Belajar yang Menyenangkan
Shelfie Tjong, S.Psi.
“Belajar lagi, belajar lagi……..bosan ahh…….!”,
gerutu sebagian besar anak-anak saat disuruh belajar. Biasanya mereka juga
tidak langsung menurut bila disuruh belajar, tapi berusaha menghindar dengan
berbagai alasan. Mereka lebih tertarik untuk bermain atau menonton Doraemon
atau mengikuti berbagai kegiatan lain daripada harus belajar. Bukan hanya ini
saja kesulitan yang dihadapi orangtua. Sejak pagi hari orangtua sudah cukup
dibuat repot saat membangunkan anak-anak untuk sekolah, tugas yang barangkali
lebih sulit daripada pekerjaan di kantor.
Saya ingat pengalaman saya sendiri semasih kecil dulu,
orangtua harus membangunkan saya berulang kali hingga saya benar-benar beranjak
dari tempat tidur. Karena harus mengantri kamar mandi, sambil menunggu biasanya
saya tertidur lagi. Kadang-kadang dalam keadaan baru bangun kesadaran masih
belum penuh sehingga gerakan pun serba lambat, sedangkan ibu dalam kepanikannya
harus mengurus banyak hal, seperti menyiapkan sarapan dan bekal untuk suami dan
anak-anak serta berbagai hal kecil lainnya. Harus diakui bahwa tugas
membangunkan anak untuk sekolah paling banyak menyita waktu, energi, dan emosi
orangtua.
Selain pengamatan umum tentang ketidaksukaan anak
terhadap kegiatan belajar ini, ada pula dukungan survai yang dilakukan oleh
Tony Buzan. Tiga puluh tahun lamanya ia melakukan penelitian yang berkaitan
dengan asosiasi seseorang terhadap kata “belajar”. Waktu ditanyakan kepada
responden kesan apa yang muncul dalam pikiran mereka saat mendengar kata
“pendidikan” atau “belajar”, jawabannya adalah “membosankan”, “ujian”,
“pekerjaan rumah”, “buang-buang waktu”, “hukuman”, tidak relevan”, “tahanan”,
‘idih’….., “benci dan takut”.
Dapat disimpulkan bahwa belajar dan sekolah bukanlah hal
yang menyenangkan bagi anak-anak. Padahal saat anak-anak belum cukup umur,
mereka merengek-rengek mau ikut sekolah bersama kakaknya. Mereka juga senang
menulis dan menggambar atau membuka-buka buku walaupun belum mengerti isinya.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan anak-anak kita ini? Apakah karena belajar
telah menjadi semacam pemaksaan dan beban saat anak mulai bersekolah sehingga
keasyikan mereka menguasai keterampilan menjadi hilang?
Apakah Belajar Itu?
Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang
bersifat menetap melalui serangkaian pengalaman. Belajar tidak sekadar
berhubungan dengan buku-buku yang merupakan salah satu sarana belajar,
melainkan berkaitan pula dengan interaksi anak dengan lingkungannya, yaitu
pengalaman. Hal yang penting dalam belajar adalah perubahan perilaku, dan itu
menjadi target dari belajar. Dengan belajar, seseorang yang tadinya tidak tahu
menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Kita perlu memperluas pemahaman
tentang belajar tidak hanya pada pengetahuan yang bersifat konseptual,
melainkan juga hal-hal yang menyangkut keterampilan serta sikap pribadi yang
mempengaruhi perilaku seseorang. Ada empat area yang disentuh berkenaan dengan
belajar yaitu:
1. Citra diri dan
perkembangan kepribadian
2. Latihan keterampilan
hidup
3. Cara berpikir atau pola
pikir
4. Kompetensi atau
kemampuan yang bersifat akademik, fisik, dan artistik.
Selain itu ada satu area lagi yang menurut penulis sangat
penting yaitu area yang bersifat rohani, yang menyangkut pengenalan seseorang
terhadap Tuhan.
Tony Buzan, seorang psikolog dari Inggris, mengatakan
demikian; “Pada
saat seorang anak dilahirkan, ia sebetulnya benar-benar brilian.”
Sebab itu, adalah salah jika orangtua beranggapan anaknya bodoh. Bila ia
dikatakan bodoh, maka kemungkinan ia akan menjadi bodoh. Saran yang diberikan
adalah agar anak mendapatkan sebanyak mungkin latihan fisik yang menggunakan
tangan dan kaki seperti merangkak, memanjat, dan sebagainya. Orangtua perlu
memberi kesempatan pada anak-anak untuk belajar dari kesalaha, yaitu melalui trial and error (coba-salah).
Anak-anak suka ber-eksperimen, mencipta, dan mencari tahu cara bekerjanya
sesuatu. Mereka juga suka pada tantangan. Sebab itu penting bagi orangtua untuk
memperluas dunia anak mereka, tidak terbatas hanya di rumah saja.
Anak-anak juga cenderung bertanya tentang segala hal yang
tampak baru bagi mereka. Untuk itu dibutuhkan kesabaran orangtua untuk
mendengarkan dan menjawab pertanyaan mereka. adalah kurang bijaksana jika
orangtua menanggapi pertanyaan anak dengan mengatakan; “Sudah, kamu anak kecil
nggak usah tanya-tanya, bawel amat, sih, “atau; “Kamu masih kecil, nanti sudah
besar juga akan tahu sendiri.” Dalam hal ini orangtua sebenarnya sedang
mematikan rasa ingin tahu anak. Padahal rasa ingin tahu ini adalah hal yang
sangat penting dalam proses belajar.
Ada orangtua yang beraksi dengan cara lain, yaitu dengan
tidak menghiraukan atau mendiamkan anak, atau hanya menjawab seadanya agar anak
segera berhenti bertanya. Pola asuh yang demikian tentu tidak mendukung metoda
CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang berusaha diterapkan di sekolah-sekolah
sekarang ini. Sadar atau tidak, pola asuh orangtua atau cara guru mengajar
memiliki andil dalam membentuk anak-anak kita menjadi aktif atau pasif. Bagi
anak, bertanya merupakan modal dasar mereka untuk belajar.
Selain itu, anak juga banyak belajar dengan cara meniru
orang dewasa. Mereka mencontoh orang dewasa dengan melihat dan mengamati, atau
dengan mendengar. Karena itulah, kita tidak usah heran mendengar anak kita
tiba-tiba mengucapkan kata-kata makian atau kata kasar yang tidak pernah kita
ajarkan. Mungkin mereka mendengar makian itu dari pembantu, dari televisi, atau
dari kita sendiri. Saat anak mengucapkan kata-kata kasar seperti itu, saat itu
juga orangtua perlu memberi penjelasan tentang arti kata-kata tersebut beserta
dampaknya dan berusaha mengoreksinya.
Usia Efektif Belajar.
Kapan waktu yang paling tepat bagi seorang anak untuk
belajar secara optimal? Teori perkembangan kognitif Piaget memberi penekanan pada
faktor kematangan atau kesiapan dalam belajar, artinya ada masanya bagi seorang
anak untuk belajar sesuatu. Sebab itu adalah sia-sia jika kita mengajarkan
sesuatu kepada anak sebelum waktunya. Misalnya, anak yang belum memasuki tahap
perkembangan kognitif praoperasional (2-7 tahun) umumnya masih akan mengalami
kesulitan dalam belajar bahasa karena belum mampu menggunakan simbol-simbol.
Oleh karena itu, penganut teori Piaget berpendapat bahwa adalah sia-sia
mengajar bahasa (di luar bahasa ibu) kepada anak usia di bawah lima tahun.
Namun belakangan ini berkembang teori belajar yang bisa
kita baca dalam buku Accelerated
Learning for the 21st Century oleh Colin Rose dan Malcolm J.
Nitcholl, yang mengatakan bahwa sejak lahir sampai dengan usia 10 tahun adalah
masa-masa yang sangat penting dan peka bagi anak untuk belajar. Disebutkan
bahwa 50% kemampuan belajar anak dikembangkan pada masa empat tahun pertama,
30% dikembangkan menjelang ulang tahunnya yang ke-8, dan tahun-tahun yang amat
penting tersebut merupakan landasan atau penentu bagi semua proses belajarnya
di masa depan.
Berdasarkan teori tersebut, anak perlu diberi banyak
rangsangan pada masa empat tahun pertama agar ia belajar dan menyerap banyak
hal. Tahun-tahun pertama inilah yang justru merupakan saat tepat dan ideal bagi
anak untuk belajar lebih dari satu bahasa. Dikatakan juga bahwa semua anak
sebenarnya jenius di bidang bahasa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa saat terbaik
untuk mengembangkan kemampuan belajar adalah sebelum masuk sekolah, karena sebagian
besar jalur penting di otak dibentuk pada tahun-tahun awal tersebut. Dalam hal
ini, orangtua memegang peranan sangat penting dalam meletakkan fondasi bagi
pengembangan kemampuan belajar anak.
TIPS-TIPS PRAKTIS
Berikut adalah kiat-kiat praktis agar belajar menjadi
pengalaman yang menyenangkan bagi anak.
1. Ciptakan Lingkungan
Tanpa Stres (Rileks).
Seorang ibu mengeluh bahwa
anaknya yang baru kelas 3 SD sudah dapat mengungkapkan bahwa dirinya stres.
Jika dipikir-pikir, anak-anak mendapatkan banyak tekanan, baik dari guru-guru
di sekolah maupun orangtua dengan harapan-harapan yang terkadang kurang
realistis demi terpenuhinya cita-cita orangtua yang dulu tidak berhasil
dicapai.
Orangtua hendaknya tidak
terlalu menekankan nilai, kelulusan, dan gelar, sebab hakekat belajar bukan
terletak pada itu semua. Saya ingat sekali pengalaman saya sewaktu di SD. Saya
sangat lemah dalam bidang matematika. Setiap kali akan ulangan matematika,
orangtua saya membuatkan soal latihan banyak sekali yang mencakup seluruh
materi pelajaran yang telah diajarkan. Pada hari itu saya pasti tidur sangat
malam karena orangtua terus mendesak saya menyelesaikan semua soal yang ada
sampai saya menangis-nangis memohon agar hal ini segera diakhiri. Hingga
keesokan paginya pun, orangtua saya tetap berusaha menggunakan menit-menit
terakhir bahkan terkadang sampai di gerbang sekolah pun saya masih dijejali
rumus-rumus yang harus dihafalkan.
Tidak dapat disangkal
bahwa akhirnya kepanikan orangtua juga menular pada diri saya sehingga betapa
keras pun usaha orangtua mengajar saya, nilai saya tetap jelek, kadang-kadang
pas-pasan. Yang jelas, sejak itu saya jadi agak alergi dengan pelajaran
matematika.
Anak tidak bisa belajar
efektif dalam keadaan stres. Syarat pembelajaran yang efektif adalah lingkungan
yang mendukung dan menyenangkan. Belajar perlu dinikmati dan timbul dari
perasaan suka serta nyaman tanpa paksaan. Untuk menciptakan lingkungan tanpa
stres bagi anak, penting bagi orangtua agar rileks dan tidak menetapkan target
atau menuntut anak melebihi kemampuannya.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada perbedaan tuntutan dari orangtua dengan budaya yang
berbeda. Orangtua dari budaya Jepang dan Cina menetapkan standar yang lebih
tinggi terhadap prestasi anak, mengevaluasi dengan ketat hasil yang diperoleh,
dan mendorong anak untuk bekerja lebih keras. Sedangkan orangtua Amerika lebih
menekankan kemampuan dasar (IQ) anak daripada kerja keras dalam mencapai
prestasi akademik. Sebenarnya perlu bagi orangtua untuk merefleksi diri dan
menjawab dengan jujur pertanyaan; “Apakah yang saya lakukan ini adalah untuk
kepentingan anak saya atau untuk kepentingan diri saya sendiri?”
2. Manfaat Sarana Bermain
untuk Belajar.
Dunia anak adalah dunia
bermain. Bermain adalah metode belajar yang paling efektif. Anak-anak
belajar dari segala kegiatan yang mereka lakukan. Kuncinya adalah bagaimana
mengubah kegiatan bermain menjadi pengalaman belajar. Ketika anak merasa senang
dan nyaman, ia akan mampu belajar dengan baik. Bagi anak kecil yang sedang
belajar menghafal kata-kata yang berlawanan seperti kata atas dan bawah, sambil
bermain bola kita bisa mengucapkan “jika bola dilempar ke atas pasti akan jatuh
ke bawah”, belajar kata nyala dan padam dengan memainkan lampu, belajar kata
buka dan tutup melalui pintu yang dibuka dan yang ditutup, dan seterusnya. Bagi
anak yang lebih besar, saat ulangan pelajaran hafalan, orangtua dapat
menanyakan kembali melalui permainan tebak-tebakan dengan sistem poin. Jumlah
poin yang diperoleh dapat ditukar dengan makanan kesukaannya. Yang ingin
ditekankan di sini bukan pada permainan-nya, tapi kegembiraan yang menyertai.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor emosi sangat penting dalam proses pembelajaran dan
pendidikan. Ketika suatu pelajaran melibatkan emosi positif yang kuat, umumnya
pelajaran tersebut akan terekam dengan kuat pula dalam ingatan. Untuk itu,
dibutuhkan kreatifitas guru dan orangtua untuk menciptakan permainan-permainan
yang dapat menjadi wadah dan sarana anak untuk belajar, misalnya melalui drama,
warna, humor, dan lain-lain.
3. Gunakan Kelima Indra
Anak sebagai Jalur Belajar.
Bagian neokorteks dari
otak kita terbagi dalam beberapa fungsi khusus seperti fungsi berbicara,
mendengar, melihat dan meraba. Kita menyimpan memori-memori indrawati di tempat
yang berbeda. Jika ingin memiliki memori yang kuat, kita harus menyimpan
informasi dengan mengguna-kan semua indera kita - melihat, mendengar,
berbicara, menyentuh, dan membaui. Anak-anak umumnya belajar melalui pengalaman
konkret yang aktif. Untuk memahami konsep ‘bulat’ yang abstrak, seorang anak
perlu bersentuhan langsung dengan benda-benda bulat, apakah itu dengan cara
melihat dan meraba benda bulat atau dengan cara menggelindingkan bola. Menurut
Vernon A. Magnesen dalam Quantum
Teaching, kita belajar 10% dari apa yang kita baca; 20% dari apa
yang kita dengar; 30% dari apa yang kita lihat; 50% dari apa yang kita lihat
dan dengar; 70% dari apa yang kita katakan; dan 90% dari apa yang kita katakan
dan lakukan.
4. Pakailah Seluruh Dunia
Sebagai Ruang Kelas.
Ubahlah segala sesuatu
yang ada di sekitar kita menjadi pengalaman belajar. Marzollo dan Lloyd berkata
demikian; “Semuanya tersedia di sekitar Anda.” Berikut ini adalah beberapa ide
kreatif dari buku Revolusi
Cara Belajar, oleh Gordon Dryden & Dr. Jeanette Vos: ” Belajar
tentang berbagai bentuk.
Bentuk lingkaran bisa
dilihat pada roda, balon, matahari, bulan, kacamata, mangkok, piring, uang
logam; sedangkan persegi panjang bisa dilihat pada pintu, jendela, buku, kasur.
Bujursangkar bisa dilihat di layar komputer, televisi, kotak tissu, saputangan,
taplak meja; sedangkan segitiga bisa dilihat pada pohon Natal, rumah, gunung,
dan tenda.
” Belanja di supermarket
menjadi petualangan belajar. Sebelum belanja, minta anak-anak Anda untuk
mengecek kulkas dan seluruh isi rumah, kira-kira apa saja yang dibutuhkan oleh
mereka dan seluruh anggota keluarga. lalu diadakan lomba waktu berada di
supermarket. Siapa yang paling cepat dan paling banyak menemukan barang-barang
yang dibutuhkan, dialah yang menang. ” Belajar menghitung benda-benda nyata
Minta anak untuk menghitung benda-benda yang dapat disentuhnya, misalnya; “Kamu
punya satu hidung dan berapa mata? Berapa jarimu?” libatkan juga anak ketika
Anda menyiapkan meja untuk dua, tiga, atau empat orang. Atau biarkan anak Anda
yang menghitung uang ketika membayar di kasir.
“Belajar mengkategorikan
sesuatu. Otak menyimpan informasi melalui asosiasi (persamaan) dan penggolongan
atau kategori dan Anda bisa menciptakan kegiatan bermain anak sambil bekerja.
Waktu Anda hendak membereskan pakaian, anak bisa diminta untuk memilah-milah
berdasarkan warna pakaian, jenis pakaian, maupun pemilik. Dengan demikian, Anda
dapat tetap mengerjakan tugas rumah tangga sambil anak juga belajar tentang
sesuatu.
5. Pentingkan dorongan
positif.
Berdasarkan penelitian,
anak sejak usia dini rata-rata menerima enam komentar negatif untuk satu
dorongan positif yang diterimanya. Saya kira, tingkat perbandingan dorongan
positif dan negatif di Indonesia akan jauh lebih besar. Kebanyakan kita
dibesarkan dalam lingkungan dengan komentar negatif yang lebih banyak daripada
yang positif. Padahal dorongan positif memiliki kekuatan yang sangat besar
untuk membangun rasa percaya diri anak dan memacu semangat agar anak
berprestasi dengan lebih baik lagi. Sebagai orangtua yang mungkin dibesarkan
dalam keluarga yang lebih banyak memberikan komentar negatif, seyogyanya kita
lebih berhati-hati agar kita tidak mengulang kesalahan yang sama pada anak-anak
kita.
6. CINTA adalah resep
penting dalam pendidikan anak.
Prof. Diamond, seorang
ahli saraf, mengingatkan bahwa cinta merupakan resep paling penting dalam dunia
pendidikan anak. Kehangatan dan kasih sayang adalah faktor utama dalam
mendukunga perkembangan seutuhnya. Sentuhan emosi memberikan dampak besar dalam
proses belajar anak.
Perlu diketahui bahwa kapasitas otak manusia tidak
terbatas. Seseorang bisa terus belajar sejak lahir sampai akhir hidupnya.
Menurut Antonia Lopez, “Tugas utama orang dewasa adalah menyediakan sebanyak
mungkin kesempatan yang sesuai dengan tingkat umur dan mengembangkannya secara
bertahap.” Otak pun akan mampu bekerja secara efektif bila digunakan secara
teratur. Ada pepatah kuno
berbunyi demikian; “If you don’t use it, you lose it”-Jika tidak digunakan,
Anda akan kehilangan otak Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar