua orang itu yang kebetulan terlihat dengan jelas dari pancuran. "Tulung ite juluq sekali mae" ucapku kemudian. Merasa dirinya dipanggil mereka pun bergegas menghampiri. Dan kami pun membawa tas-tas itu ke berugak yang ada di pos 1, meninggalkan mereka yang sedang menikmati segarnya air pancuran itu. Pak Syam dan Pak Mursidin pun terlihat sudah bergabung bersama mereka.
Rupanya kami tidak sendirian beristirahat di pos ini, ada kelompok lain yang sudah lebih dulu beristirahat di sini, untungnya mereka nampak sudah berkemas-kemas mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan lagi, Suasana di pos semakin rame karena kelompok lainnya baru saja datang, "Saya kira mereka tidak datang dari arah Torean bersama kami". batinku bertanya pada diri sendiri. "Dari mana mereka datang? perasaan kita tidak pernah bersama dari tadi" tanyaku pada Nas yang duduk di sampingku. "Kalo begitu, mungkin dari arah Sambik Elen, sih" sahut Kak Irjan yang ikut nimbrung dalam percakapan kami, "O... iya mungkin" sambung Nas sambil menghisap rokok kreteknya menguatkan dugaan kak Irjan. Ada sekitar belasan orang dalam kelompok ini membuat suasana berugak semakin sesak, terpaksa kami harus berbagi tempat dengan mereka.
Eka pun tidak mau berdiam diri dengan cekatan memperlihatkan sisi kewanitaannya menanak nasi dan merebus air yang akan dijadikan sebagai air untuk menyajikan mie instan yang sudah kami persiapkan sesuai selera masing-masing. Ada yang mengeluarkan mie goreng, ada juga mie rebus dengan cita rasa soto. Aku pun mengeluarkan mie instant rebus rasa ayam bawang yang dalam pendakian ini saya persiapkan satu dus.

Usai sholat dan makan mie instan kami pun berkemas mempersiapkan diri untuk menyusul kelompok sebelumnya yang mungkin saja belum terlalu jauh di depan kami.
Memberi ruang kepada kelompok yang baru saja sampai agar lebih leluasa beristirahat, karena setelah makan dan solat kami pun sudah kembali merasa lebih kuat untuk melanjutkan perjalanan. Belakangan setelah beramah-tamah kami pun tau bahwa kelompok ini berasal dari Kopang, Lombok Tengah tanpa memperinci alamatnya.
Meninggalkan pos 1, perjalanan menghadapi tantangan yang tak kalah serunya, sama seperti kondisi di pos 2 kali ini pun langsung harus mendaki bukit terjal, untungnya tenaga belum banyak terkuras sehingga terasa lebih mudah menaklukkan tantangan yang ada walau sebenarnya sama aja.
Satu moment penting yang tak akan pernah saya lupakan, mungkin juga bagi teman-teman lainnya dimana saat menjejakkan kaki di tempat batu berukuran raksasa terpancang kokoh di tengah-tengah bukit ini, berada di sisi kiri jalan. Saya tidak tahu pasti diameternya, mungkin sekitar 4 atau 5 m persegi dengan tinggi yang sama dengan lebarnya. Kami pun tidak mau melewatkan begitu saja moment ini, singgah sejenak hanya sekedar untuk menikmati dan melepas takjub akan kuasa Sang Pencipta.
Kaki pun kembali harus melangkah, perjalanan masih panjang dan akan lebih sulit, sebagaimana yang diucapkan Sadri yang mana pendakiannya kali ini merupakan pengalamannya yang ke 4 kalinya. Kali ini pun perjalanan masih bisa dibilang ringan jika dibandingkan dengan trek-trek sebelumnya, masih bisa bernyanyi pula, pepohonan dan ilalang yang tinggi masih bisa menghalau trik mentari sehingga tidak langsung menerpa badan. Udara yang sejuk juga sangat membantu mengurangi kucuran keringat ditambah pemandangan-pemandangan luar biasa yang tersaji sepanjang perjalanan, semisal air terjun Mayung Putik yang jelas terlihat meski jauh di gunung seberang.
Perjalanan kami pun telah tiba di sebuah sungai kering yang mungkin hanya akan berair manakala musim hujan dan alirannya langsung mengarah ke sungai Propok yang tepat berada di bawah lintasan kami. Kaki berusaha mencari pijakan yang tepat di antara batu-batu cadas yang berukuran besar dan licin. Harus menyeberangi sungai dengan melakukan lompatan yang lumayan cukup panjang. Palingan kalo jatuh gak akan terlalu beresiko sih karena dasar sungainya juga gak terlalu dalam dari batu yang kami lompati.
Rupanya lompatan kami melewati sungai itu merupakan lompatan kami menuju rintangan selanjutnya yang lebih berat. Tanjakan curam kembali menghadang rimbun dan lebatnya pepohonan pun sudah tidak lagi melindungi kami dari sengatan sinar mentari yang semakin terasa seolah tepat di atas kepala, yang ada hanya rumput pegunungan yang cukup tinggi, cukup bisa dijadikan tempat berteduh namun sayangnya harus merebahkan badan terlebih dahulu. Keringat mengucur deras, meski angin sejuk berhembus spoi-spoi.
Dengan kemiringan bukit sekitar 60o kami berusaha melewatinya, tenaga terkuras, sebentar-bentar berhenti sambil menoleh ke sisi kiri yang langsung berhadapan dengan jurang yang sangat curam di mana arus sungai Propok mengalir deras di bawah sana. Sementara di sisi kanan, gunung Torean berdiri kokoh, puncaknya menjulang ke angkasa seolah hendak mencakar langit yang tampak begitu terang hari ini, berada di seberang bukit yang kami lalui. "Allahuakbar, hah" teriakku melepas lelah dan nafas tersengal yang membuncah dalam dada. "Minta dikit airnya dong!" pintaku pada Jupri setelah melihatnya meminum air berwarna kuning yang terisi dalam botol Aqua. "Air apa itu?" tanya Eka padaku selesai mereguknya "Ekstra Joss" jawabku sembari menyodorkannya pada Jenor.
Seteguk air yang kuminum cukup mampu memulihkan stamina yang mulai keteteran, sambil merangkak pelan, kami terus merangsek membelah bukit menuju puncaknya. Entah sudah berapa kali kami istirahat, kondisi fisik yang drop membuat ingatanku turut jeblok. Memulai melangkah selanjutnya, Eka tampak begitu semangat menyongsong puncak bukit yang sudah terlihat. Langkahnya lebih ringan melaju meninggalkan kami yang masih sibuq memperbaiki tali tas yang terbuka. "Makanya cepetan"
Sesampai di puncak, melihat turunan yang menghubungkan ke bukit selanjutnya tidak terlalu curam membuat kami semangat menuju bukit selanjutnya. Seolah tanpa beban, langkah kami tak terasa melintasi kedua sisi bukit ini. Aku hanya heran sendiri setelah melihat lebih detail kedua bukit yang sudah kami taklukkan dan lintasan-lintasan yang sudah kami lalui. Subhanallah.... ya karim. Alhamdulillah.... ya Allah ya Robbi. "Kok bisa ya saya sampai di sini" batinku sambil tak lepas mengucap kalimat tasbih.
Walau hanya rumput namun akarnya cukup kuat untuk menahan beban kami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar